Analisis Kesetaraan Gender dalam Pandangan Agama Islam

Para ulama sebenarnya telah memperjuangkan kesetaraan gender dalam Islam demi mewujudkan ajaran Islam yang berlandaskan semangat Al-Qur'an dan Hadits.

Pendidikan Islam mempunyai kaitan dengan gerakan gender karena dalam isu-isu global, khususnya di era modern, keduanya mempengaruhi banyak pemikir aktivitas umat Islam di dunia. Kenyataannya konstruk filosofi pendidikan Islam dikembangkan dari al-Qur'an dan Hadits, namun gerakan gender konstruknya dari wacana Barat. Dan implikasi dari cara pandang yang berbeda itu membuat setiap orang mempunyai kebebasan untuk menjelek-jelekkannya secara hidup bagi setiap umat manusia.

Tidak ada ikatan aturan antara laki-laki dan perempuan di Gender of West. Dari sudut pandang ini banyak gerakan emansipasi perempuan yang memperkenalkan pembebasan seluruh aturan perempuan dan menjadi anti kekerasan dalam perkawinan atau keluarga, namun saat ini konstruksi program emansipasi di Barat menjadi pembebasan dan anti dogma agama. Sehingga perlu dipikirkan ulang mengenai semangat feminisme yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam, khususnya bagi aktivitas muslim yang bersifat gender.

Sangatlah penting untuk merekonstruksi dan memikirkan kembali dasar-dasar pandangan Islam, karena Islam sebagai agama mengajarkan kepada setiap umat Islam tentang pandangan universal dan cara hidup setiap umat Islam dalam pendidikan antara laki-laki dan perempuan adalah sama dalam aspek lain dan gender harus sama dipengaruhi oleh spiritualitas Islam, khususnya dalam aturan pendidikan bagi umat Islam di seluruh dunia.

Pendahuluan

Isu pendidikan Islam yang sering mendapat perhatian di Barat adalah isu kesetaraan gender serta peran dan partisipasi perempuan dalam pendidikan islam. Soal kesetaraan gender di bidang pendidikan kemudian menimbulkan berbagai kritik terkait ajaran islam yang dinilai tidak memberikan tempat bagi perempuan di dunia pendidikan. Ajaran juga diperhitungkan maskulin dan mendukung laki-laki.

Kritik yang sering dilontarkan oleh para aktivis gender global bukanlah hal baru dalam konteks muslim. Dalam konteks sejarah saat ini, wacana kesetaraan gender, feminisme dan pembebasan perempuan telah menjadi wacana sentral para ahli feminis yang mulai mengkaji atau membahasnya pada masa guru pra-Islam.

Dalam beberapa literatur Yunani dan Romawi Kuno, persoalan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan menjadi perhatian para filsuf Eropa pada periode klasik pemikiran filsafat Barat. Aristoteles dan Plato dapat dianggap sebagai tokoh yang sepakat mengenai persoalan diferensiasi manusia dalam perspektif perbedaan gender.

Dalam bahasa Indonesia, setidaknya ada dua istilah yang biasa digunakan untuk menyebut perempuan, yaitu kata perempuan dan kata wanita. Sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara kedua istilah ini, seperti halnya dari sudut pandang Al-Qur'an dikatakan bahwa memang ada perbedaan proses penciptaan antara Adam dan Hawa, namun lebih dari itu, fundamentalnya ajaran Al-Quran tidak pernah secara jelas membedakan peran laki-laki dan perempuan, bahkan Al-Quran merupakan satu-satunya kitab suci yang berupaya untuk menghormati perempuan.

Analisis Kesetaraan Gender

Perempuan mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki, berdasarkan tingkat kemanusiaan yang universal. Pandangan ini sebenarnya tidak terlalu membenarkan posisi Al-Quran mengenai konsep pembebasan, feminisme atau istilah kesetaraan gender sesuai Al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan merupakan wacana yang menarik dalam konteks ajaran Islam.

Oleh karena itu, tidak heran jika di dalam Al-Quran, perempuan mendapat perhatian khusus bahkan secara khusus dicadangkan sebagai nama salah satu surat dalam Al-Quran, khususnya surat an-Nisa', karena sebenarnya pada masa jahiliyah saat itu, perempuan tidak punya hak asasi manusia sebagai makhluk Allah SWT.

Dalam konteks pendidikan global, tidak mungkin memisahkan isu-isu terkait gender dan pembebasan perempuan, terutama peran dan status perempuan dalam pendidikan serta persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses dan berpartisipasi dalam pendidikan dan pengajaran. Sebagai agama universal, Islam memandang manusia mempunyai persamaan hak dan kewajiban, laki-laki dan perempuan.

Artikel ini akan mencoba mengangkat isu kesetaraan gender, keadilan gender atau pembebasan perempuan sebagaimana yang diperjuangkan oleh gerakan feminis dalam konteks pendidikan dan menjelaskan secara meyakinkan visi Islam dalam bidang keadilan gender dalam konteks sudut pandang dan sejarah. Dan artikel ini diharapkan bermanfaat bagi semua orang dalam memahami kesetaraan gender khususnya dalam pandangan agama islam.

Metode Penelitian

Metode penelitian pada artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka (library research) yaitu metode dengan pengumpulan data dengan cara memahami dan mempelajari teori-teori dari berbagai literatur yang berhubungan dengan penelitian tersebut.

Studi pustaka juga dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengumpulan data perpustakaan, membaca dan mencatat bahan penelitian serta metode pengolahan. Dalam penilitian kepustakaan, setidaknya ada empat ciri penting yang harus diperhatikan.

Pertama, penulis bekerja secara langsung dengan teks atau data numerik, bukan dengan keahlian langsung. Kedua, data perpustakaan bersifat “siap pakai” artinya penulis tidak perlu terjun langsung ke lapangan. Ketiga, data pustaka ini umumnya sumber data sekunder, artinya peneliti memperoleh bahan dab data secara sekunder, bukan data asli yang diperoleh langsung di lapangan. Keempat keadaan data perpustakaan tidak dibatasi oleh waktu. (Zed, 2003)

Pengumpulan data tersebut menggunakan cara mencari sumber dan mengkonstruksi dari berbagai sumber contohnya seperti buku, jurnal dan riset-riset yang pernah dilakukan. Bahan pustaka yang didapat dari berbagai referensi tersebut dianalisis secara kritis dan harus mendalam agar dapat mendukung proposisi dan gagasannya.

Hasil dan Pembahasan

Dalam perspektif sejarah Islam, posisi perempuan perlu diapresiasi lagi dengan membuka catatan sejarah mengenai posisi perempuan pada masa pra-islam di kawasan Arab atau dengan kata lain situasi di Arab pra-islam, karena hal ini akan memberikan gambaran yang lebih obyektif mengenai hubungan hukum islam dengan hukum Arab pra-islam atau kondisi normatif kaum Arab jahiliyah.

Dalam bidang kehidupan bermasyarakat, masyarakat jahiliyah mempunyai hukum perkawinan, hukum waris, perdagangan, dan lain-lain. Hukum jahiliyah tentang perkawinan dan warisan menganggap perempuan tidak berharga. Laki -laki boleh menikahi perempuan sebanyak-banyaknya tanpa mahar dan tanpa batasan. Perempuan tidak berhak menerima warisan dari orang tua atau sanak saudaranya yang telah meninggal, bahkan perempuan menjadi harta warisan. Maka praktik kewarisan dalam islam untuk perempuan, jika dianggap tidak layak dengan proporsi laki-laki maka setidaknya setengahnya. (Zuhri, 1996)

Dalam beberapa kasus, sejak munculnya gagasan perempuan memberikan bagian warisan kepada perempuan dalam ajaran Islam, memicu reaksi keras dari tokoh-tokoh Arab Pra-Islam, yang mempertahankan tradisi jahiliyahnya dengan bersikap bermusuhan bahkan dengan menyatakan perang terhadap Nabi Muhammad SAW karena dianggap berani mencoreng budaya dan tradisi nenek moyang dengan memberikan hak waris kepada perempuan.

Ternyata transformasi budaya dan hukum tidak hanya terkait dengan persoalan peran dan kedudukan perempuan yang diperjuangkan Islam, namun juga sosial politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Misalnya ajarannya ditujukan untuk menolong fakir miskin, fakir miskin dan anak yatim, memerdekakan budak, dan lain-lain merupakan program besar Islam untuk mereformasi tatanan jahiliyah, yang dianggap sebagai revolusi yang mengkhawatirkan bangsawan Arab pra-Islam.

Namun setelah masuknya Islam banyak kritik terhadap islam dalam konteks modern, terutama yang menekankan ajaran Islam yang secara tidak langsung membedakan hak waris laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, Muhammad Qutb mengemukakan bahwa ada dua pandangan tentang konsep Islam tentang status perempuan, yang keduanya tidak sah.

Yang Pertama adalah pandangan bahwa Islam memberikan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Kedua, pandangan-pandangan jahiliyah yang mengatakan bahwa Islam adalah musuh perempuan, bahwa Islam merendahkan derajat dan kehormatan perempuan, dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan lain yang secara tidak langsung menghina islam. Menurut Qutb, kedua pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh kurangnya pemahaman terhadap hakikat ajaran Islam dan sengaja mencampurkan kebenaran dan kebatilan. (Qutb, 1985)

Menurut Syahrin Harahap, kedua pandangan di atas tidak dijelaskan secara jelas. Dan pandangan yang terlalu longgar terhadap status perempuan, yang tercermin dalam gagasan bahwa emansipasi wanita atau perempuan mempunyai status setara dengan laki-laki dalam segala hal, dipandang sebagai pengaruh dunia Barat yang seringkali tidak sesuai dengan ajaran islam sendiri yang sejak dulu sudah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah tersurat dalam Al-Qur’an dan Hadist.

Pendapat Said Ramadan bahwa gerakan feminis dalam Islam harus tetap pada semangat reformasi status perempuan, sebagaimana diungkapkan sejak awal dalam Al-Qur'an dan al-Hadits. Karena jika gerakan feminis dalam Islam dilakukan secara membabi buta dengan meniru Barat, lambat laun akan merusak tatanan umat islam itu sendiri akibat kehilangan jati dirinya sebagai seorang muslimah. Karena islam telah menempatkan perempuan dalam posisi yang mulia. (Ramadhan, 1985)

Dalam konteks politik, pada masa Umar bin Khattab, sejarah mencatat ia pernah beradu argumen dengan seorang wanita di masjid. Saat itu, Umar mengakui kesalahannya dan membenarkan wanita tersebut.

Secara historis, banyak perempuan yang menduduki posisi puncak di bidang politik dan militer, seperti perempuan yang diperankan oleh Aisyah r.a, kemudian menjadi pengusaha profesional, dan di bidang ekonomi, seperti yang digambarkan oleh Khadijah r.a dan lainnya. (Badawi, 1976)

Dalam konteks modern, karya ini menunjukkan bahwa semangat pembebasan perempuan sedang sangat bergejolak, bahkan rujukan terhadap gerakan feminis dan pembebasan perempuan serupa dengan para pendahulu perempuan muslim kita yang diberi hak-hak khusus dari gambaran perjuangan. Kebebasan menjalankan profesi yang sangat berpengaruh dalam kerangka kesadaran beragama dan nilai-nilai agama. Nilai-nilai Islam menjaga harkat dan martabat perempuan.

Ajaran Islam tentang perempuan seolah-olah membiarkan perempuan menjadi perempuan modern dengan berfungsi layaknya manusia biasa, namun juga menjadi diri sendiri, mempunyai harga diri dan martabat, akhlak dan yang terpenting, diasumsikan bahwa hamba-hamba itu harus tetap dipertahankan.

Di sisi lain, banyak permasalahan yang dihadapi umat Islam khususnya perempuan dan tidak semua permasalahan yang ada dapat diselesaikan. Solusi ini diterima karena makna emansipasi, yang sepenuhnya sesuai dengan semangat tradisi dan ajaran Islam, belum sepenuhnya dipahami.

Banyak aktivis pembebasan perempuan, serta aktivis feminis muslim, dengan dalih banyaknya persamaan hak yang seharusnya dirasakan oleh perempuan muslim, meskipun mereka perempuan, tidak berupaya untuk memilih mereka berdasarkan etika Islam. Emansipasi perempuan dari Barat tanpa seleksi dalam perspektif etika islam.

Terkadang hal ini bertentangan dengan posisi pengajaran normatif islam. Hal ini misalnya terjadi ketika para filsuf muslim bersentuhan dengan prinsip dan ajaran filsafat Yunani melalui keyakinan islam mereka, dan sebagian besar filsuf muslim tidak menerima 100 persen seluruh tradisi pemikiran Yunani. 

Jika ada unsur-unsur dalam gagasan dan tradisi Yunani yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran islam, maka mereka secara selektif menolaknya, namun ajaran filsafat, itu sesuai dengan semangat islam maka terus dikembangkan demi kemajuan pengajaran itu sendiri.

Gerakan emansipasi perempuan muslim modern harus dihidupkan kembali dengan meniru pola transmisi pemikiran yang sangat selektif yang dikembangkan oleh para ulama periode klasik dalam menghadapi ideologi sekuler Yunani-Hellenistik.

Mereka melakukan seleksi yang ketat terhadap teks-teks dan wacana intelektual yang dianggap canggih pada saat itu. Dengan demikian, semangat emansipasi tetap terjaga sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, sehingga ajaran pembebasan tidak berlebihan dan menjadi gerakan sekuler yang tidak mengikuti etika islam yang dianut seluruh umat Islam.

Cara yang efektif adalah dengan meningkatkan kesadaran gender para aktivis emansipasi perempuan muslim yang berpegang teguh pada ajaran suci ajaran islam dan menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan untuk menghindari perbedaan besar dalam peran perempuan.

Dalam banyak perbincangan publik pada era modern ternyata perjuangan persamaan gender yang telah lama didengungkan, secara realitas mennujukkan bahwa peran perempuan dalam perspektif persamaan hak dan kedudukan dengan laki-laki telah sedemikian maju dan berkembang. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kesadaran dari kaum perempuan itu sendiri mengenai arti penting pendidikan bagi masa depan umat manusia khusunya perempuan muslim, dalam menghadapi persaingan kerja dan karir yang setara dengan laki-laki.

Dalam konteks sejarah, paling tidak, peran perempuan di bidang pendidikan telah dilakukan oleh isteri Nabi Muhammad SAW, seperti peranan Siti Aisyah r.a, yang terkenal karena kecerdasannya dan jasanya dalam meriwayatkan beberapa hadits. Kemudian pada masa Dinasti Fatimiyyah di Mesir, yang mewakili kekuatan politis representasi gender dalam politik Islam. Dinasti ini tercatat sebagai Dinasti yang mengembangkan kajian Keislaman Madzhab Syiah di Mesir dengan mendirikan Jami' al-Azhar sebagai cikal bakal Universitas Al-Azhar yang menjadi pusat pengembangan pendidikan dan keilmuan pada masanya.

Azyumardi Azra memberitahu bahwa perhatian ulama tentang peran penting perempuan Islam dalam bidang pendidikan dan keilmuan islam telah digambarkan secara menarik oleh beberapa ulama terkenal.

Sebagaimana yang ditulis oleh sejarawan muslim, al-Khatib al-Baghdadi dalam kamus biografinya berjudul Tarikh Baghdad, memuat biografi sejumlah ulama perempuan. Begitu juga al-Sakhawi menulis beberapa kamus biografi tokoh-tokoh abad ke-15 terutama Daw' al-Lami', khusus tentang perempuan yang diberi judul Kitab al-Nisa'. Dalam terakhir diberikan biografi sekitar 1075 perempuan, 411 orang di antaranya mempunyai pendidikan agama yang tinggi. (Azra, 1999)

Bahkan Salabi memberikan data tentang jumlah ulama perempuan yang mencapai 1543 dalam kitab al- Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah karya Ibnu Hajar. Begitu dalam kitab Tahzib al-Asma' karya an-Nawawi menyebut bahwa jumlah ulama perempuan cukup besar pada era klasik Islam. (Azra, 1999)

Di Indonesia sebenarnya ulama-ulama perempuan yang konsen dan mempunyai perhatian terhadap pendidikan bisa disebutkan misalnya di Kerajaan Aceh pernah diperintah beberapa Sultanah, yang mempunyai kekuatan politis juga kepakaran di bidang ilmu agama islam, dan perhatian yang besar terhadap keberlangsungan agama islam melalui jalur pendidikan islam dan dakwah islam.

Pada abad ke-20 muncul beberapa aktivis pendidikan islam seperti Nyai Ahmad Dahlan, dan beberapa Nyai (ulama perempuan) yang berkiprah dalam pesantren-pesantren tradisional. Bahkan tokoh emansipasi perempuan di Indonesia RA. Kartini menurut penelitian terakhir, beliau juga pernah nyantri pada ulama terkenal di Jawa Tengah, yang juga turut menginspirasi kesadarannya untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan.

Di samping tentunya interaksi Kartini dengan teman-temanya di Belanda. Yang menarik adalah temuan bahwa kartini sebagai bangsawan perempuan Jawa yang beragama islam, juga mendapat pendidikan pesantren, dan dianggap kuat dalam kepribadiannya dalam mengangkat derajat perempuan di bidang pendidikan.

Dalam beberapa situs hasil penelitian mengungkapkan bahwa RA. Kartini pernah belajar agama Islam (nyantri) kepada Kyai Soleh Darat, namun hal itu tidak pernah ditulis dalam sejarah biografi Kartini, karena sengaja digelapkan oleh Orientalis. (Arrahmah, 2015) Interaksi Kartini dengan Kyai Soleh Darat tertarik untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa atas inspirasi RA Kartini.

Kesimpulan

Para ulama sebenarnya telah memperjuangkan kesetaraan gender dalam Islam demi mewujudkan ajaran Islam yang berlandaskan semangat Al-Qur'an dan Hadits. Perjuangan kesetaraan gender dalam bidang pendidikan Islam juga dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga pada era modern.

Namun secara obyektif, dalam konteks sejarahnya, feminisme atau gerakan pembebasan perempuan tidak hanya populer di dunia Barat, dan juga di kalangan aktivis muslim yang sejalan dengan gerakan gender yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang.

Dari sudut pandang sejarah, kesadaran gender tampaknya disebabkan oleh perlakuan yang merendahkan di berbagai wilayah, terutama di Eropa dan Asia pra-Islam. Praktik diskriminatif terhadap perempuan terungkap setelah Islam memperkenalkan pengakuan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam teks wahyu Al-Quran dan Hadits.

Oleh karena itu, kebangkitan perempuan untuk menjamin kesetaraan gender sebenarnya juga telah diperjuangkan sejak lama oleh umat Islam, terbukti dengan banyaknya kelahiran ulama perempuan yang tercatat sepanjang sejarah peradaban Islam.

Dalam konteks saat ini, gerakan feminisme di kalangan aktivis gender islam nampaknya sedang mengalami perubahan mendasar akibat pengaruh globalisasi informasi.

Nuansa liberalisme Barat memang mendominasi tren dan pola gerakan emansipasi perempuan kontemporer. Aktivis yang mengembangkan gerakan feminis di kalangan umat Islam harus mempertahankan prinsip-prinsip agama islam dan secara selektif mengadopsi ide-ide feminis Barat. Sebagaimana para filsuf Islam berurusan dengan ideologi dan pemikiran Yunani, umat Islam pun mampu menikmati kemajuan peradaban melampaui periode klasik Islam.

Demikian pula peran perempuan dalam Islam tidak hanya terkait dengan persoalan domestik saja, namun juga merambah ke ranah publik. Pasalnya, konsep anti diskriminasi terhadap perempuan muncul sejak awal Islam, memberikan mereka hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki dalam beribadah.

Daftar Pustaka:

  • Arrahmah. (2015). Sejarah Bangsa yang Digelapkan Orientalis Belanda.
  • Azra, A. (1999). Membongkar Peranan Perempuan dalam Bidang Keilmuan. (Jakarta: JPPR).
  • Badawi, A. G. (1976). Women Islam dalam Khurshid Ahmad. (London the Islamic Foundation).
  • Qutb, M. (1985). Subhat Hawl al Islam. (IIFSO).
  • Ramadhan, S. (1985). Three Major Problems Confronting the World Of Islam. (Singapore: Institute of South East Asian Studies).
  • Zed, M. (2003). Metode Penelitian Kepustakaan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).
  • Zuhri, M. (1996). Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. (Raja Grafindo, Persada).

Biodata Penulis:

Dian Selfiana lahir pada tanggal 9 Februari 2005 di Batang. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Pendidikan Agama Islam, di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.