Aceh sedang tidak baik-baik saja.

X: Wadah Ekspresi atau Sarang Ujar Kebencian?

Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, namun, kita sebaiknya tidak menggunakan perbedaan itu sebagai alat untuk merusak kesejahteraan mental ....

X merupakan salah satu platform media sosial yang populer di kalangan berbagai lapisan masyarakat. X seringkali digunakan oleh penggunanya untuk berbagi kisah, pengalaman, serta berpartisipasi dalam diskusi mengenai isu-isu yang sedang hangat di masyarakat. Namun, ibarat pisau yang memiliki dua mata, tidak hanya membawa dampak positif, X juga menjadi tempat di mana beberapa pengguna memanfaatkannya dengan tujuan yang kurang baik.

Tingginya jumlah pengguna X memungkinkan untuk bebas berpendapat kepada siapa saja, karena karakteristik yang cenderung anonim di media sosial, hal ini dapat mengakibatkan tindakan cyberbullying tanpa ragu dari penggunanya. Meski X memudahkan kita untuk bersuara, namun satu kekeliruan dalam pengucapan kata dapat langsung menimbulkan kritikan pedas menggunakan kata kata kasar seperti, bego, tolol, goblok, melecehkan, bahkan body shaming.

Berbeda dengan platform lain, X memiliki fitur autobase yang bisa diakses oleh siapa pun, asalkan telah di-follback oleh admin base terlebih dahulu. Nah, di Autobase ini menyediakan ruang bagi pengguna untuk berkomunikasi secara anonim dan mendapatkan berbagai informasi dan pendapat dari sesama pengguna. Banyak pengguna X yang memakai fitur (jasa) tersebut dikarenakan segala privasinya akan aman dan tidak pernah menyetarakan nama pengirim. Kebebasan berpendapat dan anonimitas seringkali disalahgunakan sebagai alasan untuk menyalahgunakan hak berbicara dengan cara mencela.

Dengan semboyan "open-minded" yang sering digaungkan oleh pengguna X, seharusnya, jika benar-benar terbuka, mereka dapat menerima beragam pendapat dari berbagai sudut pandang. Faktanya tidak, banyak pengguna yang mengungkapkan bahwa mereka pernah menjadi target serangan dan mendapat ujaran kebencian hanya karena perbedaan pendapat dan hal-hal yang sepele.

Cyberbullying memiliki berbagai motif, salah satunya ingin mendapatkan kesenangan semata. Tujuan utamanya adalah menciptakan hiburan dengan memicu tawa dari para pengguna internet. Pelaku melakukan hal ini dengan membuat gambar atau meme yang ditujukan kepada korban, berharap agar pengguna lain merespons dan saling berinteraksi melalui komentar. Namun, seringkali pelaku tidak menyadari bahwa tindakan membuat gambar atau meme tersebut bisa berlebihan, sehingga korban merasa dilecehkan dan terintimidasi secara pribadi.

Selain itu ada faktor lain yang menyebabkan seseorang menjadi target ujaran kebencian. Ketidaksukaan atau kekesalan pelaku terhadap individu yang dibencinya dapat dipicu oleh berbagai faktor, misalnya ketika korban mengunggah konten di media sosial (cuitan twitter) yang tidak sesuai dengan selera atau harapan pelaku.

Wadah Ekspresi atau Sarang Ujar Kebencian

Beberapa pengguna di X sering dianggap memberikan opini yang berdasar, logis, dan cerdas. Oleh karena itu, ketika mereka menghadapi ujaran kebencian, penerima akan mengalami mental breakdown. Menghadapi kasus cyberbullying di X bisa menjadi situasi yang membingungkan, terutama karena seringkali ujaran kebencian berasal dari berbagai akun, bukan hanya satu. Kebingungan tersebut dapat menciptakan tekanan dan ketakutan bagi pihak yang menjadi sasaran dari perilaku berbentuk kebencian tersebut.

Seringkali dampak negatif cyber bullying tidak hanya berdampak negatif pada korban, tetapi juga pada pelaku. Konsekuensi dari cyberbullying terhadap pelakunya mencakup perilaku agresif, tingkat kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi, kecenderungan terhadap kekerasan, sikap keras, mudah marah, dan impulsif. Para pelaku cyberbullying cenderung kurang merasa bersalah terhadap korban, karena mayoritas dari mereka anonim dan mampu menyembunyikan identitas mereka.

Menurut para ahli, ini dapat terjadi karena X memiliki kebijakan yang lebih fleksibel dalam hal batasan konten yang diizinkan jika dibandingkan dengan platform media sosial lainnya. Kemudahan di platform X juga menjadi salah satu faktor di mana seseorang bisa dengan mudah menyampaikan segala pendapatnya melalui postingan teks, berbagi foto, dan memberikan tanggapan terhadap kicauan orang lain.

Oleh karena itu, X menjadi tempat yang diminati oleh kelompok-kelompok ekstremis untuk menyebarkan pandangan mereka, yang pada gilirannya berdampak negatif pada tingkat keterbukaan dan kualitas diskusi publik.

Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, namun, kita sebaiknya tidak menggunakan perbedaan itu sebagai alat untuk merusak kesejahteraan mental orang lain. Ada berbagai cara untuk menyampaikan ketidaksetujuan atau kritik dengan cara yang baik dan dapat diterima. Walaupun memiliki kebebasan berpendapat, penting untuk membatasinya agar tidak menimbulkan kerugian pada orang lain atau melanggar hak privasi mereka. Oleh karena itu, kerja sama antara X dan pengguna sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebebasan berpendapat tetap sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab dan etika berpendapat juga sangat diperlukan. Dengan demikian, kebebasan berpendapat di X bisa dilakukan tanpa menimbulkan kerugian atau melukai orang lain. Hal ini melibatkan tanggung jawab bersama untuk menciptakan lingkungan di platform tersebut yang mendukung diskusi yang sehat dan menghormati hak setiap individu.

Diska Sevilla Maharani

Biodata Penulis:

Diska Sevilla Maharani lahir pada tanggal 12 Mei 2005. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, program studi Ilmu Lingkungan, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.