Generasi Z, sering disingkat menjadi Gen Z merupakan sekumpulan orang-orang yang lahir pada tahun 1997-2012. Sebagian besar dari mereka adalah milenial yang lebih tua. Generasi Z sangat akrab dengan dunia digital sehingga kehidupan mereka tak lepas dari koneksi internet. Bagi Gen Z, dunia online adalah ekstensi dari dunia nyata, tempat mereka berinteraksi, belajar, mengeksplorasi minat mereka, dan bisa menjadi tempat belanja online.
Fear Of Missing Out atau biasa disebut dengan FOMO merupakan salah satu faktor utama yang mendorong perilaku konsumtif pada Gen Z. Tekanan untuk selalu tampil up-to-date di media sosial membuat mereka seringkali membeli barang secara impulsif, tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya. Ketakutan untuk merasa tertinggal membuat mereka terjebak dalam siklus konsumsi yang terus-menerus, mereka selalu mencari barang baru untuk memenuhi keinginan sesaat.
Media sosial telah menciptakan standar kecantikan dan gaya hidup yang tidak realistis bagi generasi Z. Gambar-gambar sempurna di media sosial membuat mereka merasa harus memiliki barang-barang yang sama untuk terlihat keren di mata teman-temannya. Tekanan sosial ini mendorong perilaku konsumtif yang berlebihan, belanja menjadi cara untuk mencari validasi dan meningkatkan kepercayaan diri.
Keinginan untuk selalu tampil sempurna dan mengikuti tren terbaru yang ditampilkan di media sosial telah membawa dampak buruk bagi kesehatan mental generasi Z. Perbandingan diri yang tidak sehat di media sosial juga merusak kepercayaan diri mereka. Selain merusak kepercayaan diri, produksi barang secara massal untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berubah semakin memperparah masalah sampah dan perubahan iklim.
Generasi Z menjadi korban dari budaya konsumerisme yang digerakkan oleh FOMO yang tak berujung. Tekanan untuk selalu mengikuti tren terbaru telah menciptakan budaya belanja yang berlebihan, di mana pembelian barang-barang baru dianggap sebagai kebutuhan daripada keinginan. Akibatnya, banyak anak muda yang mengalami masalah kesehatan mental dan keuangan, sementara lingkungan pun menanggung beban dari produksi massal yang tidak terkendali.
Berikut merupakan beberapa dampak dari FOMO (Fear Of Missing Out). Pertama, tekanan pada media sosial, tekanan media sosial memperkuat FOMO di kalangan Generasi Z, mendorong mereka untuk terlibat dalam tren dan aktivitas yang ditampilkan, yang sering kali menyebabkan kecemasan dan perilaku konsumtif impulsif untuk merasa relevan atau tidak ketinggalan. Kedua, siklus konsumsi yang tidak sehat, Ketika individu melakukan pembelian impulsif untuk mengikuti tren, kepuasan yang mereka rasakan bersifat sementara, segera digantikan oleh kecemasan dan ketidakpuasan saat melihat orang lain menikmati barang-barang baru. Hal ini menciptakan siklus yang berulang: dorongan untuk membeli lebih banyak demi merasa diterima, diikuti oleh penyesalan dan kekhawatiran finansial, yang pada akhirnya merugikan kesehatan mental dan emosional mereka.
Ketiga, dampak psikologis, perasaan ketinggalan dan ketidakcukupan yang muncul saat melihat kehidupan orang lain yang lebih menarik dapat memicu kecemasan, depresi, dan rendahnya harga diri. Ketika mereka berusaha memenuhi ekspektasi sosial ini melalui pembelian impulsif atau perilaku yang tidak selaras dengan nilai-nilai pribadi, muncul rasa bersalah dan penyesalan, yang menciptakan siklus stres yang berkepanjangan. Keempat, dampak lingkungan, seperti peningkatan limbah dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan. Generasi Z sering kali mengabaikan dampak jangka panjang dari perilaku FOMO yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan ekosistem. Selain itu, FOMO juga mendorong budaya "fast fashion" dan pemakaian produk sekali pakai, yang semakin memperburuk isu lingkungan.
Kelima, dampak keuangan, Gen Z merasakan tekanan untuk membeli produk terbaru atau ikut serta dalam kegiatan sosial yang mahal demi mendapatkan penerimaan, mereka sering kali mengabaikan anggaran pribadi dan tanggung jawab keuangan jangka panjang. Akibatnya, hal ini dapat menyebabkan masalah utang, penumpukan biaya yang tidak perlu, dan kesulitan dalam mencapai tujuan keuangan, seperti menabung untuk pendidikan atau membeli rumah impian.
FOMO (Fear of Missing Out) sering kali dipicu oleh peran dominan influencer di media sosial. Influencer kerap menampilkan gaya hidup mewah dan barang-barang terbaru, yang menciptakan ekspektasi tinggi di antara pengikut mereka. Ketika individu melihat kehidupan yang tampak ideal ini, mereka merasa terdorong untuk memperoleh barang-barang yang sama agar tidak merasa tertinggal.
Selain itu, iklan yang ditargetkan juga berperan dalam memperkuat FOMO. Banyak perusahaan menerapkan strategi pemasaran yang bertujuan untuk kekhawatiran akan kehilangan peluang, seperti penawaran terbatas atau diskon dalam waktu tertentu. Iklan-iklan ini memberikan kesan bahwa jika seseorang tidak segera melakukan pembelian, mereka akan kehilangan sesuatu yang berharga. Dengan pendekatan ini, konsumen menjadi lebih rentan terhadap pembelian impulsif, sering kali tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau keterbatasan finansial mereka, sehingga memperburuk masalah keuangan yang ada.
Kurangnya pendidikan keuangan di kalangan generasi muda, banyak individu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang manajemen uang, sehingga mengalami kesulitan dalam membuat keputusan keuangan yang bijak. Tanpa pemahaman yang memadai mengenai anggaran, utang, dan investasi, mereka berisiko terjebak dalam siklus pembelian impulsif yang dipicu oleh FOMO. Hal ini tidak hanya dapat menyebabkan masalah finansial yang serius.
Biodata Penulis:
Putri Maulida Yani saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, prodi Perbankan Syariah.