Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mengurai Paradoks Empati Digital: Bisakah Kecerdasan Buatan Memahami Perasaan?

Meskipun AI dapat mengenali pola emosi dari data yang besar, ia tidak benar-benar memahami perasaan seperti manusia.

Empati adalah kemampuan manusia untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain, suatu hal yang sering kali dianggap sebagai inti dari hubungan interpersonal. Namun, bisakah mesin memiliki kemampuan serupa? Dalam beberapa dekade terakhir, muncul konsep “empati digital”, yaitu upaya menciptakan mesin yang dapat mengenali dan merespons emosi manusia. Meskipun terdengar futuristik, konsep ini menghadirkan tantangan besar karena emosi manusia sangat kompleks, unik, dan sulit didefinisikan secara objektif.

Beberapa teknologi kunci telah menjadi landasan dalam pengembangan empati digital. Natural language processing (NLP) memungkinkan AI menganalisis nada bicara dan pilihan kata untuk mengidentifikasi emosi. Sebagai contoh, chatbot layanan pelanggan yang tampaknya “mengerti” frustasi pengguna menggunakan NLP untuk mengenali pola emosi. Di sisi lain, pengenalan wajah dan analisis suara membantu AI mendeteksi ekspresi mikro atau perubahan intonasi yang mencerminkan suasana hati. Namun, meski teknologi ini mengesankan, ia hanya mampu memahami sebagian kecil dari kompleksitas emosional manusia.

Mengurai Paradoks Empati Digital

Meskipun AI dapat mengenali pola emosi dari data yang besar, ia tidak benar-benar memahami perasaan seperti manusia. Empati sejati melibatkan pengalaman hidup, intuisi, dan koneksi emosional—hal-hal yang berada di luar jangkauan AI. Ketika seorang teman berbagi kabar buruk, manusia tidak hanya mendengar kata-katanya tetapi juga merasakan kedukaannya. Sebaliknya, AI hanya memproses kata-kata tersebut sebagai data. Selain itu, AI seringkali kesulitan menangani situasi yang kompleks atau ambigu. Misalnya, bagaimana AI seharusnya merespons seseorang yang mengekspresikan kemarahan bercampur dengan kesedihan? Kombinasi emosi semacam ini sulit diuraikan bahkan oleh manusia, apalagi mesin. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman emosi AI tetap terbatas pada pola data yang diajarkan kepadanya.

Dalam dunia nyata, empati digital telah diterapkan di berbagai sektor. Di layanan kesehatan mental, aplikasi seperti Woebot digunakan untuk membantu individu yang merasa cemas atau stres. Woebot dapat memberikan saran praktis, seperti teknik pernapasan, tetapi tidak mampu menggantikan empati mendalam yang diberikan oleh seorang terapis manusia. Di bidang layanan pelanggan, bot berbasis AI seringkali menjadi garis depan dalam menangani keluhan. Bayangkan Anda menelpon perusahaan dan berbicara dengan bot yang dirancang dengan empati digital. Bot tersebut mungkin mengatakan sesuatu seperti, “Saya mengerti ini sangat menyebalkan bagi Anda, Mari kita cari solusi bersama.” Walaupun ini membantu, bot masih tidak dapat menggantikan sentuhan manusia ketika situasi menjadi lebih emosional.

Empati digital, jika digunakan dengan bijak, dapat meningkatkan hubungan mesin dengan manusia. Namun, ada risiko bahwa kehadiran “empati palsu” ini dapat menurunkan nilai interaksi manusia sejati. Misalnya, seseorang yang terbiasa berbicara dengan bot mungkin merasa lebih nyaman berbagi emosi dengan mesin dibandingkan dengan manusia. Hal ini dapat menyebabkan perubahan dalam cara kita memandang hubungan interpersonal. Menciptakan AI yang lebih empatik juga memunculkan pertanyaan etis. Haruskah kita menciptakan ilusi empati ketika mesin itu sendiri tidak memiliki kesadaran emosional ? Lebih jauh lagi, pengumpulan data emosional dapat menimbulkan masalah privasi. Jika perusahan memanfaatkan data ini untuk tujuan komersial, bukankah ini berarti emosi kita telah “ dimonetisasi”?

Pada akhirnya, empati tetap menjadi wilayah eksklusif manusia. AI mungkin dapat membantu kita mengenali dan merespons emosi, tetapi ia tidak akan pernah benar benar “mengerti.” Daripada mencoba menciptakan mesin yang sepenuhnya empatik, sebaiknya kita fokus pada bagaimana teknologi dapat mendukung hubungan manusia yang lebih baik. Setelah semua ini, teknologi adalah alat dan dengan itu bagaimana kita menggunakannya adalah tanggung jawab kita sendiri

Referensi:

  • Calvo, R. A., & D’Mello, S. (2010). Affect Detection: An Interdisciplinary Review of Models, Methods, and Their Applications. IEEE Transactions on Affective Computing.
  • Ghosh, S., et al. (2019). Predicting Emotions Using Multimodal Analysis. International Journal of Advanced Research in Artificial Intelligence.
  • Gratch, J., & Marsella, S. (2005). Evaluating the Role of Emotion in Human-Agent Interaction. Proceedings of the International Conference on Intelligent Virtual Agents.
  • Ethical Dilemmas in Artificial Intelligence and Machine Learning. The Royal Society (2018).
  • Stiglic, G., et al. (2020). Challenges and Opportunities in Adopting AI in Mental Health Care. Digital Medicine.

Biodata Penulis:

Dzaky Ghiffary Susilo, saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret (UNS), jurusan Informatika.

© Sepenuhnya. All rights reserved.