Belakangan ini, nama Gus Miftah menjadi perbincangan hangat di media sosial setelah potongan video yang memperlihatkan dirinya diduga mengolok-olok seorang penjual es teh viral. Kejadian tersebut terjadi di sebuah pengajian di Magelang, Jawa Tengah, di mana Gus Miftah tampil sebagai penceramah. Dalam momen itu, candaan yang dilontarkan kepada penjual es teh dianggap banyak pihak sebagai sesuatu yang tidak pantas, terutama karena dilakukan di hadapan banyak hadirin. Reaksi warganet pun beragam, meski dominan dalam nada kritik terhadap sikap yang dinilai merendahkan.
Sebagai tokoh agama yang memiliki pengaruh luas, Gus Miftah dikenal karena gaya ceramahnya yang santai dan humoris. Gaya ini seringkali menjadi daya tarik bagi para jamaahnya. Namun, ada garis tipis antara humor yang menyegarkan suasana dengan guyonan yang berpotensi menyinggung. Dalam kasus ini, candaan tersebut justru memunculkan kesan melecehkan pekerjaan seseorang, yang bertentangan dengan nilai-nilai penghormatan dan kesetaraan yang seharusnya dijunjung dalam ajaran agama.
Konteks kejadian ini menjadi semakin signifikan mengingat posisi Gus Miftah yang bukan sekadar penceramah. Sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP) untuk bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, ia memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk menjaga tutur kata dan tindakan yang mencerminkan toleransi serta penghormatan terhadap semua kalangan. Jabatan setara menteri ini menempatkannya sebagai figur publik yang segala gerak-geriknya akan selalu disorot, termasuk dalam hal bercanda.
Olokan terhadap penjual es teh dalam forum keagamaan menyisakan ironi yang tidak kecil. Di satu sisi, forum pengajian seharusnya menjadi ruang untuk menyampaikan pesan-pesan yang meneduhkan, membangun, dan memberdayakan jamaah. Namun, candaan tersebut justru berpotensi merusak martabat seseorang dan menciptakan jarak emosional antara penceramah dan masyarakat kecil. Hal ini berlawanan dengan semangat dakwah yang seharusnya merangkul semua golongan.
Reaksi warganet yang kritis terhadap peristiwa ini menunjukkan semakin tingginya sensitivitas masyarakat terhadap isu penghormatan dan etika publik. Tidak sedikit yang menyayangkan bahwa seorang tokoh agama dengan pengaruh besar seperti Gus Miftah bisa tergelincir dalam humor yang tidak pada tempatnya. Kritik ini tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan terhadap kejadian itu, tetapi juga harapan agar tokoh agama lebih berhati-hati dalam berbicara di ruang publik.
Namun, tidak sedikit pula yang membela Gus Miftah, dengan alasan bahwa ia hanya bercanda dan tidak bermaksud serius. Para pembelanya menganggap candaan tersebut adalah bagian dari gaya ceramah yang akrab dan cair. Sayangnya, argumen ini sering kali mengabaikan dampak psikologis pada pihak yang menjadi objek candaan, terutama jika candaan tersebut dilakukan di hadapan banyak orang.
Fenomena ini sekaligus menjadi pengingat bahwa dalam era digital, setiap perkataan dan tindakan figur publik dapat dengan mudah menjadi viral. Kebebasan berekspresi yang dimiliki seorang penceramah harus diimbangi dengan tanggung jawab moral dan sosial. Humor, sekalipun berniat untuk mencairkan suasana, harus mempertimbangkan perasaan orang lain, terutama mereka yang posisinya lebih rentan di mata masyarakat.
Ke depan, Gus Miftah dan tokoh publik lainnya perlu lebih mawas diri dalam bertindak dan berbicara, terutama di hadapan audiens yang luas. Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran bersama bahwa guyonan yang tidak lucu bukan hanya merugikan pihak yang diolok, tetapi juga berpotensi mencoreng nama baik penceramah itu sendiri.
Biodata Penulis:
M. Irwan P. Ratu Bangsawan lahir pada tanggal 7 Februari 1968 di Pangkalan Balai, Banyuasin, Sumatera Selatan.