Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Bukan Sekadar Romansa: Potret Toxic Relationship dalam Film Posesif

Emosi yang dibangun oleh film Posesif bagaikan menaiki wahana roller coaster bahkan hingga adegan terakhir. Ada rasa tidak nyaman yang ditimbulkan ...

Kisah kasih di masa remaja adalah hal manis yang menarik untuk diicip. Semakin candu ketika kebahagiaan yang melingkupi membuat dunia serasa milik berdua. Namun, apa jadinya jika perlahan hubungan yang memabukkan ini membuatmu tenggelam dan kehabisan napas? Film Posesif garapan sutradara Edwin dan ditulis oleh Gina S. Noer akan menunjukkan gambarannya. Dengan Adipati Dolken sebagai Yudhis dan Putri Marino sebagai Lala, film Posesif akan mengantarkan penonton menyaksikan gejolak hubungan yang penuh obsesi antara dua remaja yang masih mencari jati diri.

Alur Cerita

Pertemuan mereka bermula dari hukuman aneh dari seorang guru killer kepada Yudhis yang merupakan murid baru untuk mengitari lapangan sekolah dengan tali sepatu saling bertautan dengan Lala. Dari sanalah mereka akhirnya menjadi dekat dan berpacaran. Dunia Lala yang awalnya hanya berisi ayahnya, dua sahabatnya--Rino dan Ega, serta loncat indah, kini menjadi lebih berwarna setelah bersama Yudhis yang notabenenya adalah cinta pertamanya. Lala sangat menyukai perhatian dan afeksi yang diberikan Yudhis, sampai perlahan Yudhis mulai menunjukkan perangai aslinya.

Potret Toxic Relationship dalam Film Posesif

Perhatian-perhatian Yudhis yang awalnya membuat Lala merasa disayang berubah menjadi kekangan. Yudhis mulai ‘menitah’ kehidupan Lala secara ketat, mulai dari lingkaran pertemanan Lala, bahkan hingga aktivitas apa saja yang boleh Lala lakukan. Setiap kali Lala mencoba untuk berbicara, Yudhis akan mengeluarkan sikap agresif dan emosionalnya yang berujung pada Lala menuruti kemauan Yudhis. Di titik ini, hubungan mereka telah bertransformasi menjadi racun yang dapat ‘membunuh’ satu sama lain.

Dinamika Hubungan Beracun

Film ini menyajikan transisi yang riil tentang bagaimana hubungan Yudhis dan Lala yang menyenangkan berbelok menjadi penuh konflik dan ketegangan. Fase pendekatan yang ditampilkan terbilang cepat, tetapi adegan-adegan semasa mereka berpacaran terasa merayap dan mencekam dengan detail-detail tertentu, salah satunya adalah cuplikan yang menunjukkan Lala mendapat hampir tiga puluh missed calls dari Yudhis dalam kurun waktu satu jam saja. 

Selama menonton, kita disuguhkan bagaimana manipulasi dapat membuat seseorang tunduk selama berada dalam suatu hubungan, bagaimana Yudhis terus menerus ‘mendoktrin’ lala bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang dapat mengerti Lala dan selalu ada untuknya. Manipulasi ini juga direkam melalui adegan Yudhis yang memohon, menangis, bahkan memukuli dirinya sendiri untuk mencegah Lala memutuskan hubungan mereka sehingga pada akhirnya Lala memaafkan Yudhis yang baru saja mencekiknya karena terbakar api cemburu. Obsesi berlebihan yang ditunjukkan oleh Yudhis mungkin hanya berawal dari rasa takut kehilangan. Namun, caranya mengekspresikan ketakutan itu tidaklah benar. Kontrol dan kekangan berlebihan disalahartikan sebagai cinta. 

Kekerasan dalam hubungan yang ditampilkan melalui film ini tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga psikis. Cara Yudhis membuat Lala merasa bersalah karena mengutarakan perasaannya, mempertanyakan pilihan dan dirinya sendiri, serta rasa bingung yang menghinggapi hati Lala adalah bentuk dari gaslighting. Yudhis selalu memberikan alasan atas segala tindakannya, mengatakan bahwa ia melakukannya karena cintanya pada Lala dan demi kebaikan Lala, membuat Lala merasa bahwa apa yang dilakukan Yudhis adalah benar adanya. Pandangannya akan batasan hubungan yang sehat dan hubungan yang beracun mengabur, membuat Lala yang semula ingin pergi pun membatalkan niatnya karena adanya keterikatan.

Akhir yang Melegakan

Dalam film diperlihatkan Yudhis memainkan rubik yang sama berulang kali, seolah menggambarkan situasi psikologisnya yang rumit dan tidak stabil. Namun, di saat bersamaan Yudhis juga mencari solusi dan pelarian akan konflik batin yang dihadapinya. Begitu pula dengan Lala dan loncat indahnya. Dengan segala tuntutan dan beban yang dia rasakan, Lala seperti terjun bebas ke dalam konflik yang ada dengan posisi membelakangi atau tidak berhadapan langsung dengan konflik tersebut. Hal ini menggambarkan karakter Lala yang memilih untuk ‘pasrah’ sehingga akhirnya ia terbawa oleh situasi di sekelilingnya.

Toxic relationship yang dijalani Yudhis dan Lala membuat Yudhis menjadi sosok pelaku dengan Lala adalah korbannya. Namun, pada akhir cerita, penonton dibuat ‘tidak bisa membenci’ Yudhis. Klimaks dalam film ini membuat Yudhis tersadar bahwa ia dan hubungan mereka menyakiti Lala, membuatnya memutuskan untuk meninggalkan Lala yang justru enggan dan menolak pergi karena telanjur dibutakan oleh cinta yang sebenarnya sudah tidak layak disebut cinta. Keputusan Yudhis untuk melepaskan Lala cukup mengejutkan, tetapi di saat bersamaan juga melegakan karena rupanya Yudhis masih memiliki ‘kewarasan’ untuk melihat realita meskipun harus memakan waktu yang cukup lama. 

Film berdurasi lebih dari satu setengah jam ini rasa-rasanya membuat kita menjadi yang paling tahu bagaimana struggle yang dialami baik oleh Lala maupun Yudhis secara personal dan dalam hubungan mereka. Sebagai penonton, kita seperti dibawa masuk terlalu dalam ke ranah privasi perkembangan hubungan mereka melebihi orang tua atau sahabat mereka sendiri. Emosi yang dibangun oleh film Posesif bagaikan menaiki wahana roller coaster bahkan hingga adegan terakhir. Ada rasa tidak nyaman yang ditimbulkan sepanjang konflik dan rasa haru yang muncul ketika akhirnya Lala berhasil sepenuhnya ‘lepas’ dari jeratan racun.

Secara keseluruhan, film yang masuk nominasi kategori Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia tahun 2017 ini adalah film yang sangat worth it untuk ditonton. Tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga media pembelajaran tentang pentingnya kesadaran akan tanda-tanda dari toxic relationship dan keberanian untuk sesegera mungkin melepaskan diri. Cinta dan hubungan yang sehat tidak seharusnya membuat seseorang kehilangan rasa kebebasan dan penghargaan terhadap diri sendiri. Film Posesif berhasil mengemas topik ini dengan apik tanpa terkesan berlebihan. Ekspresi yang ditunjukkan oleh setiap karakter terlihat ‘hidup’ ditambah dengan sentuhan sinematografi yang mendukung penyampaian emosi dan suasana dalam cerita.

#Posesif #Bioskop

Indira Swasti Ananda

Biodata Penulis:

Indira Swasti Ananda, atau biasa disapa Indira, lahir pada tanggal 18 Mei 2005 di Boyolali. Saat ini sedang menjalani kehidupan sebagai mahasiswa Psikologi di Universitas Sebelas Maret. Penulis suka menuangkan opini maupun ide-idenya ke dalam bentuk tulisan sejak SMP, biasanya terinspirasi dari lagu yang didengarkan, film yang ditonton, dan kejadian di sekitarnya.

© Sepenuhnya. All rights reserved.