Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Ungkap Akar Masalah Aksi "Kreak" di Semarang

Kreak Semarang menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Kekerasan tidak hanya merengut nyawa, tetapi juga menghancurkan ekonomi dan masa depan.

Awalnya, istilah kreak merupakan singkatan dari “kere”(miskin) dan “mayak”(berlakuan norak atau sok-sokan). Istilah ini mulanya digunakan untuk menggambarkan gaya berpakaian atau perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan situasi. Namun, maknanya kemudian berkembang menjadi simbol bagi perilaku negatif yang dilakukan oleh kelompok-kelompok remaja atau pemuda, termasuk aktivitas tawuran yang sering viral di Semarang. Kreak ini menggambarkan dan mewakili gaya, karakter, dan orientasi remaja.

Kreak

Kreak merupakan sebutan untuk gangster semarang yang aksinya mirip klitih Jogja yang melibatkan kelompok remaja yang melakukan tindakan kekerasan di jalanan. Munculnya remaja-remaja yang disebut kreak sejatinya adalah kemiskinan bagi para remaja itu bukan sebuah aib namun sebuah "kebanggaan", mereka mungkin merasa tertekan dan tidak berdaya sehingga mencari pengakuan dan rasa kebanggaan melalui tindakan kekerasan. Aksi ini melibatkan senjata tajam yang sering kali menyebabkan korban luka-luka.

Brutal dan Gila Pada Media Sosial

Banyak anak muda sekarang yang ingin eksis dan cari jati diri mereka melalui media sosial. Parahnya mereka malah merasa bangga apabila perbuatan tawuran ini masuk dalam media sosial bahkan media mainstream, karena dianggap sebagai reward dan kerap didokumentasikan lalu dibagikan di platform seperti Instagram, TikTok, atau Facebook, salah satunya Twitter bahkan sempat memasuki tranding topic teratas Indonesia.

Aksi Kreak di Semarang

Para kreak-kreak biasanya bergabung pada kelompok atau geng mereka ingin eksis tapi melalui jalan yang salah, ketimbang fokus cari penghidupan yang lebih baik dan bermanfaat untuk dirinya. Namun, dengan ketenaran yang diposting di balik kelakuan brutal dan gila tersebut malah menjadi perbincangan orang-orang yang mengganggap mereka seolah-olah hanya mencari perhatian biar dianggap menjadi paling hebat atas kerusuhan yang mereka buat, padahal ada masalah yang lebih serius di balik semua itu, yaitu mereka bukan anak muda salah pergaulan, tetapi juga korban dari sistem yang gagal memberikan harapan.

Inilah problematika kreak Semarang ketika mereka tidak memiliki arah untuk menentukan masa depan tetapi malah mereka mencari cara untuk berbuat sesuatu tidak pantas yang mengakibatkan orang sekitar menjadi risih atas kegaduhan mereka.

Luka Batin dan Kantong Warga yang Terluka?

Kreak Semarang menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Kekerasan tidak hanya merengut nyawa, tetapi juga menghancurkan ekonomi dan masa depan. Kreak yang sangat ramai menjadi perbincangan masyarakat di Semarang masih belum menemukan titik terang, kekerasan ini menyebabkan kerugian bagi warga yang menggantungkan penghasilan di Kota Semarang.

Di balik hiruk-pikuk pemberitaan kekerasan yang terjadi, tersembunyi derita ekonomi yang membebani warga Kota Semarang. Kreak bukan hanya merenggut rasa aman, tetapi juga menghancurkan mata pencaharian dan masa depan mereka. Akibat tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok "kreak" mengakibatkan kerugian yang seharusnya penghasilan digunakan untuk menafkahi istri dan menyekolahkan anaknya menjadi berkurang, penurunan omzet, penutupan usaha, dan anyak penjual kaki lima tutup warung waktu Isya karena takut dan khawatir.

Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok "kreak" tidak hanya berdampak pada warga dan pelaku usaha, tetapi juga merugikan mahasiswa seperti mahasiswa UIN. Walisongo Semarang, mengecam keras aksi kekerasan jalanan ini. Ia menilai tindakan tersebut tidak etis dan tidak memberikan manfaat apa pun, terlebih jika sampai menimbulkan korban jiwa. Kekerasan ini mengganggu aktivitas mahasiswa, khususnya mereka yang memiliki keperluan di daerah yang jauh dari kampus. Kekerasan yang terjadi membuat mahasiswa merasa tidak aman dan terancam, sehingga menghambat mobilitas dan kegiatan belajar mereka.

Kejadian ini menunjukkan bahwa "kreak" bukan hanya masalah keamanan, tetapi juga mengancam pendidikan dan masa depan generasi muda. Di balik kerugian ekonomi yang nyata dan tersembunyi luka batin yang tak kalah dalam.

Mencari Cahaya di Tengah Gelap

Seperti pepatah "Air tenang menghanyutkan", permasalahan "kreak" di Semarang memang tampak rumit dan sulit diatasi. Namun, ingatlah pepatah "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan". Dengan tekad kuat, kerja sama yang erat, dan semangat "bagai aur dengan tebing", kita pasti bisa menemukan jalan keluar.

Di balik hiruk-pikuk "kreak" Semarang, tersembunyi cerita pilu tentang harapan yang sirna dan mimpi yang terkubur. Mereka, para pemuda yang terjebak dalam lingkaran kekerasan, merupakan cerminan dari sebuah sistem yang gagal menampung aspirasi dan potensi mereka. Tugas kita, bukan hanya untuk menghentikan kekerasan, tetapi juga untuk membuka jalan bagi mereka untuk meraih kembali mimpi yang terpendam.

Bayangkan jika jalanan yang selama ini menjadi medan pertempuran, berubah menjadi ruang bagi kreativitas dan inovasi. Jika energi yang terbuang sia-sia dalam kekerasan, dialihkan untuk melahirkan ide-ide brilian dan karya-karya yang menginspirasi. Semarang, kota yang kita cintai, bisa menjadi wadah bagi para pemuda untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Mari kita bersama-sama merangkul mereka, menawarkan peluang, dan membangun Semarang yang tidak hanya aman, tetapi juga penuh dengan harapan dan inspirasi.

Biodata Penulis:

Yolanda Rahayuningsih, lahir pada tanggal 31 Maret 2006 di Klaten, saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.