Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Kesetaraan Gender di Dunia Kerja: Implementasi dan Hambatannya

Meskipun ada berbagai peraturan yang mendukung kesetaraan gender, dalam kenyataannya, peran perempuan dalam pendidikan dan organisasi masih sangat ...

Isu gender dalam organisasi adalah tema yang semakin relevan dalam dunia kerja modern, mengingat pentingnya menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung keberagaman. Gender, yang mencakup peran sosial dan budaya yang diatributkan kepada individu berdasarkan jenis kelamin, memiliki dampak yang besar terhadap dinamika dalam organisasi, baik itu dalam hal pembagian tugas, struktur kekuasaan, maupun peluang karier.

Secara tradisional, peran gender dalam dunia kerja sering kali dipengaruhi oleh pandangan sosial yang menganggap bahwa pria lebih unggul dalam aspek kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan aktivitas-aktivitas profesional, sementara wanita lebih sering diposisikan dalam pekerjaan dengan status yang lebih rendah atau kurang berpengaruh.

Fenomena ini mengarah pada kesenjangan gender yang nyata, meskipun beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan yang signifikan dalam hal kesadaran terhadap kesetaraan gender, terutama di tempat-tempat kerja yang lebih besar dan lebih progresif. Namun, meskipun kesadaran ini semakin meningkat, ketimpangan gender dalam organisasi tetap menjadi isu yang kompleks dan berkelanjutan.

Kesetaraan Gender di Dunia Kerja

Dalam banyak budaya, posisi-posisi penting dalam organisasi sering kali didominasi oleh pria, sementara wanita lebih banyak ditempatkan dalam pekerjaan dengan status yang lebih rendah atau kurang berpengaruh. Hal ini menciptakan kesenjangan gender yang nyata, meskipun beberapa organisasi telah berusaha untuk mengatasi masalah tersebut dengan merancang kebijakan kesetaraan gender.

Kebijakan semacam ini, yang mencakup inisiatif seperti pemberian kuota gender dalam posisi manajerial, fleksibilitas waktu kerja, dan penyediaan fasilitas untuk keseimbangan kehidupan kerja, bertujuan untuk memberikan kesempatan yang setara bagi pria dan wanita dalam mencapai tujuan profesional mereka.

Salah satu contoh nyata adalah kebijakan yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang mendukung keberagaman gender dengan mengimplementasikan kuota gender dalam posisi puncak, sehingga perempuan mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang strategis.

Namun, implementasi kebijakan ini sering kali terhambat oleh budaya perusahaan yang sudah terbangun, yang terkadang sulit untuk mengubah pandangan tradisional tentang peran pria dan wanita dalam dunia kerja.

Dalam banyak kasus, meskipun kebijakan yang mendukung kesetaraan gender telah diterapkan, perubahan nyata dalam struktur organisasi dan dinamika kekuasaan sering kali berjalan sangat lambat.

Organisasi besar sering kali terhambat oleh tradisi dan norma-norma yang telah lama berakar dalam budaya mereka. Misalnya, perempuan sering kali merasa kurang dihargai dalam rapat penting atau dalam pertemuan yang melibatkan pengambilan keputusan utama. Keadaan ini terjadi karena adanya anggapan bahwa pria lebih mampu dalam peran-peran kepemimpinan atau pengambilan keputusan strategis.

Selain itu, budaya organisasi juga memainkan peran penting dalam membentuk sikap terhadap gender. Dalam organisasi dengan budaya yang lebih konservatif, nilai-nilai tradisional mengenai peran gender dapat memperkuat ketidaksetaraan yang ada. Misalnya, di beberapa tempat kerja, perempuan mungkin merasa terhalang untuk berbicara atau menunjukkan keahlian mereka dalam pengambilan keputusan penting, sementara laki-laki cenderung lebih didorong untuk bersikap tegas dan menonjol.

Perbedaan-perbedaan semacam ini tidak hanya mempengaruhi rasa percaya diri individu tetapi juga memengaruhi produktivitas dan dinamika kerja secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya kebijakan formal yang perlu diperhatikan, tetapi juga norma sosial dan budaya yang ada dalam organisasi tersebut. Normatif sosial ini sering kali menjadi penghalang terbesar dalam upaya untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati.

Ketimpangan gender dalam organisasi semakin diperburuk oleh minimnya representasi perempuan dalam posisi kepemimpinan. Meskipun telah ada peningkatan jumlah perempuan yang menduduki jabatan manajerial, perempuan masih sangat kurang terwakili di posisi tertinggi, seperti direktur atau CEO.

Beberapa studi menunjukkan bahwa meskipun perempuan menyumbang sebagian besar tenaga kerja, mereka sering kali tidak memiliki akses yang sama dengan pria untuk mencapai posisi puncak. Salah satu alasan utama dari fenomena ini adalah adanya bias gender yang sudah mengakar dalam pengambilan keputusan terkait promosi dan penunjukan pemimpin.

Meskipun perempuan sering kali memiliki kualifikasi dan pengalaman yang memadai, mereka sering kali dianggap kurang memenuhi standar yang dianggap penting dalam kepemimpinan, seperti ketegasan dan kekuatan. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberagaman gender dalam kepemimpinan dapat membawa manfaat yang signifikan bagi kinerja organisasi.

Peran gender dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan organisasi, telah menjadi topik yang semakin relevan dan mendapat perhatian luas. Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) mengemukakan bahwa istilah gender dapat dipahami dalam berbagai pengertian, termasuk sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, fenomena sosial budaya, kesadaran sosial, persoalan sosial budaya, konsep untuk analisis, hingga perspektif dalam memandang kenyataan. Penelitian gender berakar pada paradigma feminisme, yang seringkali mengikuti dua teori besar, yaitu fungsionalisme struktural dan teori konflik.

Fungsionalisme struktural berangkat dari asumsi bahwa masyarakat terdiri dari berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Dalam konteks ini, teori fungsionalisme berusaha untuk mengidentifikasi unsur-unsur mendasar yang berpengaruh dalam masyarakat, seperti nilai-nilai dan norma yang ada. Sementara itu, teori konflik memandang gender sebagai produk dari ketidaksetaraan dan dominasi dalam hubungan sosial. Kedua pendekatan ini memberikan gambaran yang berbeda mengenai dinamika hubungan gender dalam masyarakat, yang terus berubah dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Di sisi lain, Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender menjelaskan bahwa gender merujuk pada harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Laki-laki seringkali dikaitkan dengan sifat kuat, rasional, jantan, dan perkasa, sementara perempuan dianggap lemah, emosional, cantik, dan keibuan. Namun, ciri-ciri ini tidak bersifat tetap, melainkan bisa berubah-ubah, baik seiring waktu maupun berdasarkan tempat dan budaya yang ada.

Dengan kata lain, gender bukanlah sebuah konstruksi biologis atau kodrat, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat (Mansour Fakih, 1996).

Secara umum, pengertian gender merujuk pada perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai, perilaku, dan tingkah laku yang dianggap sesuai dengan peran sosial masing-masing. Dalam Women Studies Encyclopedia, gender digambarkan sebagai konsep kultural yang berupaya untuk membuat perbedaan dalam peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan. Gender bukanlah sesuatu yang bersifat alami atau kodrati, melainkan merupakan konstruksi sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, gender dapat berbeda-beda antar budaya, masyarakat, dan bahkan berubah seiring perkembangan zaman.

Gender, sebagai konstruksi sosial, juga mengacu pada pembagian fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan ini tidak didasarkan pada perbedaan biologis atau kodrat, melainkan ditentukan oleh kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing individu dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan, pekerjaan, dan organisasi. Sebagai contoh, dalam banyak masyarakat tradisional, perempuan sering dianggap lebih cocok untuk mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial, pandangan ini mulai bergeser.

Perubahan peran gender yang semakin terbuka lebar bagi perempuan, khususnya dalam dunia pendidikan dan organisasi, menunjukkan bahwa pandangan tradisional tentang peran perempuan mulai mengalami pergeseran. Seperti yang tercermin dalam nilai-nilai Pancasila pada sila ke-5, yang mengedepankan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", ideologi bangsa Indonesia menekankan kesetaraan hak bagi seluruh lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini juga didukung dengan adanya peraturan perundang-undangan mengenai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) Tahun 2012 dan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.

Namun, meskipun ada berbagai peraturan yang mendukung kesetaraan gender, dalam kenyataannya, peran perempuan dalam pendidikan dan organisasi masih sangat terbatas. Terutama dalam konteks organisasi, meskipun kesempatan untuk menjadi pemimpin telah terbuka lebar bagi perempuan, namun posisi-posisi pemimpin, terutama di kalangan mahasiswa, masih didominasi oleh laki-laki. Ini mencerminkan bahwa meskipun ada kesetaraan hak secara hukum, tantangan besar tetap ada dalam implementasi kesetaraan gender dalam praktik sehari-hari.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa meskipun terdapat berbagai kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, masyarakat masih terperangkap dalam norma-norma dan stereotip yang telah terbentuk lama. Peran perempuan dalam organisasi sering kali dianggap terbatas pada posisi sekretaris atau bendahara, sementara posisi pemimpin atau penguasa masih lebih sering dijabat oleh laki-laki. Hal ini berkaitan erat dengan pandangan sosial yang menganggap bahwa perempuan lebih cocok dalam ranah domestik dan peran-peran yang terkait dengan pengelolaan keuangan, sementara laki-laki diharapkan untuk memimpin dan mengatur.

Studi menunjukkan bahwa tim yang lebih beragam cenderung menghasilkan keputusan yang lebih inovatif dan mencerminkan berbagai perspektif, yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi secara keseluruhan. Dalam konteks ini, keberagaman gender tidak hanya meningkatkan representasi, tetapi juga meningkatkan kualitas keputusan yang diambil, karena lebih banyak perspektif yang dipertimbangkan. Peran wanita dalam kepemimpinan dapat membawa pendekatan yang lebih empatik dan kolaboratif, yang dapat sangat bermanfaat dalam mengelola tim dan memecahkan masalah kompleks. Oleh karena itu, mempromosikan perempuan ke posisi kepemimpinan tidak hanya bermanfaat bagi perempuan itu sendiri, tetapi juga bagi organisasi secara keseluruhan.

Namun, untuk mencapai hal tersebut, organisasi perlu lebih berani dalam menantang stereotip gender yang menghalangi perempuan untuk maju. Ini termasuk mengatasi bias-bias yang terjadi selama proses rekrutmen dan promosi. Misalnya, dalam banyak organisasi, pria sering kali dipandang sebagai pemimpin yang lebih baik hanya karena mereka telah lama dipandang sebagai orang yang "tegas" atau "kuat", sifat-sifat yang sering kali diasosiasikan dengan kepemimpinan dalam budaya yang didominasi oleh norma maskulin.

Sebaliknya, perempuan sering kali dipandang kurang tegas atau terlalu emosional, meskipun mereka memiliki keterampilan kepemimpinan yang sama baiknya dengan pria. Bias-bias ini memperburuk ketimpangan gender yang sudah ada dan menghambat perempuan untuk meraih posisi-posisi penting dalam organisasi.

Selain itu, organisasi perlu memperhatikan kebutuhan individu yang mengidentifikasi diri mereka sebagai non-biner, genderqueer, atau transgender. Kelompok ini sering kali terabaikan dalam kebijakan yang lebih berfokus pada perbedaan antara pria dan wanita. Untuk menciptakan lingkungan kerja yang benar-benar inklusif, organisasi perlu mengembangkan kebijakan yang mendukung keberagaman identitas gender dan memberikan perlindungan yang setara bagi semua individu, terlepas dari identitas gender mereka.

Kebijakan semacam ini mencakup pengakuan atas keberagaman gender dalam setiap aspek organisasi, mulai dari rekrutmen hingga promosi, serta perlindungan terhadap diskriminasi berbasis identitas gender. Hal ini sangat penting mengingat banyak individu yang mengalami diskriminasi dan ketidaksetaraan yang lebih besar di tempat kerja jika identitas gender mereka tidak diterima atau dihargai.

Aina Zuzaila

Biodata Penulis:

Aina Zuzaila saat ini aktif sebagai mahasiswa, Sosiologi, di Universitas Muhammadiyah Malang.

© Sepenuhnya. All rights reserved.