Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Moderasi Beragama dalam Bingkai Toleransi: Kajian Islam dan Keberagaman

Toleransi merupakan hasil dari interaksi sosial yang erat di dalam masyarakat. Dalam konteks kehidupan sosial beragama, manusia tidak dapat ...

Moderasi adalah istilah yang berasal dari kata "moderat". Kata "moderat" sendiri merupakan sebuah sifat yang diambil dari kata "moderation", yang memiliki arti tidak berlebihan, sedang, atau berada di tengah-tengah. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini diadaptasi menjadi "moderasi", dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moderasi didefinisikan sebagai upaya untuk mengurangi kekerasan atau menghindari ekstremisme. Menurut KBBI, istilah moderasi berasal dari bahasa Latin "moderâtio", yang berarti kesederhanaan (tiada kelebihan dan tiada kekurangan). Oleh karena itu, saat kita menggabungkan moderasi dengan beragama, istilah "moderasi beragama" merujuk pada sikap yang berusaha mengurangi kekerasan dan menghindari ekstremisme dalam praktik beragama.

Toleransi beragama merujuk pada sikap menghargai dan menghormati keyakinan yang dianut oleh individu terkait akidah atau konsep ketuhanan yang mereka percayai. Setiap orang seharusnya diberikan kebebasan untuk memilih dan menjalani agama sesuai dengan hati nuraninya, serta memperoleh penghormatan dalam melaksanakan ajaran-ajaran yang mereka anut.

Moderasi Beragama dalam Bingkai Toleransi

Toleransi juga merupakan hasil dari interaksi sosial yang erat di dalam masyarakat. Dalam konteks kehidupan sosial beragama, manusia tidak dapat mengabaikan pentingnya pergaulan, baik di kalangan sesama anggota keyakinan maupun dengan kelompok lain yang mungkin memiliki agama atau pandangan yang berbeda. Oleh karena itu, seharusnya setiap umat beragama berupaya untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman melalui kerangka toleransi. Dengan demikian, kestabilan sosial dapat terjaga, dan gesekan ideologi antara pemeluk agama yang berbeda dapat diminimalisir.

Moderasi dalam Islam

Secara mendasar, moderasi sebenarnya telah diajarkan dalam Islam, yang tergambar dalam al-Qur'an. Di dalam al-Qur'an, istilah moderasi itu disebut Al-Wasathiyyah. Namun, terdapat perdebatan mengenai pemahaman moderasi jika ditinjau dalam konteks saat ini. Kata "al-wasathiyyah" berasal dari dua istilah, yaitu al-wasth (dengan huruf sin yang dibaca sukun) dan al-wasath (dengan huruf sin yang dibaca fathah). Keduanya merupakan isim masdar dari kata kerja wasatha. Secara sederhana, pengertian Wasathiyyah secara terminologis didasari oleh makna-makna etimologis yang menunjukkan karakteristik terpuji yang melindungi seseorang dari sikap ekstrem.

Dari pengertian dasar wasathiyyah yang dijelaskan dalam kamus-kamus bahasa Arab, kita dapat menarik kesimpulan bahwa konsep wasathiyyah secara etimologi memiliki dua makna utama. Pertama, sebagai kata benda (ism) yang bersifat lebih konkret (hissi), yaitu menjadi perantara atau penghubung (interface/al-bainiyyah) antara dua hal atau dua kondisi yang berlawanan. Kedua, dalam arti yang lebih abstrak (theoretical), yang berarti adil, pilihan, utama, dan terbaik (superiority/al-khiyar). Seperti yang dikemukakan oleh Syekh Raghib al-Ashfahan memberikan makna sebagai titik tengah, tidak terlalu ke kanan (ifrath) dan tidak pula terlalu ke kiri (tafrith), di dalamnya terdapat kandungan makna kemuliaan, persamaan dan keadilan (al-adl).

Toleransi dalam Pandangan Islam

Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris, yaitu "tolerance". Sementara dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal sebagai "tasamuh", yang berarti bermurah hati, atau "tasahul" yang berarti memudahkan. Di sisi lain, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kata "kerukunan" diartikan sebagai "hidup bersama dalam masyarakat melalui kesatuan hati dan bersepakat untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. "Kerukunan" memiliki makna yang mengandung "damai" dan "baik". Singkatnya, kerukunan adalah tentang bagaimana kita menjalani kehidupan bersama secara harmonis. Dalam masyarakat yang memegang prinsip "kesatuan hati" dan "bersepakat", tujuan utamanya adalah untuk mencegah munculnya permusuhan, pertengkaran, dan perselisihan. Jika kita mengadopsi pemahaman ini, maka "kerukunan" adalah suatu hal yang ideal dan sangat diidam-idamkan oleh setiap anggota masyarakat.

Dalam perspektif Islam, istilah toleransi dikenal sebagai tasamuh. Namun, perlu dicatat bahwa tasamuh tidak sepenuhnya sejalan dengan pengertian toleransi itu sendiri, karena tasamuh mencerminkan tindakan yang bersifat mengarahkan dan menerima dalam batas-batas tertentu. Dalam pandangan Islam, orang yang mengamalkan tasamuh disebut mutasamihin, yang berarti "penerima, menawarkan, pemurah, dan pemaaf, seperti seorang tuan rumah yang baik bagi tamunya."

Namun, dalam praktiknya, mereka yang menerapkan tasamuh tidak seharusnya hanya pasif menerima segala sesuatu yang melanggar batas hak dan kewajibannya. Dengan kata lain, tindakan tasamuh dalam kehidupan beragama berarti saling menghormati dan tidak melanggar batasan, terutama terkait dengan aspek keimanan (aqidah).

Moderasi untuk Kerukunan Beragama

Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keragaman suku, budaya, dan agama, memerlukan strategi yang efektif untuk menciptakan serta memelihara kebebasan beragama dan kerukunan antar pemeluk agama. Hal ini sangat penting untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, aman, damai, bersatu, dan tenteram. Untuk mencapai kedamaian, keamanan, dan kesatuan tersebut, diperlukan sebuah pendekatan yang tepat, yaitu moderasi beragama.

Moderasi dalam kerukunan beragama harus diterapkan guna menciptakan harmoni antar umat beragama atau keyakinan. Dalam menghadapi situasi keagamaan di Indonesia yang begitu beragam, kita memerlukan visi dan solusi untuk mewujudkan kerukunan serta kedamaian dalam kehidupan beragama. Penerapan moderasi beragama sangat penting untuk saling menghargai berbagai tafsir dan mencegah terjebaknya masyarakat dalam intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.

Semangat moderasi beragama merupakan strategi untuk menemukan titik temu dan menciptakan jalan damai di antara dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, terdapat sekelompok pemeluk agama yang ekstrem, berpegang teguh pada satu tafsir teks agama yang mereka anggap mutlak benar, dan menganggap penafsir lain sesat; kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada pula umat beragama yang ekstrem dalam mendewakan akal, sehingga mengabaikan kesucian agama serta mengorbankan prinsip dasar ajaran agama demi toleransi yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain; mereka dikenal sebagai ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi untuk mencapai keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat.

Keragaman dalam beragama di Indonesia adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, moderasi beragama hadir sebagai pengikat persamaan, bukan sebagai pemicu perbedaan yang tajam. Terdapat beberapa alasan mengapa moderasi beragama sangat dibutuhkan, khususnya di Indonesia:

  1. Moderasi sangat penting sebagai strategi kebudayaan dalam merawat keindonesiaan. Sebagai negara yang multikultural, para pendiri bangsa sejak awal telah berhasil mewariskan kesepakatan dalam berbangsa, bernegara, dan beragama melalui Pancasila. Pancasila telah terbukti mampu menyatukan seluruh kelompok agama, etnis, bahasa, dan bahkan budaya di Indonesia. Meskipun Indonesia bukan negara berdasarkan agama, agama tetap menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak dapat dipisahkan. Nilai-nilai agama dapat dipadukan dengan kearifan lokal, dan beberapa aspek hukum agama bahkan telah diadopsi oleh negara dalam Undang-Undang Dasar dan Peraturan Pemerintah.
  2. Kehadiran agama dalam hidup manusia bertujuan untuk melindungi martabat manusia sebagai makhluk yang mulia serta menjunjung tinggi kehidupan. Setiap agama membawa misi perdamaian dan keselamatan. Agama mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga melindungi nyawa manusia menjadi prioritas. Menghilangkan satu nyawa sama artinya dengan menghilangkan nyawa semua umat manusia. Oleh karena itu, moderasi beragama seharusnya menjadi cara untuk mengembalikan praktik beragama sesuai dengan esensinya, sehingga agama benar-benar menjadi ruh dalam kehidupan dan menjaga harkat serta martabat manusia.
  3. Seiring perkembangan zaman, setelah ribuan tahun agama dilahirkan, jumlah manusia semakin bertambah dan keragaman pun semakin meningkat, dengan berbagai suku, warna kulit, dan bangsa. Keilmuan juga terus berkembang untuk menjawab berbagai masalah kemanusiaan. Teks-teks agama menjadi multitafsir, kebenaran menjadi relatif, dan sebagian pemeluk agama mulai kehilangan pegangan pada ajaran agamanya, sehingga muncul fanatisme terhadap versi kebenaran yang mereka percaya. Hal ini menyebabkan konflik yang sulit dihindari, bukan hanya di satu daerah atau negara, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Oleh karena itu, untuk mencari solusi terbaik dalam menghadapi masalah ini, moderasi beragama menjadi jawaban yang penting diterapkan, agar konflik yang berkaitan dengan agama dapat diminimalkan dan eksistensi kemanusiaan tetap terjaga.

Biodata Penulis:

Mustika Dahlia saat ini aktif sebagai mahasiswi di Universitas K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.