Di tengah gelombang modernisasi dan perkembangan teknologi digital yang begitu pesat, tradisi lokal di berbagai daerah Indonesia tetap hidup dan menjadi bagian penting dari identitas masyarakat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimana tradisi lokal bisa bertahan di era digital yang serba cepat ini?
Di era globalisasi yang ditopang oleh kemajuan teknologi, dunia terasa semakin kecil. Informasi mengalir begitu cepat, budaya yang cepat. Dalam konteks ini, banyak yang khawatir akan kelangsungan budaya lokal, terutama adat yang telah lama menjadi identitas suatu bangsa. Pertanyaannya, bisakah budaya lokal bertahan di tengah dominasi budaya global yang dibawa oleh teknologi?
Budaya lokal adalah warisan yang tumbuh dari pengalaman kolektif, nilai, dan kebiasaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Namun, kehadiran teknologi membawa masuk budaya global yang sering kali lebih menarik bagi generasi muda. Musik internasional, mode, dan bahasa asing lebih mudah diakses, membuat budaya lokal terlihat kurang menarik.
Budaya lokal bukan hanya sekedar kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia menjadi simbol identitas kolektif suatu komunitas. Misalnya, upacara adat seperti Ngaben di Bali atau Rambu Solo di Tana Toraja bukan sekedar ritual, melainkan cerminan nilai-nilai luhur yang mengakar dalam kehidupan masyarakat setempat.
Masyarakat yang kuat memegang tradisinya cenderung melihat tradisi tersebut sebagai bagian dari jati diri mereka. Di tengah arus globalisasi, menjaga tradisi berarti menjaga keberadaan dan identitas komunitas mereka di tengah dunia yang semakin homogen.
Namun, teknologi bukanlah musuh budaya. Sebaliknya, teknologi bisa menjadi alat yang efektif untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya lokal. Digitalisasi manuskrip kuno, dokumentasi tradisi lisan, dan promosi seni tradisional lewat media sosial adalah beberapa contoh bagaimana teknologi dapat memperkenalkan budaya kepada dunia. Platform digital memberikan ruang luas untuk berbagi budaya lokal secara global.
Inovasi juga memainkan peran penting. Banyak seniman muda yang menggabungkan budaya lokal dengan elemen modern, seperti mengkolaborasikan musik tradisional dengan genre kontemporer seperti EDM atau hip-hop, atau mengadaptasi busana adat menjadi pakaian sehari-hari yang lebih praktis. Ini menunjukkan bahwa budaya tidak harus statis, melainkan dapat berkembang dan beradaptasi mengikuti perkembangan zaman.
Pendidikan juga berperan besar dalam melestarikan budaya lokal. Pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan budaya, kunjungan ke tempat-tempat bersejarah, dan penggunaan teknologi untuk mengenalkan adat dengan cara yang menarik dapat membantu menanamkan rasa cinta terhadap budaya lokal.
Peran generasi muda, generasi muda, meskipun kerap dianggap lebih terpapar budaya luar, ternyata memiliki peran besar dalam melestarikan tradisi lokal. Banyak dari mereka yang bangga memperkenalkan tradisi daerahnya melalui konten digital.
Di era digital ini, generasi muda tidak hanya menjadi pelaku tradisi, tetapi juga “duta” budaya yang menjembatani antara lokalitas dan globalisasi.
Akhirnya, kelestarian budaya lokal sangat bergantung pada kesadaran kolektif. Jika masyarakat aktif merawat dan memperkenalkan budaya mereka dengan cara kreatif, budaya lokal bisa tetap bertahan dan berkembang.
Teknologi bukanlah ancaman, melainkan alat yang dapat digunakan untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya lokal. Dengan pemanfaatan yang bijak, budaya kita bisa tetap relevan dan bersaing di panggung global.
Biodata Penulis:
Hani Atus Soleha lahir pada tanggal 14 Agustus 2005. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, program studi Pendidikan Agama Islam.