Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Antara Tradisi dan Realita: Menurunnya Antusiasme Mudik di Tengah Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi yang melanda, baik pada skala nasional maupun global, telah menyebabkan guncangan besar pada berbagai sektor kehidupan. Lonjakan ...

Mudik atau pulang kampung saat hari raya merupakan tradisi tahunan yang sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya menjelang Idulfitri. Tradisi ini bukan sekadar perjalanan fisik dari kota ke desa, tetapi juga perjalanan emosional yang sarat makna: mempererat tali silaturahmi, mengenang kampung halaman, dan mengisi kembali energi spiritual setelah sebulan penuh berpuasa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi COVID-19 dan diperparah oleh krisis ekonomi global, antusiasme terhadap tradisi mudik tampak mengalami penurunan yang signifikan.

Menurunnya Antusiasme Mudik di Tengah Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi yang melanda, baik pada skala nasional maupun global, telah menyebabkan guncangan besar pada berbagai sektor kehidupan. Lonjakan inflasi, naiknya harga bahan pokok, serta meningkatnya biaya transportasi membuat banyak orang harus berpikir ulang untuk melaksanakan mudik. Situasi ini diperparah dengan pendapatan yang stagnan, bahkan menurun bagi sebagian besar masyarakat pekerja harian, buruh pabrik, pedagang kecil, maupun mereka yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Mudik yang dahulu menjadi semacam kewajiban sosial dan emosional, kini menjadi beban finansial yang sulit ditanggung.

Sebagai contoh, harga tiket pesawat dan kereta api menjelang Lebaran biasanya meningkat tajam akibat tingginya permintaan. Hal ini wajar dalam hukum pasar, namun menjadi tidak ramah bagi masyarakat dengan ekonomi terbatas. Belum lagi biaya tambahan seperti oleh-oleh, konsumsi selama perjalanan, serta dana untuk berbagi di kampung halaman. Bagi banyak perantau, semua itu bukan hanya sekadar biaya, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral untuk ‘pulang dengan membawa sesuatu’. Namun ketika realitas ekonomi semakin menekan, harapan-harapan itu terpaksa dikubur demi memenuhi kebutuhan hidup yang lebih mendesak.

Di samping faktor ekonomi, terdapat pula perubahan pola pikir generasi muda yang turut memengaruhi menurunnya antusiasme mudik. Generasi milenial dan Gen Z, yang kini banyak menghuni kota-kota besar untuk bekerja atau studi, cenderung lebih fleksibel dalam memaknai tradisi. Bagi mereka, esensi silaturahmi tidak harus diwujudkan dengan kehadiran fisik. Kehadiran teknologi digital seperti video call, grup WhatsApp keluarga, dan media sosial telah mengubah cara orang berinteraksi. Meskipun tetap ada kerinduan akan suasana kampung, pertemuan virtual dianggap cukup untuk menggantikan momen kebersamaan secara langsung, setidaknya untuk sementara waktu.

Namun, apakah hal ini berarti tradisi mudik akan perlahan hilang? Jawabannya mungkin tidak sesederhana itu. Tradisi bukanlah sesuatu yang statis. Ia bersifat dinamis, mampu beradaptasi dengan kondisi zaman. Menurunnya antusiasme mudik bukan berarti melemahnya ikatan sosial, tetapi lebih pada bentuk adaptasi terhadap situasi yang sedang tidak ideal. Banyak keluarga yang tidak bisa mudik tetap berusaha menciptakan suasana lebaran di tempat mereka berada, misalnya dengan mengadakan Salat Id di lingkungan perantauan, membuat masakan khas kampung halaman, atau berkumpul dengan komunitas senasib. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kekeluargaan, kerinduan akan kampung halaman, dan semangat Idulfitri tetap hidup meskipun tidak diwujudkan dalam bentuk perjalanan fisik.

Pemerintah dan berbagai pihak terkait sebetulnya bisa turut mengambil peran dalam menjaga tradisi ini tetap berjalan tanpa menambah beban masyarakat. Misalnya dengan mengadakan subsidi transportasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, memperbanyak jalur transportasi publik selama musim mudik, atau mengatur harga tiket agar tetap terjangkau. Di sisi lain, edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya perencanaan keuangan menjelang hari raya juga menjadi hal yang tidak kalah penting. Tradisi akan selalu memiliki tempat di hati masyarakat, tetapi untuk tetap hidup, tradisi perlu ruang dan dukungan agar bisa dijalankan tanpa mengorbankan kebutuhan hidup yang lebih mendasar.

Menurunnya antusiasme mudik bukan berarti budaya luntur, melainkan mencerminkan kondisi sosial-ekonomi saat ini. Meski terbatas, masyarakat tetap menjaga makna tradisi dengan cara baru, menyeimbangkan tekanan ekonomi dan keinginan pulang karena kampung halaman selalu menjadi tempat kembali.

Penulis: Sulistiawati

© Sepenuhnya. All rights reserved.