Pulau Bali selama ini dikenal sebagai destinasi wisata dunia dengan kekayaan budaya Hindu yang sangat kental. Namun di balik citra pariwisata dan spiritualitasnya, Bali juga menyimpan satu pelajaran berharga yang patut dicontoh yaitu kehidupan keberagaman yang harmonis. Setiap perayaan besar keagamaan, termasuk Idulfitri, menjadi momen yang memperlihatkan betapa toleransi dan moderasi beragama benar-benar hidup di tengah masyarakat Bali.
Idulfitri sebagai hari kemenangan umat Islam setelah sebulan penuh berpuasa, dirayakan dengan sukacita oleh komunitas Muslim di Bali. Meski secara demografis mereka merupakan minoritas, umat Muslim di Bali tetap bisa menjalankan ibadah dan merayakan hari raya besar seperti Idulfitri dengan tenang dan damai. Ini tak lepas dari sikap terbuka dan penuh hormat masyarakat Bali yang mayoritas Hindu terhadap sesama umat beragama.
| sumber: balipost.com |
Salah satu contoh dapat ditemukan di Kota Denpasar, ibu kota Provinsi Bali. Setiap Idulfitri, ribuan umat muslim mamadati lapangan dan masjid untuk melaksanakan salat id. Uniknya, petugas keamanan dan pecalang satuan keamanan Bali yang biasanya bertugas mengatur upacara keagamaan Hindu juga turun tangan membantu melancarkan Idulfitri. Mereka membantu mengatur arus lalu lintas, menjaga ketertiban dan memastikan suasana tetap kondusif.
Di daerah lain seperti Kampung Islam Kepaon dan Kampung Lebah di Denpasar Selatan, suasana lebaran menjadi ajang silaturahmi antarumat beragama. Warga Hindu turut hadir mengucapkan selamat dan bahkan ikut serta dalam tradisi "ngayah" atau membantu tetangga Muslim yang sedang sibuk mempersiapkan hidangan lebaran. Tradisi ini menjadi simbol keharmonisan lintas agama yang tumbuh secara alami.
Hal serupa juga terlihat di Singaraja, Kabupaten Buleleng, yang memiliki komunitas Muslim cukup besar. Di sana, masyarakat Muslim dan Hindu saling menghormati hari raya masing-masing. Saat Galungan atau Kuningan, umat Muslim ikut menjaga ketenangan dan kebersihan lingkungan pura. Sebaliknya, ketika Idulfitri tiba, umat Hindu menunjukkan sikap serupa, bahkan seringkali mengantarkan makanan sebagai bentuk persahabatan.
Kerukunan ini merupakan wujud dari moderasi beragama yang dijalankan bukan hanya dalam tataran konsep, tetapi praktik nyata sehari-hari. Moderasi beragama menekankan keseimbangan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, serta menolak sikap ekstrem dan intoleran. Di Bali, nilai ini tumbuh secara alami karena masyarakat terbiasa hidup berdampingan dengan berbagai latar belakang agama dan budaya.
Toleransi di Bali juga tercermin dari bagaimana masyarakat Muslim berpartisipasi dalam kegiatan adat dan keagamaan Hindu. Mereka tidak dipaksa untuk mengubah keyakinan, tetapi diajak untuk saling menghormati dan menjaga harmoni sosial. Sebaliknya, umat Hindu pun menghormati hari-hari besar Islam, termasuk Idulfitri, dengan memberikan ucapan selamat dan menjaga suasana kondusif di lingkungan sekitar.
Fenomena ini menjadi cerminan ideal bagi Indonesia sebagai negara multikultural. Ketika banyak wilayah di dunia dilanda konflik agama. Perayaan Idulfitri di Bali bukan sekadar peristiwa keagamaan, melainkan simbol konkret dari semangat toleransi yang perlu terus dirawat.
Di tengah tantangan global seperti radikalisme dan polarisasi sosial, kisah damai dari Bali memberikan harapan. Bahwa melalui dialog, saling pengertian, dan keterbukaan, masyarakat bisa menciptakan ruang hidup bersama yang rukun, adil, dan damai. Maka, Idulfitri di Bali bukan hanya milik umat Islam, tapi menjadi kemenangan bersama seluruh umat manusia dalam merawat nilai-nilai kemanusiaan.
Penulis: Jihaan Rihhadatul Aisy