Ada sesuatu yang istimewa di sebuah sudut kota tua Pekalongan, tepatnya di kawasan Jetayu. Bukan gedung pencakar langit atau pusat perbelanjaan modern yang mencuri perhatian, melainkan tiga bangunan ibadah yang berdiri tenang dan bersahaja: Masjid Jami’ Kauman, Gereja Kristen Jawa, dan Klenteng Po An Thian. Ketiganya tidak hanya berdiri berdekatan secara geografis, tetapi juga saling berdampingan secara batin—sebuah simfoni iman yang menyejukkan di tengah dunia yang kerap gaduh oleh perbedaan.
Jetayu adalah kawasan yang menyimpan banyak cerita, yang juga saksi bisu dari masa kolonial, jalur perdagangan, hingga geliat dakwah dan budaya lokal. Namun, di antara semua jejak sejarah itu, yang paling mengesankan adalah bagaimana perbedaan keyakinan tidak menjadi jurang pemisah, melainkan jembatan penghubung antarumat.
Masjid Jami’ Kauman menjadi pusat kegiatan keagamaan umat Islam sejak zaman dahulu. Di waktu yang sama, GKJ Pekalongan tetap hidup sebagai tempat ibadah umat Kristen, dengan lonceng gerejanya yang berdentang damai. Tak jauh dari keduanya, Klenteng Po An Thian memancarkan semangat spiritualitas yang kuat, mewakili keyakinan dan tradisi masyarakat Tionghoa yang sudah berabad-abad hidup di Pekalongan.
Ketika ketiganya berada dalam satu lingkungan, bukan sekadar secara fisik tetapi juga sosial, maka kita tidak sedang berbicara tentang kebetulan arsitektur. Kita sedang menyaksikan wujud nyata dari sebuah nilai yang semakin langka: toleransi yang tulus, yang lahir dari kebersamaan yang dijalani hari demi hari
Masyarakat Jetayu sudah lama hidup dalam kebiasaan saling mengerti. Tidak ada yang merasa paling benar, tidak ada yang merasa terancam. Ketika suara azan bersahutan dari masjid, lonceng gereja berbunyi di hari Minggu, dan hio dibakar saat perayaan Imlek, semua itu bukan suara yang saling mengganggu—melainkan irama kehidupan yang sudah mereka kenal dan terima.
Dalam banyak kesempatan, ketiga komunitas ini saling membantu. Mereka membersihkan lingkungan bersama, menjaga ketertiban saat perayaan agama, dan hadir dalam musibah sebagai saudara, bukan sekadar tetangga. Di sini, perbedaan tidak didebatkan, tetapi dijalani. Tidak dikampanyekan secara kaku, tetapi dipraktikkan dengan alamiah.
Jetayu mungkin hanya sebuah kawasan kecil di tengah Kota Pekalongan. Namun dari tempat kecil ini, kita diajak merenung bahwa kebersamaan bukan hal yang mustahil. Ia tumbuh bukan dari seminar atau peraturan, tetapi dari sikap terbuka, saling percaya, dan kemauan untuk hidup berdampingan.
Di saat dunia sering terpecah karena agama dan identitas, Jetayu berdiri sebagai pengingat bahwa Indonesia punya wajah lain—wajah yang damai, ramah, dan bersahabat. Sebuah wajah yang perlu terus kita jaga, rawat, dan tularkan.
Biodata Penulis:
Muntaqo Fadli saat ini aktif sebagai mahasiswa, Prodi Pendidikan Agama Islam, di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.