Tradisi Nyadran di Jawa merupakan warisan budaya yang sarat makna, yang masih dijaga dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa hingga kini. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa, yang bertepatan dengan bulan Sya'ban dalam kalender Hijriyah, menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Nyadran adalah bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah wafat, serta merupakan perpaduan harmonis antara nilai-nilai keislaman dan adat istiadat Jawa.
Ciri khas dari tradisi ini adalah kegiatan ziarah kubur, di mana masyarakat mengunjungi makam keluarga atau leluhur, membersihkannya, dan membacakan doa, tahlil, serta surat-surat pendek dari Al-Qur’an sebagai bentuk penghormatan dan doa untuk arwah yang telah mendahului. Setelah ziarah, biasanya dilanjutkan dengan kenduri atau selametan yang diadakan di rumah atau di area makam. Makanan-makanan yang dibawa dalam tampah atau tenong akan dibagikan dan dimakan bersama sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur. Sebelum acara berlangsung, kegiatan gotong royong dilakukan untuk membersihkan lingkungan makam, yang mencerminkan semangat kebersamaan dan solidaritas antarwarga. Tradisi Nyadran bukan hanya menjadi sarana memperkuat hubungan sosial melalui silaturahmi, tetapi juga memiliki nilai religius yang dalam, karena menjadi momen untuk mendoakan leluhur serta melakukan introspeksi diri dalam menyambut bulan Ramadhan yang penuh berkah.
Nyadran bukan semata ritual adat, tetapi juga mencerminkan harmonisasi antara nilai-nilai keagamaan dan budaya lokal. Kegiatan seperti tahlilan, doa bersama, hingga kenduri atau sedekah bumi memperlihatkan sinkretisme antara ajaran Islam dan tradisi nenek moyang. Masyarakat dari berbagai latar belakang, baik yang religius maupun yang masih memegang adat secara kuat, dapat hadir bersama tanpa merasa terasingkan. Inilah cerminan nyata dari semangat moderasi beragama: toleransi, keterbukaan, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Tradisi Nyadran merupakan contoh nyata praktik toleransi antarumat beragama di Indonesia, di mana nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal mampu bersinergi dalam harmoni sosial. Meskipun berakar dari ajaran Islam, khususnya budaya ziarah kubur menjelang Ramadan, Nyadran juga diikuti oleh masyarakat non-Muslim seperti umat Kristen, Hindu, atau penganut kepercayaan lokal. Mereka terlibat dalam kegiatan seperti kenduri dan kerja bakti tanpa adanya paksaan keyakinan, mencerminkan sikap inklusif dan penghargaan terhadap budaya bersama.
Tradisi ini mengajarkan pentingnya anti-kekerasan dan hidup berdampingan secara damai, karena tidak mengandung unsur fanatisme ataupun eksklusivitas agama. Umat Islam tetap menjalankan ritual seperti doa bersama dan tahlilan, namun tetap terbuka terhadap partisipasi dari komunitas lain, menunjukkan sikap moderat (wasathiyah) dalam menjalankan ajaran agama.
Selain itu, Nyadran menciptakan ruang sosial yang mendorong terjadinya dialog lintas iman melalui interaksi santai, kerja sama dalam kegiatan sosial, hingga kebersamaan dalam makan bersama. Semua elemen ini menjadikan Nyadran sebagai simbol konkret dari moderasi beragama dan perekat persaudaraan dalam keberagaman masyarakat Indonesia.
Pemerintah pun kini melihat nilai penting dari tradisi seperti Nyadran dalam membangun kehidupan keagamaan yang moderat. Melalui pendekatan budaya lokal, pesan-pesan toleransi dan kebersamaan lebih mudah diterima masyarakat akar rumput.
Jadi, moderasi beragama dalam tradisi Nyadran terletak pada sikap saling menghargai antarumat, keterbukaan terhadap perbedaan, serta pengakuan terhadap nilai-nilai lokal sebagai bagian dari keberagaman bangsa.
Referensi:
- Shinta Tyas Pratisthita (2023), “Impelementasi Moderasi Beragama Dalam Upacara Nyadran Di Desa Prawatan Kabupaten Klaten”. Jurnal Penelitian dan Penjamin Mutu, Vol. 4, No. 1. Doi: https://doi.org/10.54714/jd.v4i2.69.
- Prasetyo, Y. E. (2010). “Mengenal Tradisi Bangsa”. Yogyakarta: PT. Insist Press.
Penulis: Nurul Alfiyani