Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Agrowisata Sondokoro: Jejak Sejarah, Kenangan, dan Masa Depan yang Tak Pasti

Agrowisata Sondokoro terletak di kawasan Pabrik Gula Tasikmadu, Karanganyar, dan dulunya menjadi salah satu destinasi favorit masyarakat Solo Raya.

Sejarah dan Daya Tarik Awal

Agrowisata Sondokoro terletak di kawasan Pabrik Gula Tasikmadu, Karanganyar, dan dulunya menjadi salah satu destinasi favorit masyarakat Solo Raya. Dibuka untuk umum pada 2006, tempat ini merupakan bagian dari revitalisasi pabrik gula warisan kolonial yang dibangun oleh KGPAA Mangkunegaran VI pada 1871. Lebih dari sekadar alih fungsi lahan, Sondokoro hadir sebagai ruang pelestarian sejarah sekaligus sarana edukasi dan rekreasi keluarga.

Agrowisata Sondokoro
Sumber: Traveloka

Tempat ini menawarkan pengalaman unik, seperti menaiki kereta uap tua yang melintasi kebun tebu, menyaksikan bangunan kolonial, serta mengikuti edukasi pengolahan kopi dan teh. Beragam wahana menarik seperti taman bunga, mini zoo, kolam renang, terapi ikan, dan panggung seni turut melengkapi daya tariknya. Dengan tiket masuk yang sangat terjangkau (Rp5.000–Rp10.000 per wahana) dan lokasi yang hanya 10km dari Kota Solo, Sondokoro sempat menjadi tujuan utama wisata saat musim liburan. Masa kejayaannya terjadi antara tahun 2010 hingga 2017, menarik ribuan pengunjung tiap pekan dan menggerakkan ekonomi warga sekitar lewat aktivitas usaha kecil seperti makanan, souvenir, dan jasa parkir.

Kenangan Pribadi: Masa SMP di Sondokoro

Saat saya masih SMP di SMPN 1 Tasikmadu, Sondokoro menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari saya. Setiap pulang sekolah, saya sering melewati kawasan itu dengan sepeda. Siswa yang menggunakan seragam bisa masuk tanpa membeli tiket, seakan memiliki tempat pribadi yang tenang, teduh, dan penuh sejarah. Tidak jelas apakah aturan bebas tiket itu masih berlaku atau sudah berubah.

Saya sering berhenti di sekitar lokomotif tua yang dipajang di sana, foto bersama teman, atau duduk santai sembari menikmati pemandangan Sondokoro yang masih kental dengan nuansa Belanda. Kami juga sering jalan-jalan di sekitar area, termasuk melihat mesin-mesin tua yang sudah tidak terpakai, sambil bercakap-cakap dan tertawa. Tempat ini selalu memberi suasana yang menyenangkan meski sederhana.

Wajah yang Perlahan Memudar

Seiring berjalannya waktu, Sondokoro tidak lagi seramai dulu. Dalam beberapa tahun terakhir, tempat ini terlihat semakin sepi dan kurang terurus. Wahana-wahana yang dulu ramai dipakai anak-anak kini lebih sering kosong. Kereta uap yang dulu menjadi daya tarik utama pun jarang dijalankan. Beberapa fasilitas mulai rusak dan tidak digunakan lagi. Suasana yang dulunya hidup dengan suara pengunjung kini digantikan dengan bangku-bangku kosong dan taman yang tidak lagi berbunga seperti dulu.

Banyak wahana kini tidak beroperasi. Beberapa pengunjung yang datang mulai menyampaikan rasa kecewa. Ada yang datang dengan harapan bisa mengenang masa lalu, tapi pulang dengan rasa tidak puas karena tempatnya terasa kurang nyaman dan fasilitasnya tidak lagi layak digunakan. Sondokoro tidak sehangat dulu.

Desas-desus dari Belakang Tembok

Di tengah kondisi Sondokoro yang semakin sepi, muncul kabar yang cukup menghebohkan warga sekitar. Banyak orang mulai memperbincangkan isu bahwa sebuah gudang milik perusahaan Cimory akan dibangun di bagian belakang kawasan wisata ini. Hingga kini, belum ada keterangan resmi atau papan proyek yang menunjukkan kebenaran kabar tersebut. Meski begitu, cerita ini terus menyebar dari mulut ke mulut, termasuk di kalangan warga yang tinggal dekat dengan lokasi seperti saya.

Apakah itu hanya sekadar rumor atau memang akan benar-benar terjadi, belum ada kepastian. Tapi jika benar adanya, tentu saja keberadaan gudang industri akan membawa perubahan besar terhadap wajah Sondokoro. Obrolan seputar hal ini kerap terdengar di warung kopi dan tempat berkumpul warga, menjadi bahan diskusi yang menarik sekaligus membingungkan.

Paradoks Ruang Edukatif yang Terlupakan

Sondokoro kini menjadi sebuah paradoks: sebuah tempat edukatif yang kehilangan fungsi sebagai ruang hidup. Dibangun untuk menghidupkan kembali masa lalu, kawasan ini kini terjebak dalam ketidakpastian masa depan. Dulunya, Sondokoro menjadi tempat yang mengajarkan nilai-nilai budi pekerti melalui sejarah dan alam. Sekarang, ia lebih banyak menunggu perhatian dari berbagai pihak, entah itu pemerintah, pengelola, atau masyarakat sekitar.

Agrowisata ini bukan sekadar destinasi wisata, tetapi juga simbol bahwa tempat yang diciptakan dengan niat baik bisa hilang jika tidak dikelola dengan baik. Ia mencerminkan nasib banyak ruang publik di Indonesia yang masa depannya terombang-ambing. Perlu lebih dari sekadar revitalisasi fisik, tetapi juga kesadaran kolektif bahwa warisan edukasi bukan hanya soal bangunan fisik, melainkan semangat yang perlu dipelihara dan dikembangkan.

Akhir yang Masih Bisa Diubah

Apakah Sondokoro masih memiliki kesempatan untuk bangkit kembali, atau akan tetap dikenang sebagai kenangan masa lalu? Seperti rel-rel tua yang tidak lagi dilalui kereta atau taman yang kini tampak layu karena tak lagi dipandang, kawasan ini kini menghadapi nasib yang tak pasti. Meski begitu, harapan masih ada jika ada niat untuk merawatnya. Mungkin yang diperlukan adalah tangan-tangan muda yang berani berinovasi dan menggandeng teknologi untuk memberikan kehidupan baru pada Sondokoro. Dengan pendekatan yang lebih relevan dan modern, Sondokoro bisa menjadi tempat yang kembali bermanfaat bagi masyarakat dan tetap menjaga nilai sejarah yang terkandung di dalamnya.

Pada akhirnya, Sondokoro bukan hanya soal nostalgia, tetapi bagaimana kita menjaga dan merawat masa lalu agar tetap hidup di masa depan. Tempat bersejarah ini bisa menjadi contoh bagaimana sejarah dan kemajuan zaman bisa berjalan beriringan. Dengan niat dan kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta, Sondokoro bisa kembali berfungsi sebagai ruang edukasi dan hiburan yang bermanfaat. Jika dijaga dengan baik, Sondokoro bisa menjadi destinasi yang relevan, memberikan pembelajaran kepada generasi sekarang, dan tetap menghubungkan masa lalu dengan masa depan.

Daftar Pustaka:

  1. Bram, D. (2024, Mei 17). Agrowisata Sondokoro, Karanganyar Tak Hanya Berikan Bukti Sejarah Namun Juga Pengalaman dengan Alam dan Proses Produksi Kopi serta Teh. Radar Solo. Diakses pada 1 Mei 2025, dari https://radarsolo.jawapos.com/karanganyar/844661444/agrowisata-sondokoro-karanganyar-tak-hanya-berikan-bukti-sejarah-namun-juga-pengalaman-dengan-alamdan-proses-produksi-kopi-serta-teh
  2. Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Karanganyar. (2011, Juli 4) Taman Wisata Sondokoro. Karanganyar KAB. Diakses pada 1 Mei 2025, dari https://www.karanganyarkab.go.id/taman-wisata-sondokoro/
  3. Belly, M. (2024, Maret 17). Dulu pabrik gula, kini jadi Agrowisata Sondokoro wisata lengkap keluarga!. Traveloka.com. Diakses pada 1 Mei 2025, dari https://www.traveloka.com/id-id/explore/destination/agrowisata-sondokoro-wisata-lengkap-keluarga-acc/334884
  4. Rossianna, V. R. (2024, Desember 12). Sondokoro Karanganyar: Dulu Ramai, Kini Sepi. Sepenuhnya.com. Diakses pada 1 Mei 2025, dari https://www.sepenuhnya.com/2024/12/sondokoro-karanganyar-dulu-ramai-kini-sepi.html

Erlina Destania Maharani

Biodata Penulis:

Erlina Destania Maharani lahir pada 21 Juni 2006 di Karanganyar. Saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Ekonomi Pembangunan, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.