Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Akuntansi Tidak Pernah Netral: Ketika Angka Menyembunyikan Kepentingan

Netralitas akuntansi sebenarnya adalah mitos yang sudah lama dipertahankan. Laporan keuangan bukanlah cermin realitas objektif, melainkan ...

Dalam dunia pendidikan dan praktik profesional, akuntansi kerap diposisikan sebagai ilmu yang netral dan objektif. Kita diajarkan bahwa akuntansi hanya mencatat, tidak berpihak, dan sekadar mempresentasikan data keuangan apa adanya. Namun, benarkah akuntansi sebersih itu? Bukankah justru sistem pencatatan ini seringkali digunakan untuk membentuk narasi, menyembunyikan risiko, bahkan melanggengkan ketimpangan? Inilah isu penting yang jarang dibahas secara jujur: bahwa akuntansi tidak pernah sepenuhnya netral.

Akuntansi Tidak Pernah Netral

Secara formal, akuntansi berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar seperti reliability (keandalan), relevance (keterkaitan), faithful representation (representasi yang jujur), dan comparability. Di Indonesia, standar yang digunakan adalah PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) yang mengacu pada IFRS. Namun, standar ini tidak bebas nilai. Ia disusun oleh lembaga yang didominasi aktor pasar global, dan dalam banyak hal, lebih memihak pada kepentingan entitas ekonomi besar ketimbang publik luas.

Jika kita telusuri lebih jauh, netralitas akuntansi sebenarnya adalah mitos yang sudah lama dipertahankan. Laporan keuangan bukanlah cermin realitas objektif, melainkan konstruksi sosial yang tunduk pada aturan tertentu dan aturan itu sendiri lahir dari proses negosiasi kekuasaan. Misalnya, konsep materiality memungkinkan perusahaan mengabaikan informasi yang dianggap “tidak signifikan”, padahal bisa sangat penting bagi publik. Begitu pula dengan praktik off-balance sheet financing yang bisa menyembunyikan utang secara legal.

Banyak akuntan juga terjebak dalam dilema etis ketika harus “menyesuaikan” laporan agar sesuai ekspektasi manajemen atau investor. Praktik seperti window dressing atau earnings management bukan hanya terjadi, tapi sudah menjadi rahasia umum. Akuntansi yang seharusnya jadi alat kontrol justru bisa berubah menjadi alat legitimasi membuat yang salah terlihat benar, dan yang lemah jadi tersingkir dari narasi finansial.

Ironisnya, aspek sosial dan lingkungan jarang sekali dimasukkan dalam laporan keuangan. Biaya kerusakan alam, ketimpangan upah, atau tekanan mental pekerja tidak tercatat karena dianggap “tidak relevan secara finansial”. Padahal, di sinilah letak krisis moral akuntansi modern: terlalu fokus pada angka, tapi abai pada nilai.

Sudah waktunya kita tidak lagi memandang akuntansi sebagai disiplin yang steril dari ideologi dan kepentingan. Akuntansi adalah produk sosial, dan karena itu selalu punya bias. Tugas kita bukan hanya mengikuti standar, tetapi juga mengkritisinya. Karena kebenaran tidak cukup hanya dicatat ia harus diperjuangkan. Akuntansi yang etis adalah akuntansi yang berani mempertanyakan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan oleh angka-angka yang disajikan.

Reva Yaby

Biodata Penulis:

Reva Yaby saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Bangka Belitung, Prodi Akuntansi. 

© Sepenuhnya. All rights reserved.