Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi algoritma telah mengubah secara fundamental cara manusia berpikir, mengambil keputusan, dan berinteraksi. Pada umumnya, algoritma dapat diartikan sebagai serangkaian langkah logis, struktural, dan efisien dengan tujuan menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan tertentu. Sejak kemunculannya pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, algoritma telah memberi sebuah terobosan baru bagi umat manusia tepatnya dalam bidang Euklidese seperti dalam pencari faktor persekutuan terbesar, serta teknik perhitungan sistematis. Setelah melewati perjalanan panjang, tepatnya pada abad ke-20 algoritma mulai dikaitkan dengan komputer, terutama setelah Alan Turing (1912-1954) mengembangkan konsep Turing machine yang menjadi dasar bagi komputer dan teori algoritma modern. Konsep tersebut dapat membantu dan memudahkan manusia di berbagai aktivitas berbasis komputer.
Di era digital saat ini algoritma tidak lagi sekadar alat bantu, melainkan telah menjadi aktor sentral (lead actor) yang mengarahkan perilaku manusia di berbagai bidang kehidupan, mulai dari konsumsi informasi hingga pembentukan preferensi personal. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis mengenai masa depan pikiran manusia di tengah dominasi kecerdasan buatan. Salah satu representasi fiksi yang mencerminkan kekhawatiran ini dapat ditemukan dalam film The Electric State, yang dirilis oleh Netflix pada 14 Maret 2025 dan disutradarai oleh Anthony dan Joe Russo, hasil dari adaptasi sebuah novel grafis karya Simon Stålenhag. Film ini menawarkan representasi distopik tentang dunia pasca-kejatuhan, di mana teknologi dan kecerdasan buatan mendominasi lanskap sosial dan psikologis umat manusia.
Gambaran ini beresonansi kuat dengan pemikiran Yuval Noah Harari, yang dalam berbagai karyanya menyoroti ancaman algoritma terhadap kebebasan berpikir, otonomi pribadi, dan makna eksistensial manusia. Dalam The Electric State, propaganis manusia tampak tersesat dalam dunia yang didikte oleh sisa-sisa teknologi usang dan robot-robot yang kehilangan arah tepatnya ketika helm neuron yang dikira memberi terobosan baru bagi umat manusia justru sebaliknay menghantar manusia pada alienasi dan pelarian dari realita. Tidak hanya itu, manusia pada film tersebut digambarkan juga tenggelam dalam pencarian diri sebagai manusia seutuhnya, ketika membiarkan dunia virtual menguasai dan menjadikanya tempat pelarian dari dunai nyata yang hancur secara sosial dan emosional. ilustrasi ini mencerminkan pandangan Harari tentang manusia yang kehilangan kendali atas ciptaan mereka sendiri. Oleh karena itu, bagi Harari, algoritma tidak sebatas rumus matematis atau instruksi komputer biasa, melainkan sebuah kekuatan baru yang bisa membentuk, bahkan mengendalikan pikiran dan struktur masyarakat manusia.
Dalam Homo Deus, sejarawan kelahiran Israel tersebut memperingatkan bahwa algoritma yang semakin canggih dapat mengenal kita lebih baik daripada diri kita sendiri. Hal ini dapat kita lihat pada algoritma rekomendasi yang digunakan oleh platfrom seperti YouTube, TikTok, dan Netflix. Tanpa kita sadari, sistem ini mampu memetakan preferensi atau selera, kebiasaan, bahkan kondisi emosional kita yang sebelumnya berada dalam kendali manusia, kini dapat diarahkan oleh algoritma secara halus namun kuat. Hal sederhana yang membuktikan bahwa algoritma perlahan-lahan mulia menggerogoti ruang “kemanusiaan” kita adalah ketika seseorang mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang mengalami kesepian, tapi algoritma bisa mendeteksi kecendrungan itu melalui konsumsi konten yang bernuansa melankolis atau bertema relasi. Akibatnya, sistem tersebut mulai merekomendasikan video atau film dengan tema serupa bukan karena ia tahu apa yang “ingin” kita tonton, tapi karena ia tahu apa yang “akan” kita tonton. Hal ini mengingatkan kepada kita akan bahaya algoritma yang perlahan-lahan mengambil alih otonomi dan keputusan manusia.
Dulu manusia masih mengandalkan pikiran mereka sendiri sebagai sumber kebenaran pribadi. Tetapi kini, manusia cendrung mempercayai “apa kata sistem” entah itu TikTok, Google, ataupun YouTube, yang secara perlahan telah menggantikan peran pikir sebagai penentu kebenaran. Harari pun dalam bukunya 21 lessons for the 21st Century menekankan bahwa begitu kita mulai membairkan Google serta sistem serupa seperti memberi tahu siapa diri kita dan apa yang harus kita lakukan, maka otonomi dari manusia akan runtuh. Tidak hanya itu, Harari juga menyoroti tentang semboyan lama seperti “kenali dirimu sendiri atau Know thyself sedang digantikan oleh semboyan baru yakni “algoritma lebih mengenalmu daripada kamu mengenal dirimu sendiri”. Banyak orang berpikir bahwa hal ini hanya seputar kenyamanan teknologi yang tidak memiliki dampak atau efek samping yang membahayakan, namun jika dilihat dari pernyataan serta contoh-contoh yang sudah dipaparkan maka kita tidak bisa mengatakan ini hanya sebatas kenyamanan teknologi tapi jauh dari itu adalah ancaman eksistensial. Jika manusia tidak lagi mampu untuk membuat keputusan sendiri maka identitas, makna hidup, dan tanggung jawab moral tergeser oleh sistem otomatis. Artinya, kebebasan memilih bisa jadi hanya ilusi jika semu pilihan kita diarahkan oleh sistem yang kita tidak sadari.
Melihat fenomena algoritma yang semakin mendominasi kehidupan manusia, apa yang harus kita lakukan untuk menghadapinya? Apakah kita terus terhanyut dalam arus algoritma yang semakin brutal, atau justru mencari solusi terbaik agar kita tidak menjadi seperti “zombie” yang kehilangan kesadaran akan kenyataan? Yuval Noah Harari pada bukunya Homo Deus menawarkan beberapa aspek yang walaupun bukan solusi teknik yang spesifik, tetapi memberikan gagasan penting dan reflektif untuk membantu manusia menghadapi krisis identitas di era algoritma. Hal yang ditekankan oleh penulis kelahiran Israel ini adalah pentingnya mengenal diri sendiri secara lebih dalam. Menyadari bahwa algoritma perlahan-lahan menggerogoti sistem pusat kesadaran dan pengambilan keputusan manusia, Harari dalam berbagai karyanya terus menekankan pentingnya mengenal diri sendiri secara mendalam sebagai upaya mempertahankan otonomi manusia di tengah dominasi teknologi misalnya hidup tidak dengan autopilot atau hidup dengan kesadaran aktif. Hal ini bisa kita lihat pada karakrer utama, Michelle salah satu tokoh fisual pada film The Electric State yang menurut kerangka Harari menjadi simbol kesadaran penuh yakni tidak hidup dengan autopilot, reflektif, dan bertindak sadar di tengah kehancuran dunia. Oleh karena itu, pandangan Harari ini memberikan kontribusi penting bagi manusia yang hidup di era digital agar tetap menjaga stabilitas pengenalan diri secara mendalam dan terus mengasah daya-daya reflektif sebagai manusia yang utuh.
Biodata Penulis:
Yohanes Baptista Virani Wogo saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Widya Mandira, Kupang.