Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Di Balik Tegasnya Pola Asuh: Memahami Kepribadian Anak dalam Bingkai Konseling Multibudaya

Pola asuh orang tua memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan kepribadian anak, yang akan tercermin pada karakter mereka saat dewasa.

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan seorang anak. Di dalam keluarga, anak belajar mengenal dunia, nilai-nilai, norma, serta cara berperilaku. Salah satu unsur kunci dalam keluarga membentuk arah perkembangan anak adalah pola asuh. Setiap keluarga memiliki pola asuh yang berbeda dalam mendidik anak, yang umumnya diturunkan dari pola asuh yang diterima orang tua sebelumnya, menjadi semacam warisan tak tertulis. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara orang tua dan anak yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik, seperti makan dan minum, serta kebutuhan psikologis, seperti rasa aman dan kasih sayang. Selain itu, pola asuh juga mencakup sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya (Latifah, 2011, dalam Ayun, 2017, hlm. 106). Dengan kata lain, pola asuh berperan penting dalam pendidikan karakter anak, yang melibatkan cara orang tua mendidik anak dengan berbagai gaya, baik itu yang lebih terbuka dan demokratis, atau yang lebih menuntut kepatuhan dan aturan yang ketat.

Di Balik Tegasnya Pola Asuh: Memahami Kepribadian Anak dalam Bingkai Konseling Multibudaya
Sumber gambar: Pixabay

Pola asuh orang tua memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan kepribadian anak, yang akan tercermin pada karakter mereka saat dewasa. Sebagai contoh, ciri-ciri dan unsur-unsur kepribadian yang ada pada seorang individu dewasa sebenarnya sudah ditanamkan sejak masa kanak-kanak, yaitu melalui perlakuan orang tua kepada anaknya. Oleh karena itu, pola asuh yang diterapkan sejak dini dapat memengaruhi perkembangan sosial-moral anak di masa depan, yang pada gilirannya akan membentuk watak dan sikap anak. Meskipun faktor lain turut berperan dalam pembentukan karakter anak, pola asuh orang tua tetap menjadi faktor utama yang menentukan potensi dan perkembangan anak.

Menurut Baumrind, pola asuh dapat dibedakan menjadi tiga jenis; pola asuh yang lebih memberi kebebasan, pola asuh yang memberikan pengaturan lebih ketat, serta pola asuh yang sangat fokus pada disiplin dan aturan. Salah satu jenis pola asuh yang dikenal adalah pola asuh otoriter. Pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan yang ditandai dengan pengendalian yang ketat oleh orang tua terhadap anak, di mana orang tua menentukan hampir semua kebijakan dan tugas yang harus dijalankan anak. Dalam pola asuh ini, orang tua sering kali menunjukkan sikap yang keras dan kaku, dengan tekanan agar anak selalu patuh pada perintah dan keinginan mereka. Anak jarang diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri atau mendapatkan kepercayaan dari orang tua. Hukuman sering kali diberikan sebagai respons terhadap perilaku anak yang dianggap tidak sesuai dengan harapan orang tua, sementara prestasi anak tidak selalu dihargai dengan pujian atau hadiah.

Baumrind menjelaskan bahwa pola asuh otoriter tercermin dalam hubungan yang kurang hangat antara orang tua dan anak, dengan komunikasi yang terbatas. Anak tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau diskusi mengenai masalah yang mereka hadapi, karena orang tua cenderung menganggap bahwa semua keputusan mereka adalah yang terbaik. Pengasuhan ini juga sering disertai dengan hukuman yang keras, di mana anak diatur dengan berbagai macam aturan yang membatasi kebebasan dan ruang gerak mereka. Menurut Siregar, Yunitasari, dan Partha (2021) dalam penelitian mereka, ditemukan beberapa tipe perkembangan kepribadian anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter yakni kaku dan ketakutan, tidak memahami dirinya sebagai seorang yang bagian dari anggota keluarganya. Anak-anak juga cenderung pendiam, mereka juga nampak tidak percaya diri atau takut melakukan sesuatu walaupun itu baik baginya. Mereka juga mengalami emosi yang meningkat, memaksakan diri dalam menjalankan kebaikan yang di senangi orang tua. Pendapat lain juga mengatakan bahwa anak-anak yang dibesarkan dengan pola ini cenderung mengalami kesulitan dalam mengelola emosi dan perilaku sosial, seperti mudah marah, menarik diri dari pergaulan, serta kurang mampu menjalin relasi yang sehat dengan orang lain. Selain itu, pola pengasuhan otoriter juga berisiko menurunkan tingkat kreativitas, rasa percaya diri, serta kemandirian anak. Jika kondisi ini berlangsung dalam jangka panjang, tidak jarang anak mengalami stres berkepanjangan, depresi, hingga trauma psikologis (Rakhmawati, 2015).

Dengan mempertimbangkan bahwa kepribadian anak terbentuk sejak dini melalui interaksi dengan lingkungan terdekat, khususnya pola asuh orang tua, maka keprribadian dapat dikatakan sebagai suatu bentuk “budaya bawaan” yang melekat pada diri seseorang. Kepribadian tersebut mencerminkan hasil internalisasi nilai, norma, cara berpikir, serta respons emosional yang terus dibentuk dan diperkuat dari waktu ke waktu yang kemudian terbawa hingga masa remaja atau dewasa membentuk struktur kepribadian yang relatif stabil dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ketika seseorang menghadapi situasi-situasi yang menantang secara psikologis.

Menyadari bahwa kepribadian konseli adalah hasil proses panjang yang dipengaruhi oleh budaya, nilai keluarga, dan pola asuh yang diterimanya sejak kecil, maka konselor tidak perlu serta-merta menilai atau mengarahkan konseli berdasarkan standart ideal pribadi atau teoritis semata. Dalam konteks konseling multibudaya, penting bagi konselor untuk mengikuti kesadaran bahwa sikap, respons bahkan tantangan emosional yang ditunjukkan oleh konsel tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial-budaya tempat ia tumbuh. Oleh karena itu, pemahaman terhadap prinsip-prinsip dasar konseling multibudaya/ multikultural menjadi landasan penting agar proses pendampingan benar-benar relevan, empatik, dan berpihak pada kebutuhan nyata konseli.

Berkaitan dengan hal tersebut, (Yusuf, 2016, dalam Abadi, Hidayah, & Wahyuni, 2023) merumuskan empat prinsip yang dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan konseling multibudaya/ multikultural, yaitu sebagai berikut:

  1. Budaya adalah sekelompok orang yang melakukan identifikasi atau asosiasi satu sama lain berdasarkan kesamaan tujuan atau latar belakang sosial dan budaya. Hal ini menjelaskan bahwa kepribadian anak yang terbentuk melalui pola asuh tegas sebenarnya merupakan refleksi nilai-nilai budaya yang dianut oleh keluarganya. Oleh karena itu, sikap dan perilaku anak yang tampak tertutup atau patuh bukanlah sekadar masalah individu, tetapi bagian dari identitas budaya yang melekat pada dirinya.
  2. Proses konseling merupakan pertemuan dua budaya yang saling membaur. Konseling multibudaya/multikultural menuntut konselor untuk tidak membawa standar budaya pribadinya sebagai tolok ukur, melainkan membuka ruang dialog yang inklusif dan saling memahami konteks budaya konseli. Dengan begitu, konseling dapat berjalan sebagai proses kolaboratif yang menghargai keunikan latar belakang budaya anak dan pola asuh yang membentuknya.
  3. Konseling multibudaya/multikultural menekankan keberagaman manusia sebagai individu dengan bentuk dan perbedaan yang beragam. Dalam hal ini, kepribadian anak yang dibentuk oleh pola asuh tegas harus dipandang sebagai variasi adaptasi yang valid, bukan sebagai sesuatu yang “tidak normal” atau perlu diubah secara paksa. Konselor perlu menerima keragaman ini sebagai bagian dari proses pengembangan diri anak sesuai dengan konteks budaya dan sosialnya.
  4. Konselor yang responsif perlu mengembangkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan untuk memberikan intervensi yang tepat dan sensitif terhadap latar belakang budaya konseli. Dalam praktiknya, hal ini berarti konselor harus mampu mendengarkan dengan empati, menghargai ritme perkembangan anak, dan membantu anak menemukan cara yang sehat dan adaptif dalam mengekspresikan diri tanpa kehilangan identitas budaya yang melekat.

Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, Sue & Sue (1990) mengorganisir karakteristik konselor dalam tiga dimensi penting. Pertama, konselor yang berketarampilan budaya harus secara aktif menyadari anggapan-anggapan tentang tingkah laku manusia, nilai-nilai, bias, serta keterbatasan pribadi yang dimilikinya. Kesadaran ini berfungsi untuk menghindarkan konselor dari penerapan standar budaya pribadi yang dapat menimbulkan penilaian negatif terhadap konseli. Kedua, konselor dituntut untuk memahami perbedaan budaya klien tanpa prasangka, sehingga dapat menciptakan hubungan konseling yang terbuka dan inklusif. Ketiga, konselor perlu terus mengembangkan dan menerapkan strategi serta keterampilan intervensi yang tepat, relevan, dan sensitif terhadap keragaman budaya konseli.(Asbi, Apriananda, & Sembiring, 2024).

Dengan demikian, konselor dapat memberikan layanan yang tidak hanya berfokus pada perubahan perilaku semata, tetapi juga menghargai dan mengakomodasi latar belakang budaya yang membentuk identitas dan kepribadian konseli. Pendekatan ini menjadikan proses konseling sebagai ruang yang aman bagi konseli untuk mengekspresikan diri secara autentik, sekaligus mendukung pertumbuhan dan perkembangan psikologis yang sehat dalam kerangka budaya masing-masing.

Daftar Pustaka:

  • Ayun, Q. (2017). Pola Asuh Orang Tua dan Metode Pengasuhan dalam Membentuk Kepribadian Anak. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, 5(1), 102-122.
  • Rakhmawati, I. (2015). Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak. Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 6(1), 1-18.
  • Siregar, M. D., Yunitasari, D., & Partha, I. D. P. (2021). Model Pola Asuh Otoriter Orang Tua terhadap Perkembangan Kepribadian Anak. Jurnal Golden Age, 5(01), 139-146.
  • Abadi, D. P., Hidayah, N., & Wahyuni, F. (2024). Pendekatan Multikultural dalam Layanan Bimbingan Konseling Guna Penguatan Profil Pelajar Pancasila Dimensi Berkebhinekaan Global. G-Couns: Jurnal Bimbingan dan Konseling, 8(2), 867-879.
  • Asbi, A., Apriananda, R. D., & Sembiring, O. S. (2024). Etika Konselor dalam Konseling Lintas Budaya. PEDAGOGIK: Jurnal Pendidikan dan Riset, 2(2), 103-106.

Biodata Penulis:

Riska Indah Cahyani saat ini aktif sebagai mahasiswa, program studi Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.