Siapa sangka, akun Facebook bernama “Neneng Rosdiyana” yang awalnya disangka fanpage band Marxisme, justru menyuarakan salah satu kritik sosial paling membumi dari Indonesia. Berangkat dari sawah dan aktivitas tani sehari-hari, “Nenengisme” bukan sekadar lucu-lucuan media sosial. Ia menjelma menjadi perlawanan kultural yang, jika dilihat lebih dalam, memuat jejak Ecological Marxism dan Ecofeminism, dan yang semua menggugat relasi timpang antara manusia, alam, gender, dan sistem produksi kapitalistik.
Melalui kegiatannya di KWT Mentari, Neneng berupaya untuk memberdayakan perempuan di sekitarnya agar lebih berdaya secara ekonomi dan memiliki keterampilan dalam bidang pertanian. Salah satu yang membuat Neneng Rosdiyana viral di jagat maya adalah ketika ada salah satu akun FB bernama Marxisme Indonesia berganti nama menjadi Neneng Rosdiyana. Sontak dunia sosial media saat itu kaget dengan adanya pergantian nama tersebut. Perbincangan pun mulai berkeluyuran dan mempertanyakan siapa sebenarnya sosok perempuan bernama Neneng Rosdiyana tersebut, dengan penelusuran lebih mendalam, para Netizen akhirnya menemukan dan mengungkapkan identitas perempuan tersebut tidak lain dari seorang petani yang berasal dari Tangerang.
Nenengisme juga sangat eco-feminis. Sebagai perempuan petani, Neneng tidak hanya melawan struktur ekonomi yang timpang, tapi juga struktur patriarki. Ia menolak gagasan bahwa perempuan hanya bekerja di dapur dan sawah tanpa pengakuan. Di akun Facebook-nya, ia dengan bangga menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi pengelola sawah, agen distribusi, bahkan pemimpin komunitas. Dalam pandangan ecofeminism, alam dan perempuan sama-sama dieksploitasi dalam sistem patriarki-kapitalis. Perjuangan Neneng adalah cermin nyata bahwa membebaskan alam juga berarti membebaskan perempuan dari marginalisasi.
Fenomena seperti Nenengisme adalah pengingat bahwa perjuangan ekologi dan keadilan sosial tidak selalu datang dari elit atau akademisi. Ia bisa muncul dari cangkul, dari status Facebook, dari perempuan yang menanam bayam dan marah pada tengkulak. Dalam dunia yang makin panas, rakus, dan bising ini, mungkin kita butuh lebih banyak Neneng. Bukan sebagai simbol, tapi sebagai perlawanan yang hidup yang menyiram bumi sambil menyuarakan harapan.
Masyarakat patriarkal dan konservatif melihat Nenengisme sebagai bentuk "pembangkangan" terhadap norma. Di era sekarang, banyak orang yang bersuara soal ketimpangan ekonomi atau hak tanah adat tapi tak disambut ramah dengan lingkungan sekitarnya, dianggap lebay. Terdapat 2 kubu yang mendukung, ada pula yang mengejek, mengolok-olok Neneng sebagai "ngomong ketinggian" atau "perempuan yang nggak tahu diri". Perempuan vokal sering dicap sebagai “perempuan keras”, “tidak tahu adat”, atau “bukan perempuan baik-baik”. Diskriminasi itu nyata, bukan sekedar candaan. Ini bentuk penekanan structural, sebuah pola diskriminasi berbasis kelas, gender, dan budaya.
Konselor yang buta budaya, hanya memberi nasihat “sabar aja ya”, sudah kadaluarsa. Konseling multibudaya adalah jawaban. Menurut Pedersen (1991), konselor harus menyadari perbedaan identitas konseli, menerima ekspresi budaya klien, membangun dialog kritis dan empati, bukan justru mempatronisasi konseli dengan nasihat normatif. Langkah yang seharusnya diambil oleh konselor ialah:
1. Kesadaran Diri Budaya (Cultural Self-Awareness)
Konselor harus sadar bahwa nilai, moral, dan budaya dirinya bisa berbeda jauh dari konseli. Misalnya, konselor dari kelas menengah perkotaan mungkin tak memahami kompleksitas hidup perempuan tani.
2. Penerimaan dan Validasi
Konselor menghargai suara konseli meski berbeda dari arus utama—misalnya seorang mahasiswi vokal yang menulis puisi pro-buruh atau ikut komunitas Nenengisme.
Jika feminisme kota kadang kehilangan arah karena terlalu konseptual, maka Nenengisme adalah feminisme yang merawat tanah dan harga diri sekaligus. Peran konselor multibudaya adalah menjembatani, bukan menghakimi. Dalam dunia yang penuh label dan stigma, konseling adalah ruang aman untuk saling dengar, bukan saling bungkam. Saatnya konseling multibudaya bukan sekadar teori di PPT. Saatnya membuka mata, melihat lumpur di kaki, bukan hanya dasi di leher. Neneng sudah bicara. Kita dengar, atau diam?
Sumber:
- Neneng Rosdiyana di Facebook
- Aji, W. T. Dari Marxisme Ke Nenengisme: Melawan Dari Sawah Menuju Ruang Digitalisasi Untuk Keadilan Sosial.
Biodata Penulis:
Rilis Sekar Pertiwi, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret.