Visinema Pictures baru saja merilis film animasi pertamanya, yaitu Jumbo. Disutradarai oleh Ryan Adriandhy, dan dikerjakan selama lima tahun hasil kolaborasi lebih dari 400 kreator Indonesia, termasuk musisi, seniman visual, animator, penulis naskah, dan teknisi. Film ini menceritakan tentang persahabatan, keberanian, penerimaan diri, dan isu perundungan yang dialami oleh anak-anak.
Film ini menjadi perbincangan hangat terlebih di kalangan orang tua terkait munculnya Meri, peri kecil yang disalahpahami sebagai arwah. Di film Jumbo Meri diceritakan sebagai makhluk halus yang baik hati, lembut, dan sebagai sosok penolong Don dengan menggunakan kekuatan gaib nya. Banyak pro dan kontra terkait munculnya sosok Meri di Film Jumbo. Seakan-akan munculnya Meri dianggap sebagai sesuatu yang negatif.
Di platform X, banyak diskusi yang membahas tentang kelayakan film Jumbo untuk ditonton anak-anak. Sejumlah orang tua menyayangkan adanya kehadiran Meri . Mereka berpendapat bahwa film Jumbo dapat menyebabkan anak memiliki rasa takut yang berlebihan dan kecemasan, yang dapat mengganggu konsentrasi anak. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa itu semua kembali ke cara didik orang tua masing-masing.
Beberapa psikolog berpendapat bahwa film yang memiliki tokoh hantu dapat menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada anak-anak, terlebih pada anak-anak yang belum dewasa serta belum bisa memahami perbedaan antara fiksi dan realitas. Oleh karena itu, peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendampingi anak-anak saat menonton film, terutama film yang mengandung fantasi atau tokoh supranatural seperti hantu.
Kenapa Kita Masih Takut Imajinasi Anak?
Imajinasi adalah alat penting bagi anak-anak untuk mengekspresikan emosi, memahami dunia, dan memproses pengalaman hidupnya. Menurut psikolog, tidak perlu takut ketika anak bermain peran sebagai monster, berbicara dengan teman imajiner, atau membayangkan dunia hantu selama tidak berdampak negatif pada kegiatan anak sehari-hari.
Orang tua yang memiliki reaksi berlebihan terhadap imajinasi anak justru bisa menghambat kreativitas dan menanamkan rasa bersalah kepada anak karena khayalannya. Orang tua justru harus belajar memahami bahwa ketertarikan anak pada hal fantasi adalah fase perkembangan, bukan suatu bagian dari hal yang berbahaya.
Meri dalam film Jumbo digambarkan menyerupai makhluk halus. Bukan sebagai hantu menyeramkan yang sering ditemui pada film horor, tetapi Meri digambarkan sebagai sosok yang lembut, dan penuh empati. Hal ini menunjukkan bahwa “hantu” dalam konteks cerita anak bukan hanya tentang horor atau sesuatu untuk ditakuti.
Sosok Meri dalam film Jumbo justru dapat menjadi bahan diskusi antara orang tua dan anak. Orang tua dapat memberi penjelasan atau pemahaman bahwa “hantu” dalam film Jumbo hanyalah bagian dari dunia fiksi dan fantasi, bukan suatu yang negatif atau ajaran sesat. Orang tua seharusnya tidak langsung menolak imajinasi anak, tetapi orang tua harus hadir, mendengar, dan ikut membangun dunia imajinasi anak dengan penuh cinta dan harapan.
Biodata Penulis:
Marcelina Lilis Suryani, lahir pada tanggal 13 Maret 2006 di Surakarta, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Ekonomi Pembangunan, di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ia terlibat dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di divisi Pemerhati sebagai staff. Penulis bisa disapa di Instagram @marcelinalilis