Menonton film Komang karya Raim Laode adalah sebuah perjalanan yang tidak saya sangka akan sangat personal. Saya menonton film ini bersama kekasih, seorang pria yang menganut keyakinan berbeda. Seperti yang bisa diduga, menonton film ini bersama dia seolah menjadi cermin dari kisah yang sedang kami jalani: kisah cinta yang hangat sekaligus berat, yang penuh harapan tetapi juga sering tak pasti.
Film ini bukan hanya tentang cinta biasa. Ia bicara tentang keterikatan, pengorbanan, dan keberanian untuk memaknai perbedaan. Raim Laode yang selama ini dikenal lewat musik, tiba-tiba menjelma menjadi pencerita visual yang peka dan tajam. Ia tidak membuat film yang keras atau meledak-ledak. Sebaliknya, ia mengajak penonton masuk ke dalam ruang sunyi, di mana perasaan-perasaan yang sering tak terucap justru menjadi inti utama.
Komang sebagai Metafora
Judul film Komang, awalnya saya kira hanya nama tokoh. Semakin lama menonton, saya sadar bahwa Komang adalah semacam simbol. Ia bisa berarti siapa saja—mereka yang mencintai dalam diam, yang merindukan dalam hening, atau yang memilih pergi meski hatinya ingin tinggal.
Film ini bercerita tentang tokoh utama yang diperankan oleh Raim Laode sendiri. Ia memerankan seorang pria yang tinggal di kota tetapi tidak pernah benar-benar merasa pulang, bahkan ketika pulang ke kampung halamannya. Ia terjebak dalam bayang masa lalu dan kisah cintanya dengan Komang, seorang perempuan Bali yang dengan tenang, tetapi tegas, menunjukkan bahwa cinta bisa sangat dalam tanpa harus dimiliki selamanya.
Film ini istimewa bukan hanya cerita cintanya, tetapi konteks sosial dan budaya yang menyelimutinya. Raim Laode dengan cermat menempatkan perbedaan agama, latar keluarga, dan ekspektasi sosial sebagai konflik batin, bukan sekadar konflik luar. Maka tak heran jika saya—yang juga sedang menjalani hubungan beda agama—merasa sangat terhubung dengan narasi ini. Rasanya seperti melihat potret kami sendiri, tapi dalam versi sinematik.
Cinta dalam Sunyi
Sepanjang film, dialog tidak pernah berlebihan. Bahkan cenderung sedikit. Tapi justru dari situlah kekuatannya muncul. Banyak hal disampaikan lewat ekspresi, gestur, dan—yang paling kuat—lewat keheningan. Hening yang menyakitkan. Hening yang menggugah. Saya dan pacar saya beberapa kali hanya saling memandang ketika adegan tertentu muncul. Tidak berkata-kata, tapi kami tahu, kami mengerti.
Ada satu adegan ketika tokoh utama dan Komang duduk berdua di tepi laut, diam, hanya terdengar debur ombak. Saya tidak tahu kenapa adegan itu begitu membekas. Mungkin karena kami juga pernah ada di momen seperti itu—ketika cinta terasa begitu besar, tapi dunia terasa begitu sempit untuk menampungnya.
Saya kira inilah kekuatan utama film ini: ia tidak mencoba memberi solusi karena sadar bahwa tidak semua hal harus diselesaikan saat itu juga. Justru dengan cara itu, film ini terasa jujur—ia merangkul keraguan, membiarkan penonton berada dalam ketidakpastian tanpa merasa bersalah. Ia tidak menuntut jawaban cepat, melainkan membuka ruang bagi kita untuk bertanya pelan-pelan, untuk diam sejenak, dan mendengarkan suara hati kita sendiri.
Keluarga, Budaya, dan Keputusan yang Tak Sederhana
Film Komang tidak bisa dilepaskan dari latar budaya Bali dan Sulawesi Tenggara. Raim Laode dengan apik menyulam elemen budaya sebagai bagian dari konflik tanpa menjadi klise. Perbedaan budaya dan agama tidak dijadikan alat sensasi, melainkan bagian dari realitas yang sering kali kita temui tapi enggan kita hadapi.
Keluarga dalam film ini digambarkan sebagai sosok yang baik, tetapi terjebak dalam pola pikir lama. Mereka tidak jahat, hanya takut. Takut pada apa kata orang, takut pada perubahan, takut pada kehilangan. Dan ketakutan itu diwariskan secara tidak sadar pada anak-anak mereka.
Saya melihat bahwa film ini ingin menyampaikan bahwa cinta tidak cukup hanya dengan saling menyayangi. Terdapat struktur yang lebih besar: keluarga, komunitas, bahkan agama. Semua itu punya suara yang kadang lebih keras daripada hati kita sendiri.
Sebagai seseorang yang sedang menjalin hubungan lintas agama, saya tahu persis bagaimana rasanya mencoba mendamaikan cinta dengan kepercayaan. Film ini tidak berpura-pura bahwa semua bisa selesai dengan kompromi. Justru sebaliknya: ia menunjukkan bahwa ada keputusan-keputusan yang pahit yang tetap harus diambil, bahwa keberanian kadang berarti melepaskan.
Catatan Visual dan Akting
Dari sisi sinematografi, film ini tampil sangat sederhana tetapi menyentuh. Raim Laode memilih gambar-gambar yang tenang, dengan warna-warna natural yang mendukung suasana emosional. Musik latar juga digunakan secukupnya, lebih banyak memberi ruang bagi keheningan berbicara. Saya rasa ini adalah pilihan artistik yang sangat tepat, mengingat inti film ini memang bukan pada dialog, tapi pada rasa.
Akting Raim Laode sebagai pemeran utama cukup kuat, tetapi justru pemeran Komang-lah yang mencuri perhatian saya. Ia tidak banyak berbicara, tetapi setiap tatapannya punya lapisan emosi yang dalam. Ada luka, ada cinta, ada ketabahan. Ia adalah potret perempuan yang tahu kapan harus bertahan dan kapan harus pergi.
Penutup: Cermin Bagi yang Sedang Bertanya
Film Komang bagi saya bukan sekadar film romantis. Ini adalah film tentang memilih. Tentang mencari makna dari perbedaan. Tentang bertanya: apa yang lebih penting—bersama, atau tetap setia pada keyakinan masing-masing?.
Saya tidak tahu bagaimana akhir dari kisah saya dan pacar saya. Tapi setelah menonton Komang, saya belajar bahwa tidak semua cinta harus dimiliki untuk menjadi bermakna. Bahwa mencintai juga bisa berarti membiarkan seseorang tumbuh, meski bukan di sisi kita.
Sebagai penonton, saya merasa dihormati oleh film ini. Ia tidak memaksa saya setuju. Ia hanya mengajak saya duduk sebentar, merenung, lalu bertanya: “Sudahkah kamu memilih dengan jujur?”
Biodata Penulis:
Vanesa Galuh Prameswari, lahir pada tanggal 30 September 2006 di Surakarta, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Ekonomi Pembangunan, di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis bisa disapa di Instagram @vanesagaluh_