Film Pengepungan di Bukit Duri yang disutradarai oleh sutradara kondang Joko Anwar tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia pada Kamis, 17 April 2025. Pengepungan di Bukit Duri merupakan film bergenre drama-thriller yang secara terang-terangan mengangkat tema kekerasan di kalangan remaja yang memperlihatkan kegagalan sistem pendidikan, dengan setting waktu fiksi tahun 2027 yang diselingi dengan bayang-bayang peristiwa kerusuhan anti-Tionghoa yang terjadi pada Mei 1998.
Film yang memiliki judul versi bahasa Inggris The Siege at Thorn High merupakan hasil kerja sama Joko Anwar dengan Amazon Metro Goldwyn Mayer (MGM) Studios, serta diproduksi oleh Come and See Pictures. Dilansir dari akun Instagram Joko Anwar (@jokoanwar), hingga pukul 16.30 WIB, dalam 16 hari penayangan, film ini telah disaksikan oleh 1.501.737 penonton.
Dalam konferensi pers, Joko Anwar mengungkapkan bahwa dirinya telah menulis naskah Pengepungan di Bukit Duri sejak 2007 lalu. Namun produksinya ditunda dengan harapan bahwa kondisi sosial Indonesia tahun demi tahun akan membaik. Pada tahun 2024, Joko Anwar baru mengeksekusi naskah tersebut setelah 17 tahun, karena merasa masalah sosial Indonesia tidak lekas membaik, sehingga dirinya siap menggarap Pengepungan di Bukit Duri dengan matang. Selain itu, Joko Anwar menggunakan setting waktu tahun 2027 untuk film Pengepungan di Bukit Duri agar penonton merasakan kedekatan secara emosional dan waktu.
Film Pengepungan di Bukit Duri dibintangi oleh sejumlah aktor ternama Indonesia, seperti Morgan Oey dan Omara Esteghlal, serta deretan aktor dan aktris populer lainnya yang pastinya turut memperkuat nyawa film ini.
Kengerian yang Tergambar dalam Film Pengepungan di Bukit Duri “Lebih Menyesakkan dari Film Horor”
Pengepungan di Bukit Duri, hal pertama yang terlintas dalam benak saya adalah “mungkin ini hanya film tentang kenakalan remaja seperti biasanya”. Film yang diawali dengan scene para siswa-siswi dipulangkan lebih awal karena terjadinya kerusuhan Mei 1998, yang menyebabkan Edwin (Morgan Oey) dan kakaknya yang merupakan keturunan Tionghoa harus menjadi korban kekerasan yang begitu keji dan tidak bermoral dari penduduk lokal. Sejujurnya, saya sama sekali tidak memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap film ini. Namun, scene di awal film ini sudah berhasil membangkitkan rasa penasaran saya terhadap plot ceritanya.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2027, kita akan melihat kondisi Indonesia yang semakin runyam dan kacau. Fasilitas publik banyak yang rusak akibat aksi vandalisme, pertikaian antar etnis dan agama, serta kondisi negara yang sama sekali jauh dari kata aman untuk ditinggali. Edwin (Morgan Oey) bukanlah pahlawan. Ia hanyalah seorang guru pengganti yang mengajar mata pelajaran seni di SMA Duri, yang merupakan sekolah “buangan” bagi para remaja yang bermasalah. Sebenarnya, Edwin (Morgan Oey) tidak pernah berniat untuk mengajar, profesi “guru” hanya sebagai kedok untuk misi Edwin (Morgan Oey) mencari keponakannya yang dibuang oleh kakaknya sendiri.
Di SMA Duri, Edwin (Morgan Oey) menghadapi tantangan yang berat sebagai pengajar, karena harus berhadapan dengan murid-murid yang kasar, penuh amarah, beringas, dan menjadikan kekerasan sebagai cara utama untuk menyelesaikan masalah. Hanya Diana (Hana Pitrashata Malasan) seorang guru bimbingan konseling yang masih waras dalam SMA Duri.
Ketika Edwin akhirnya menemukan keponakannya, mereka justru terperangkap di sekolah bersama siswa yang dipenuhi dengan dendam pribadi terhadap Edwin (Morgan Oey) yang pada akhirnya menjadi ancaman bagi keselamatan mereka. Di sinilah puncak dari konflik dalam film Pengepungan di Bukit Duri akan meledak. Keseruan, kengerian, kesadisan, serta pertikaian antara guru dan murid akan memuncak yang menyebabkan pertumpahan darah di sekolah. Aksi kerusuhan tahun 1998 pun hidup kembali, membuat kondisi Indonesia menjadi gelap dan penuh kekacauan.
Usai menonton film ini, sensasi merinding masih terasa di seluruh tubuh saya. Pengepungan di Bukit Duri meninggalkan kesan yang cukup mendalam pada saya. Saya cukup terkejut dengan plot cerita film ini, karena saya belum pernah menonton film dengan plot seperti ini. Selain itu, film ini juga banyak mengandung aksi kekerasan yang menurut saya sangat-sangatlah kasar, brutal, dan keji. Film ini seperti diselimuti oleh aura yang gelap dan mencekam. Satu scene yang sampai sekarang masih saya ingat dan membuat saya terkejut adalah “membakar orang hidup-hidup”, itu benar-benar dilihatkan dari masih utuh jadi orang sampai hangus. Jadi, film Pengepungan di Bukit Duri ini dapat saya katakan lebih menyesakkan dan mengerikan dari film horor. Semua film yang disutradarai oleh Joko Anwar memang terkenal dengan kesadisan dan keberanian dalam mencabik-cabik tubuh manusia.
Jika dilihat lebih dalam lagi, sebenarnya banyak side karakter yang memiliki potensi besar namun akhirnya terbuang sia-sia, misalnya karena “mati konyol”. Edwin (Morgan Oey) pada dasarnya bertanggung jawab atas konflik emosional yang memuncak dalam diri Jefri (Omara Esteghlal). Selain itu, yang paling mengganggu saya adalah keputusan Edwin (Morgan Oey) yang menganggap Jefri (Omara Esteghlal) sebagai keponakannya yang hilang, hanya karena sebuah cuplikan video, di mana Jefri mengatakan “Nyokap gw China.” Buktinya kurang kuat, karena di tahun 1998 banyak wanita Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan penduduk lokal. Namun, secara keseluruhan saya menyukai film Pengepungan di Bukit Duri karena memberikan suasana yang baru terhadap perfilman Indonesia.
Apakah Sejarah Berdarah 1998 akan Benar-benar Terulang?
Film Pengepungan di Bukit Duri memberikan narasi tentang kondisi Indonesia tahun 2027 yang hampir sama dengan kondisi Indonesia pada tahun 1998. Indonesia penuh dengan ketegangan sosial, kekacauan sistem pemerintah, keretakan pada sistem pendidikan, hingga persoalan diskriminasi antar ras.
Dalam film ini, digambarkan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, yang hampir sama dengan apa yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998. Akibat kejadian 1998, tentunya menyebabkan trauma mendalam bagi orang-orang etnis Tionghoa. Banyak terjadi penjarahan terhadap toko atau bisnis mereka, terjadinya kekerasan terhadap etnis Tionghoa, serta wanita Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan penduduk lokal. Hal tersebut terjadi karena adanya kesenjangan pendapatan antara etnis Tionghoa dan penduduk lokal. Penduduk lokal mungkin iri terhadap etnis Tionghoa yang sebagian besar memiliki kehidupan yang sejahtera, padahal mereka hanya seorang pendatang dari Negeri Tirai Bambu, sedangkan penduduk lokal sendiri banyak yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengepungan di Bukit Duri, juga menggambarkan kondisi Indonesia yang saat ini sangatlah kacau balau. “Negara kita itu kayak kaca yang paling tipis,” merupakan satu kutipan dalam film yang sampai sekarang masih membekas dalam benak saya. Kutipan tersebut seolah menggambarkan kondisi Indonesia saat ini, di mana ketika terjadi sedikit masalah dalam negeri yang sebenarnya dapat diselesaikan justru sering berkembang menjadi konflik yang besar, hingga memicu perpecahan antara masyarakat dan pemerintah. Betul, seperti “kaca yang tipis”, karena sekalinya disenggol atau tersentuh akan langsung retak, pecah, hancur, dan menyisakan kepingan-kepingan tajam yang dapat melukai siapa pun yang mencoba membersihkannya. Lalu, apakah kelamnya 1998 akan benar-benar terulang lagi? Siapa tahu? Bisa saja, bisa tidak.
Biodata Penulis:
Mutia Aqila Azzahra, lahi pada tanggal 4 Juli 2006 di Surakarta, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Sebelas Maret. Ia bergiat di Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan (HMJEP), Universitas Sebelas Maret, sebagai staf Bidang Ilmiah dan Akademis. Selain itu, ia juga menjadi staf divisi Human Resources (HR) di Investor Club Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret. Penulis bisa disapa di Instragram @mutaqila_