Sadarkah kita? Di era TikTok atau masa sekarang ini, jumlah 'likes' dan 'views' kini kerap dianggap sebagai mata uang baru pengakuan diri. Tak sedikit remaja yang rela mengorbankan empati demi konten yang bisa ‘viral’. Aksi perkelahian yang melibatkan 6 remaja perempuan di Surabaya menjadi viral baru-baru ini setelah saling ejek dalam siaran langsung di TikTok. Kasus ini menambah daftar panjang kekerasan remaja yang ironisnya sering kali tersebar di media sosial. Ini bukan sekadar ulah konyol remaja melainkan gambaran jelas dari sebuah isu budaya yang sedang berkembang di masyarakat. Bagaimana kita menyelamatkan generasi yang mulai mengukur harga diri dari konten FYP yang ada di layar ponsel? Kita membutuhkan lebih dari sekadar edukasi, saatnya konseling multibudaya hadir untuk selamatkan generasi muda kita yang mulai kehilangan arah.
Indonesia masuk ke dalam deretan negara dengan pengguna TikTok terbesar sepanjang 2025—mencapai 107,7 juta pengguna. Angka yang fantastis ini membuktikan bahwa platform satu ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital remaja. Dari banyaknya konten kreatif yang dibuat para influencer, terselip konten kekerasan yang dipicu oleh hasrat akan validasi instan. Perkelahian antar pelajar, yang sebenarnya bukan fenomena baru, kini bertransformasi menjadi tontonan yang sengaja dipertontonkan—direkam, diunggah, dan entah bagaimana algoritma Tiktok itu berjalan yang seolah-olah memberinya panggung validasi sehingga mendorong perilaku ekstrem para remaja untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan atas dirinya.
Memang pada usia ini para remaja biasanya sedang berada pada fase pencarian jati dirinya dengan mempertanyakan identitas diri yang sebenarnya, sebagaimana diungkapkan dalam teori psikososial yang dikemukakan oleh Erik Erikson yaitu tahap "Identity vs Role Confusion" (Identitas vs Kebingungan Peran). Pada era digital ini, remaja menghadapi tantangan baru yaitu distorsi identitas di era digital. Saat seharusnya remaja mengeksplorasi nilai-nilai luhur budaya lokal seperti gotong royong atau pun sopan santun, remaja justru terjebak dalam 'identitas instan' yang ditawarkan media sosial. Ketika remaja mengalami kebingungan peran, mereka cenderung mencari identitas melalui para teman sebayanya dan berpegang pada tren populer. Menemukan ‘identitas’ sebagai “jagoan” dari pertengkaran yang viral di media sosial bukanlah identity achievement yang sehat, melainkan kebingungan peran yang menyimpang dari norma sosial, tidak hanya merugikan untuk diri sendiri namun juga bagi orang disekitarnya.
Ketika proses pembentukan identitas remaja terganggu terutama saat pengawasan dan pendidikan emosional lemah—kekerasan dapat muncul sebagai ekspresi identitas palsu. Di sinilah konseling multibudaya berperan sebagai jembatan yang membantu remaja memilah antara identitas diri yang autentik dan pengaruh budaya digital yang menyesatkan. Pendekatan multibudaya menjadi sangat relevan di Indonesia yang kaya akan keragaman. Budaya tidak hanya berbentuk kesenian semata, namun budaya adalah norma yang terbentuk itu sendiri. Sebuah perwujudan dari kebudayaan dapat berupa perilaku, norma-norma, kesenian, bahasa, pola masyarakat (Chasanah, 2022). Selaras dengan itu, Sue (2016) menyatakan bahwa tujuan utama konseling multibudaya adalah membantu individu memahami diri dalam konteks budaya dan sosialnya, menciptakan identitas yang tidak hanya kuat tetapi juga adaptif terhadap perubahan zaman.
Konselor tidak hanya membantu remaja memilah antara identitas sejati dan tren semu namun juga bisa menjadi ruang aman bagi remaja untuk mengeksplorasi nilai-nilai luhur budaya mereka, seperti gotong royong atau tepo seliro (tenggang rasa) sambil belajar memfilter pengaruh negatif media sosial. Dengan pendampingan ini, selain remaja bisa melindungi diri dari konten negatif tetapi juga bisa terinspirasi untuk menciptakan konten yang lebih edukatif dan kreatif. Langkah konkret lainnya adalah melibatkan orang tua dalam memahami dinamika identitas remaja di era TikTok sekaligus merespons dengan bijak tanpa menghakimi. Konseling multibudaya bukan tentang menolak zaman, tetapi membantu remaja menegosiasikan identitasnya di tengah perubahan. Konseling multibudaya hadir untuk mendampingi para remaja menemukan jati diri ‘yang sebenarnya’ di tengah keragaman budaya dan digital.
Pada akhirnya, masa depan remaja bukan ditentukan oleh algoritma TikTok, tetapi oleh seberapa kuat mereka berakar pada nilai budaya sambil tetap terbuka terhadap perubahan. Konseling multibudaya untuk melawan arus digital, melainkan mengarahkan arus itu menjadi kekuatan yang membangun. Seperti kata pepatah Jawa, ‘Ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana’ (Harga diri ada pada ucapan, harga tubuh ada pada pakaian), mari bersama bantu remaja menemukan ‘bahasa’ dan ‘busana’ identitas yang sesungguhnya: autentik, bermartabat, dan tak lekang oleh tren.
Sumber Referensi:
- https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/saling-ejek-saat-live-tiktok-6-anak-perempuan-di-surabaya-terlibat-perkelahian-24OZNAAx0yD diakses pada tanggal 22 Mei 2025
- Nuha, M. S., & Muslihati, M. (2025). Konseling Multibudaya dalam Penanganan Perilaku Problematik Remaja. Jurnal Pembelajaran, Bimbingan, dan Pengelolaan Pendidikan, 5(4), 1-1.
- Sue, D. W., & Sue, D. (2016). Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice. Hoboken: John Wiley & Sons
Biodata Penulis:
Khansaa Aqiilah saat ini aktif sebagai mahasiswa, program studi Bimbingan dan Konseling di Universitas Sebelas Maret (UNS).