Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Ketika Identitas Budaya Tak Diakui: Tugas Kita Mengobati Luka yang Tak Terlihat

Ketika stereotip budaya menjadi tembok penghalang hidup bermasyarakat, bisakah konseling membuka jalan menuju penerimaan dan penguatan identitas?

Indonesia dikenal dunia sebagai negara yang kaya akan budaya, suku, dan bahasa. Sayangnya, di tengah slogan “Bhinneka Tunggal Ika” yang sering digaungkan, praktik keberagaman belum sepenuhnya hadir dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu isu budaya yang mencuat adalah konflik identitas dan diskriminasi terhadap kelompok budaya minoritas, baik di lingkungan pendidikan, pekerjaan, hingga media sosial.

Ketika Identitas Budaya Tak Diakui

Fenomena diskriminasi terhadap mahasiswa Papua di berbagai kota besar menjadi gambaran nyata. Salah satu insiden paling disorot terjadi pada Agustus 2019 di Surabaya, saat asrama mahasiswa Papua dikepung dan diserbu oleh aparat serta warga karena tuduhan tidak mengibarkan bendera Merah Putih. DPR RI mencatat peristiwa ini sebagai bentuk diskriminasi rasial yang memicu demonstrasi besar di sejumlah wilayah. Laporan Komnas HAM tahun 2021 juga mencatat pengaduan atas kekerasan yang dialami mahasiswa Papua saat pembubaran posko eksodus di Expo Waena, Jayapura, yang bahkan menyebabkan korban jiwa. Situasi ini menunjukkan betapa rentannya mahasiswa Papua bukan hanya sebagai minoritas budaya, tetapi juga sebagai kelompok yang rentan terhadap perlakuan represif.

Diskriminasi tak hanya terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga lewat penolakan sosial yang halus. Menurut Jurnal Asketik IAIN Kediri, mahasiswa Papua di Yogyakarta lebih memilih tinggal di asrama karena sering ditolak oleh pemilik indekos akibat stereotip negatif seperti pemabuk atau pembuat onar. Ketidakadilan ini menegaskan pentingnya konseling multibudaya yang mengedepankan teori kesadaran budaya dan integrasi budaya. Teori ini menekankan bahwa konselor dan masyarakat luas perlu memahami serta menghargai latar belakang budaya individu, menciptakan ruang aman, dan menjembatani perbedaan. Konseling multibudaya tidak hanya mengobati luka identitas, tetapi juga menjadi sarana memperkuat nilai keberagaman sebagai bagian tak terpisahkan dari keutuhan bangsa.

Dalam konteks inilah pendekatan konseling multibudaya juga menjadi sangat relevan. Salah satu teori penting dalam konseling multibudaya adalah teori kesadaran budaya (cultural awareness theory), yang menekankan bahwa konselor harus memiliki kepekaan terhadap latar belakang budaya klien. Konselor bukan hanya dituntut memahami nilai-nilai yang dianut klien, tetapi juga menyadari bagaimana posisi sosial dan kekuasaan dalam masyarakat bisa mempengaruhi proses konseling itu sendiri.

Ketika konselor memiliki kesadaran budaya yang tinggi, ia akan lebih mampu membangun hubungan yang setara dengan klien dari latar belakang berbeda. Konseling tidak lagi menjadi ruang di mana seseorang diperbaiki agar sesuai dengan norma mayoritas, melainkan ruang aman di mana identitas diri yang berbeda justru dihargai dan diberdayakan.

Selain itu, teori integrasi budaya mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekuatan yang seharusnya dihormati, bukan diseragamkan. Dalam praktik konseling, pendekatan ini mendorong konselor untuk membantu klien dari kelompok minoritas menemukan keseimbangan antara mempertahankan budaya asal dan berinteraksi dengan budaya dominan tanpa harus mengorbankan jati dirinya.

Melalui sesi konseling yang sensitif budaya, individu dari latar belakang minoritas dapat didampingi untuk mengelola stres budaya, membangun kepercayaan diri, dan menata ulang cara mereka berelasi dengan lingkungan sekitar. Namun tentu, konseling saja tidak cukup. Diperlukan kesadaran kolektif seluruh elemen masyarakat, termasuk institusi pendidikan dan media, untuk berhenti menormalisasi stigma dan mulai membangun narasi yang lebih adil terhadap keberagaman.

Jika kita benar-benar ingin hidup dalam masyarakat yang berkeadaban, maka pengakuan terhadap perbedaan budaya bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Konseling multibudaya hadir sebagai jembatan antara yang minoritas dengan yang mayoritas, antara luka dan penyembuhan, antara perbedaan dan penghargaan. Dalam negeri yang katanya menjunjung keberagaman, jangan sampai keberagaman hanya menjadi slogan kosong di atas kertas. Jadikan ia ruang nyata bagi siapa pun untuk merasa pulang.

Khoirunnisa Auliya Rosyidah

Biodata Penulis:

Khoirunnisa Auliya Rosyidah saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Program Studi Bimbingan dan Konseling.

© Sepenuhnya. All rights reserved.