Kasus kejahatan pelecehan seksual saat ini sudah banyak terjadi di penjuru dunia bahkan di Indonesia dan mayoritas yang menjadi korbannya yaitu perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan jika korban dari kasus tersebut merupakan laki-laki.
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) di tahun 2022 sebanyak 14.75% laki laki mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Akan tetapi, dengan tingkat persen tersebut masih sedikit korban laki-laki mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia. Hal tersebut karena adanya stereotipe bahwa laki-laki merupakan orang yang “kuat”, “tidak emosional”, dan “tidak mungkin menjadi korban pelecehan seksual”.
Dengan adanya stereotipe tersebut membuat masyarakat tidak percaya bahwa laki-laki dapat menjadi sasaran kejahatan pelecehan seksual. Hal tersebut juga pastinya akan mengganggu psikologis bagi laki-laki korban pelecehan seksual yang membuat para korban enggan untuk melaporkan hal yang dialaminya karena takut bahwa orang-orang tidak percaya, dipermalukan, atau bahkan diejek.
Oleh karena itu, banyak laki-laki korban pelecehan lebih memilih diam dan bahkan memendamnya sendiri. Akibatnya, mereka akan mengalami dampak panjang dalam bersosialisasi hingga adanya trauma dan kesehatan mental mereka yang terganggu.
Pentingnya Culture Awarness
Culture Awarness Theory atau teori kesadaran budaya sangat penting dalam menangani masalah ini. Teori kesadaran budaya ini menekankan tentang pentingnya pemahaman konteks terhadap latar belakang budaya, nilai-nilai sosial, dan struktur kekuasaan yang terjadi di masyarakat. Dengan teori ini, konselor dituntut untuk harus menyadari bagaimana stereotipe gender tersebut dapat mempengaruhi pengalaman dan persepsi individu.
Dalam konteks laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual, konselor perlu menyadari bahwa stereotipe gender tersebut dapat menghambat korban untuk mengungkapkan traumanya serta dalam mencari bantuan.
Di sini konselor perlu memahami bahwa laki-laki mungkin menghadapi masalahanya tersebut, seperti perasaan malu karena dianggap lemah atau anggapan bahwa ia tidak mampu melindungi dirinya sendiri, yang tentunya hal tersebut bertentangan dengan stereotipe tentang laki-laki di masyarakat.
Apabila seorang konselor mengabaikan adanya bias ini akan menyebabkan korban merasa terasing dan merasa tidak dimengerti, sehingga mereka akan enggan untuk mencari bantuan.
Dengan meningkatkan kesadaran terhadap masalah ini, sebagai seorang konselor dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual.
Solusi yang Realistis dan Praktis
Untuk menangani adanya isu kurangnya perhatian terhadap stereotipe laki-laki korban pelecehan seksual, diperlukan adanya solusi yang realistis dan praktis untuk mengembangkan program konseling terutama dalam konseling multibudaya. Program tersebut di antaranya:
1. Sosialisasi dan Edukasi
Dengan diadakannya sosialisasi dan edukasi berupa seminar dan lokakarya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu laki-laki sebagai korban pelecehan seksual dapat membantu mengurangi stigma yang ada dan lebih peduli terhadap korban pelecehan seksual baik laki-laki maupun perempuan tanpa pandang bulu.
2. Pelatihan Konselor
Pelatihan konselor perlu untuk dilakukan terutama dalam menangani kasus laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual sehingga dapat mengurangi bias yang akan terjadi ketika menangani masalah yang serupa. Pelatihan tersebut dapat berupa pemahaman mengenai stereotipe gender dan dampaknya dalam kesehatan mental
3. Dukungan Kelompok
Dengan membentuk suatu komunitas kelompok dukungan bagi laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual ini dapat menjadi wadah bagi para korban ini dalam berbagi pengalamannya dan mendapatkan dorongan dan dukungan dari sesame korban dan juga tenaga professional yang dapat membantu mereka tanpa merasa terasingkan atau didiskriminasi.
Biodata Penulis:
Nailil Fitria Luthfiana saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.