Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Lelah di Jalan, Puas di Puncak: Cerita Di Balik Tren Naik Gunung

Ada banyak alasan mengapa kegiatan mendaki gunung begitu digemari di berbagai kalangan terutama oleh generasi muda. Pertama, sekarang sebagian ...

Dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan outdoor seperti mendaki gunung sudah tak harus seorang pencinta alam garis keras atau pendaki profesional. Sekarang siapapun dapat mendaki gunung mulai dari pelajar,mahasiswa hingga orang tua. Tren mendaki gunung ini berkembang pesat di tengah gaya hidup modern yang serba cepat dan haus akan pengalaman yang menarik. Mendaki gunung ini seolah menjadi sebuah pelarian atau zaman sekarang disebut dengan istikah “healing” yang sempurna. Sebuah pelarian yang seakan keluar dari berisiknya suasana kota dengan kembali ke alam dan memberikan sebuah hadiah yang menarik di ujung perjalanan.

Mengapa Mendaki Menjadi Tren?

Ada banyak alasan mengapa kegiatan mendaki gunung begitu digemari di berbagai kalangan terutama oleh generasi muda. Pertama, sekarang sebagian besar gunung di Indonesia sudah menyiapkan akses yang lebih mudah seperti jalur resmi disertai dengan map, sistem booking online pada website, dan fasilitas pendukung yang baik untuk para pendaki yang baru mencoba naik gunung.

Cerita Di Balik Tren Naik Gunung

Kedua, mendaki gunung dianggap sebagai “healing,” yaitu setelah lelahnya menghadapi aktivitas harian, pekerjaan yang berat, naik gunung bisa jadi cara untuk seolah mereset kembali pikiran kita yang sudah overloaded.

Ketiga, aktivitas ini juga bisa menjadi cara untuk hidup sehat di era sekarang. Mendaki membutuhkan fisik yang kuat dan stamina yang cukup sehingga orang orang termotivasi untuk rutin berolahraga, dan menjaga pola makan agar dapat menyelesaikan pendakian gunung.

Lelah yang Membawa Kepuasan 

Salah satu alasan yang biasa dikatakan para pendaki adalah “Mendaki gunung memang capek namun itu semua terbayarkan oleh pemandangan yang disajikan”. Ketika seorang berhasil menyelesaikan pendakian pasti ada rasa bangga tersendiri yang muncul. Seolah sedang membuktikan bahwa ia mampu melewati batas fisiknya,dan bahwa hasil memang tidak akan menghianati proses.

Selain itu momen momen di pendakian juga meninggalkan kenangan yang dalem banget. Seperti duduk di tenda menikmati bintang-bintang di tengahnya hutan, menikmati secangkir kopi hangat,dan bersenda gurau dengan teman sependakian.

Tantangan yang Tersembunyi di Balik Tren

Namun, tren mendaki gunung yang semakin ramai tentu membawa dampak lain yang tidak bisa diabaikan. Jumlah sampah yang meningkat seiring dengan ramainya tren mendaki gunung ini tentu harus diperhatikan. Tidak sedikit pendaki yang belum memahami etika menjaga alam seperti meninggalkan sampah begitu saja.

Selain itu kelebihan kapasitas juga menjadi masalah penting yaitu gunung yang populer seperti Semeru, Rinjani, atau Prau bisa kedatangan ratusan bahkan ribuan pendaki dalam satu waktu. Hal ini berisiko merusak ekosistem alam dan membuat pengalaman mendaki kurang nyaman.

Cuaca ekstrem dan kesiapan fisik juga menjadi tantangan yang serius. Beberapa pendaki bahkan tersesat, mengalami hipotermia, dan kelelahan hingga harus dievakuasi. Hal ini sering terjadi akibat kurangnya persiapan dan pengetahuan dasar tentang pendakian.

Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab

Mendaki gunung memang menyenangkan dan menarik tetapi bukan tanpa aturan yang pasti. Pentingnya melakukan riset mengenai jalur atau trek yang akan dilewati, perlengkapan yang dibutuhkan masing-masing orang serta menjaga keselamatan diri sendiri serta teman sependakian. Tidak meninggalkan sampah juga merupakan tanggung jawab utama agar menjaga ekosistem gunung.

Mengikuti tren naik gunung bukan hanya tentang ikut ikutan tetapi juga membangun hubungan yang sehat dengan alam dan menjadi pendaki yang bertanggung jawab.

Puncak Bukan Tujuan Utama Melainkan Prosesnya yang Berarti

Terakhir, mendaki gunung bukan sekadar tentang sampai puncak. Tujuan mendaki lebih dari itu, yaitu mengajarkan kita berbagai hal seperti kesabaran, ketangguhan, tanggung jawab, dan rasa syukur. Setiap langkah yang dilalui di jalur pendakian bisa menjadi pelajaran hidup bahwa tidak ada pencapaian tanpa perjuangan, dan keindahan sejati biasanya datang setelah kita melalui titik terlelah.

Dimas Surya Putra

Biodata Penulis:

Dimas Surya Putra, lahir pada tanggal 22 April 2006 di Bogor, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ia sangat menyukai kegiatan olahraga seperti mendaki gunung. Penulis bisa disapa di Instagram @dimspz

© Sepenuhnya. All rights reserved.