Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mataram Is Love: Belajar dari Sebuah Tragedi

Tragedi Kanjuruhan merenggut 135 nyawa dan melukai lebih dari 500 orang lainnya. Mayoritas korban adalah anak-anak dan remaja di bawah usia 25 tahun.

Tanggal 1 Oktober 2022 menjadi hari yang tidak biasa bagi pecinta sepak bola Tanah Air. Pada hari itu, berlangsung pertandingan besar bertajuk Derby Jawa Timur antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pertandingan berlangsung lancar, dengan skor akhir 2–3 untuk kemenangan Persebaya. Kekalahan ini menjadi pukulan berat bagi Aremania pendukung Arema FC karena merupakan kekalahan pertama di kandang sendiri melawan rival abadi mereka dalam 23 tahun terakhir.

Namun, usai peluit panjang dibunyikan, suasana berubah mencekam. Beberapa suporter Arema FC turun ke lapangan untuk melampiaskan kekecewaan. Situasi semakin memburuk saat aksi anarkis terjadi, termasuk pembakaran mobil polisi dan perusakan fasilitas stadion.

Aparat keamanan pun menembakkan gas air mata ke arah kerumunan suporter, yang menyebabkan kepanikan masif. Suporter berusaha menyelamatkan diri, saling berdesakan, dan terjadilah tragedi memilukan. Banyak anak-anak dan orang tua pingsan, terinjak-injak, hingga meninggal dunia.

Tragedi Kanjuruhan
Sumber gambar: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-63254091

Tragedi Kanjuruhan merenggut 135 nyawa dan melukai lebih dari 500 orang lainnya. Mayoritas korban adalah anak-anak dan remaja di bawah usia 25 tahun. Peristiwa ini menjadi catatan kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia bahkan dunia.

Dari Luka, Muncul Kesadaran

Tragedi ini mengguncang tidak hanya Malang, tetapi seluruh komunitas sepak bola Indonesia. Salah satu dampak tak terduga adalah lahirnya semangat perdamaian dari rivalitas-rivalitas lama. Salah satunya datang dari dua kelompok suporter yang selama ini terlibat konflik panjang: Persis Solo dan PSIM Yogyakarta.

Keinginan perdamaian dimulai dari media sosial, melalui unggahan akun @agoswarsoep dirigen yang juga menjabat Presiden Pasoepati. Seruan damai ini disambut baik oleh komunitas suporter lainnya, yang juga merasa bahwa rivalitas sudah melampaui batas nalar.dan harus segera diakhiri.

Luka Lama Rivalitas Mataram

Rivalitas Persis dan PSIM memang telah berlangsung lama. Bentrokan suporter sering kali terjadi. Salah satu peristiwa besar terjadi di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, pada 21 Oktober 2019, yang menyebabkan dua mobil polisi dibakar massa.

Kerusuhan juga terjadi pada 25 Agustus 2022, ketika tiga suporter Persis Solo terluka saat hendak menonton laga melawan Dewa United. Aksi kejar-kejaran dan serangan antara kelompok suporter terjadi di luar stadion.Banyak sekali gesekan dan aksi Tawuran antar kedua Suporter ini dan telah mengakibatkan korban luka bahkan sampai merenggut nyawa. 

Langkah Perdamaian: Mataram Is Love 

Langkah awal menuju perdamaian dimulai dengan aksi damai gabungan suporter Persis Solo, PSIM Yogyakarta, dan PSS Sleman di kawasan Candi Prambanan. Kegiatan ini diawali dengan doa bersama dan salat gaib untuk para korban Tragedi Kanjuruhan.

Inisiatif ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat dan menjadi simbol bahwa sepak bola seharusnya menjadi alat pemersatu, bukan pemecah.

Meski tidak mudah, perdamaian perlahan terwujud. Di media sosial, tagar #MataramIsLove mulai digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap kekerasan dalam sepak bola. Suporter dari kedua kubu mulai menunjukkan penghormatan, momen hening cipta, mengenakan atribut damai, dan membawa spanduk bertuliskan “Siji Mataram, Siji Tresna” (Satu Mataram, Satu Cinta).

Sepak Bola Bukan Alat Perpecahan

Perdamaian antara Persis dan PSIM seharusnya menjadi inspirasi bagi klub dan komunitas lainnya. Rivalitas yang dulunya dianggap mustahil untuk damai, kini justru menjadi teladan. Semua pihak akhirnya menyadari bahwa sepak bola bukan soal menang atau kalah, tetapi soal kebersamaan dan solidaritas.Karena sejatinya sepak bola itu adalah salah satu alat pemersatu Bangsa bukan pemecah belah Bangsa ini.

Tragedi Kanjuruhan membuka mata kita bahwa nyawa manusia jauh lebih berharga dari pertandingan mana pun. Persis Solo dan PSIM Yogyakarta telah membuktikan bahwa dari bara api persaingan, bisa tumbuh pelukan hangat persaudaraan.

Biodata Penulis:

Muhammad Arkan Fadlurrohman saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Ekonomi Pembangunan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.