Aceh sedang tidak baik-baik saja.

MBG, Solusi atau Bencana?

Seiring dengan implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG), muncul sejumlah permasalahan yang memunculkan pertanyaan besar: apakah MBG benar ...

Seperti yang kita tahu, program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan dari Presiden Indonesia saat ini. Tujuan utamanya adalah memberikan akses makanan bergizi kepada siswa-siswa sekolah agar mereka dapat tumbuh lebih sehat dan belajar dengan optimal. Program ini sangat ambisius dan mulia, terutama di tengah tantangan gizi buruk dan stunting. Sebagai mahasiswa Peternakan, saya tentu mendukung upaya pemerintah dalam memperbaiki kualitas konsumsi masyarakat, khususnya generasi muda. MBG berpotensi besar dalam mendorong ketahanan pangan nasional, meningkatkan konsumsi protein hewani, dan membuka peluang bagi peternak, serta pelaku usaha pangan lokal. Namun, seiring dengan implementasi program ini, muncul sejumlah permasalahan yang memunculkan pertanyaan besar: apakah MBG benar-benar solusi, atau justru membawa bencana baru bagi anak-anak?

Salah satu kasus yang cukup menyita perhatian publik adalah peristiwa pada Kamis, 1 Mei 2025 lalu, ketika terjadi kasus keracunan massal yang melibatkan lebih dari 400 pelajar di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kasus semacam ini bukanlah hal sepele. Dalam dunia kesehatan, keracunan makanan termasuk kategori kejadian luar biasa yang bisa berakibat fatal. Apalagi jika kasus ini terjadi berulang dan dalam skala besar. Berdasarkan data yang beredar, jumlah total kasus keracunan yang diduga berkaitan dengan distribusi MBG sejak awal peluncurannya telah mencapai ribuan kasus hingga saat ini.

MBG, Solusi atau Bencana
Sumber: iNewsTasikmalaya.id/Kristian

Hal ini tentu mengkhawatirkan dan perlu menjadi perhatian serius semua pihak. Bagaimana mungkin program yang niatnya mulia justru menjadi penyebab masalah kesehatan bagi peserta didik? Ini menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dalam proses pelaksanaan di lapangan. Apakah dari sisi pengawasan kualitas makanan? Apakah dari vendor penyedia? Atau mungkin dari manajemen program yang terlalu terburu-buru?

Saya pernah melihat unggahan proposal milik salah satu vendor penyedia makanan MBG di media sosial, dan jujur saja, dari segi format maupun kontennya sangat tidak mencerminkan profesionalisme. Hal ini menunjukkan lemahnya proses seleksi dan verifikasi terhadap pihak-pihak yang ditunjuk untuk menjalankan program ini. Ketika pemerintah melakukan efisiensi besar-besaran dan menyalurkan anggaran besar kepada penyedia jasa tanpa adanya evaluasi ketat, maka risiko penyalahgunaan, kelalaian, atau bahkan penipuan menjadi sangat besar. MBG, dalam pandangan saya, sebenarnya adalah program yang sangat strategis jika dijalankan dengan perencanaan yang matang. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaannya terkesan terburu-buru. Pemerintah tampaknya terlalu fokus pada pencitraan dan target kuantitatif, seperti berapa juta kotak makan yang berhasil dibagikan, tanpa memperhatikan kualitas dan keamanan makanan tersebut. Padahal, dalam hal pangan, kualitas adalah segalanya. Satu kesalahan bisa berakibat fatal bagi kesehatan anak-anak.

Pemerintah seharusnya belajar dari negara-negara lain yang memiliki program serupa. Misalnya, Jepang memiliki program makan siang di sekolah yang sangat terkenal dengan standar higienitas yang tinggi, pelibatan petani lokal, hingga pendidikan gizi yang terintegrasi dalam kurikulum. Di Indonesia, MBG seharusnya juga dapat melibatkan para petani, peternak, dan pelaku UMKM lokal agar terjadi sinergi antara peningkatan gizi anak-anak dan penguatan ekonomi rakyat. Namun, ini hanya bisa tercapai jika semua pihak menjalankan tugasnya secara profesional dan diawasi secara ketat.

Edukasi kepada siswa, guru, dan orang tua juga menjadi aspek penting. Anak-anak perlu diberi pemahaman tentang pentingnya gizi, kebersihan makanan, dan bagaimana mengenali makanan yang aman dikonsumsi. Jangan sampai program ini hanya menjadi proyek besar tanpa dampak yang benar-benar dirasakan secara jangka panjang.

Kesimpulannya, MBG bukanlah program yang buruk. Sebaliknya, ini adalah salah satu terobosan paling penting dalam upaya memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia. Namun, pelaksanaannya masih jauh dari kata ideal. Kasus-kasus keracunan yang terjadi harus menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk segera melakukan evaluasi total. Bukan untuk menghentikan program, tetapi untuk memperbaikinya secara menyeluruh.

Apakah MBG adalah solusi atau bencana? Jawabannya tergantung pada bagaimana pemerintah merespons kritik, memperbaiki kelemahan, dan menjaga integritas pelaksanaannya. Kita semua tentu berharap MBG menjadi solusi berkelanjutan untuk generasi emas Indonesia, bukan malah menjadi bencana baru karena kelalaian dan ketidakprofesionalan

Syaif Bahrudin

Biodata Penulis:

Syaif Bahrudin lahir di Sragen. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Fakultas Peternakan, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.