Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Memperingati Hari Tari Dunia 2025, Kota Solo Kembali Hadir dengan Ribuan Daun yang Menari

Solo Menari merupakan magnet wisata di Solo, hal ini karena setiap tahunnya tampil dengan tema yang berbeda-beda. Masyarakat tidak memandang usia, ...

Memperingati Hari Tari Dunia 2025
Solo Menari 2025 dengan tema “Daun Menari” di Koridor Ngarsopuro, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Selasa (29 April 2025). (Foto diambil oleh: Ceacilia Cikal Ulung).

Dalam rangka memperingati Hari Tari Dunia, kota Solo kembali hadir dengan Festival Solo Menari 2025 yang mengusung tema “Daun Menari” dengan melibatkan ratusan penari. Festival Solo Menari tahun ini diselenggarakan pada 29 April 2025 yang menyatukan penari dari berbagai sanggar tari, komunitas, masyarakat umum tanpa memandang usia hingga dari berbagai daerah lain. Para penari turut memeriahkan dengan gerakan memukau tersebar di beberapa titik kota Solo mulai dari Taman Balekambang, Koridor Ngarsopuro, Balaikota Surakarta hingga ISI Surakarta.

Yang menjadi daya tarik masyarakat tertuju pada sepanjang Koridor Ngarsopuro dan di depan Pasar Triwindu. Masyarakat dari berbagai kalangan usia memiliki antusiasme yang tinggi untuk ikut memeriahkan Festival Solo Menari 2025. Sejak pagi, para penari sudah tersebar di beberapa titik Kota Solo dengan bergerak satu irama yang menenangkan seperti daun. Warna-warni kostum, alunan musik gamelan yang indah, dan senyum para penari yang menciptakan suasana yang indah. Selain pertunjukan tari massal, rangkaian acara Solo Menari 2025 juga mencakup Jelajah Daun di Taman Balekambang pada pagi hari, Sarasehan Film dan Tari di Pendhapi Balaikota Surakarta serta 24 Jam Menari di ISI Surakarta. Selain melalui pertunjukan tari massal, di Balaikota Surakarta juga terdapat pasar Festival dan hasil karya UMKM lokal untuk mengembangkan ekonomi kreatif.

Daun Sebagai Simbol Kehidupan Masyarakat

Daun merupakan simbol bahwa alam ikut bercerita melalui gerak yang pelan tapi pasti, disertai dengan alunan musik yang indah seolah menghidupkan suasana hijau seperti daun yang menari tertiup angin. Melalui tema “Daun Menari” memiliki makna yang mendalam bahwa seni bisa tumbuh dari hal paling sederhana dan terdapat di sekitar kita seperti sehelai daun di halaman rumah. Ribuan daun dengan berbagai bentuk dan jenis merupakan simbol ribuan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda namun semuanya dapat bergerak, gotong royong dan penting menciptakan hidup yang damai. 

Para penari menunjukkan bahwa keragaman bisa menjadi kekuatan ketika semuanya bergerak selaras. Tarian yang dilakukan adalah wujud ungkapan syukur kepada alam, khususnya daun yang menjadi simbol kehidupan dan kelestarian lingkungan. Beberapa pertunjukan mengangkat isu mengenai lingkungan, keberagaman budaya, dan pentingnya menjaga harmoni dengan alam. Festival Solo Menari ini juga bertujuan untuk mengembangkan kreativitas antar masyarakat untuk menciptakan seni melalui hal sederhana yang hampir setiap hari mereka temui yaitu daun.

Antusiasme Masyarakat untuk Menari Bersama

Yang menarik dari Festival Solo Menari setiap tahunnya ialah keterlibatan masyarakat dari berbagai kalangan seperti anak-anak, remaja hingga lansia. Festival ini merupakan pertunjukan yang paling ditunggu setiap tahunnya. Ternyata hingga tahun ini, masyarakat masih ikut memeriahkan pertunjukan ini. Mereka rela menunggu hingga menghabiskan waktu hingga berjam-jam untuk menonton pertunjukan ini. Antusiasme tersebut yang harus terus dipertahankan untuk mempertahankan budaya sebagai warisan untuk generasi mendatang. Mereka mengikuti rangkaian acara mulai dari latihan hingga pada saat hari terselenggara acara tersebut untuk menciptakan gerakan yang kompak. Dengan begitu, tari tidak hanya menjadi tontonan dan hiburan saja namun bisa menjadi bagian dari proses belajar dan membentuk karakter generasi muda. Melalui partisipasinya, mereka dapat belajar mengenai kebersamaan, rasa bangga, dan menghargai budaya sendiri. 

Solo Menari merupakan magnet wisata di Solo, hal ini karena setiap tahunnya tampil dengan tema yang berbeda-beda. Masyarakat tidak memandang usia, yang ingin mereka tunjukkan ialah kebersamaan yang ada dan kegembiraan. Para penari secara bersamaan berjalan dan melakukan gerakan tari sederhana untuk menuju titik tengah yaitu di depan Pasar Triwindu. Selama kurang lebih 10 hingga 15 menit, ratusan penari menggerakan kaki, tangan, tubuhnya dengan gemulai disertai iringan musik gamelan, kostum yang bervariasi dan mewarnai sepanjang jalan di depan Pasar Triwindu, dan tak lupa dedaunan dengan berbagai jenis dan bentuk yang mereka bawa sebagai properti. Acara tersebut semakin meriah karena sudah menjadi tradisi ketika di akhir sesi peserta Solo Menari mengajak seluruh masyarakat yang menonton untuk menari bersama. Di sesi akhir dari tari massal terdengar suara riuh tepuk tangan yang merupakan bentuk apresiasi untuk para penari, senyum bahagia dan mengambil dokumentasi. 

Dengan antusiasme masyarakat yang sangat luar biasa dan juga semangat penari yang sangat tinggi, festival ini menjadi bukti bahwa budaya merupakan jembatan penghubung antara perdamaian dan kebersamaan. Sesuai dengan filosofi daun dan tema yang diangkat mengajak kita untuk semakin awas terhadap lingkungan. Tema tersebut dapat menjadi pesan bagi masyarakat tentang upaya untuk pelestarian alam dan membuat dunia menjadi lebih indah. Menonton Festival Solo Menari 2025 membuat saya sadar akan makna daun dan pentingnya menjaga alam. 

Puncak Acara Solo Menari 2025

Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta kembali menggelar pertunjukan yang sangat megah selama 24 jam penuh. Pada tahun ini, ISI Surakarta mengangkat tema “Land of Thousands Kingdoms” yang menggambarkan kekayaan akan budaya Indonesia yang lahir dari beragam Kerajaan dan Keraton di seluruh Indonesia. Acara ini digelar pada tanggal 29 April 2025 hingga 30 April 2025 selama 24 jam penuh dimulai pada pukul 06.00 Waktu Indonesia Barat (WIB) dan panggung di Kampus ISI Surakarta selalu ramai dengan antusiasme masyarakat.

Ratusan penari dari berbagai daerah berkumpul untuk menampilkan ragam tarian tradisional yang menggambarkan kekayaan budaya Indonesia. Tarian-tarian seperti Bedhaya, Srimpi, Gending Sriwijaya, hingga tari daerah merupakan pesan mengenai kehidupan, keberagaman, dan kelestarian. Mereka menari secara 24 jam penuh dengan energi yang tidak pernah surut, hingga saat mereka beraktivitas seperti makan dan minum tetap bergerak layaknya menari. Para penari silih berganti, musik bergema, dan penonton yang penuh semangat dan mengapresiasi pertunjukan seni tari. Kehadiran perwakilan 4 Keraton yaitu Keraton Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman dengan menyajikan tari tradisional yang megah dan sakral. 

Acara ini ditutup pada 30 April 2025 dengan penampilan kolaborasi dari berbagai kelompok penari. Suara riuh tepuk tangan, senyum, dan peluk hangat menjadi tanda bahwa mereka dapat menyelesaikan serangkaian acara dengan penuh semangat dan hasil yang memuaskan. Melalui Solo Menari 2025, seni dan tari bukan hanya sebagai hiburan saja namun seni dan tari merupakan warisan budaya yang selalu hidup dalam jiwa generasi muda.

Ceacilia Cikal Ulung

Biodata Penulis:

Ceacilia Cikal Ulung, lahir pada tanggal 10 April 2006 di Surakarta, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Sebelas Maret. Ia bergiat di Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK), Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sebelas Maret sebagai staf divisi Bendahara. Penulis bisa disapa di Instagram @cceacilia

© Sepenuhnya. All rights reserved.