Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) merupakan masalah sosial yang mendalam dan terus berkembang di Indonesia. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah dan meminimalisir kejadiannya, statistik menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan setiap tahunnya. Pada tahun 2019 saja, Komnas Perempuan mencatat kenaikan 14% kasus KtP, mencapai angka 406.178 kasus, sebuah indikasi nyata bahwa pendekatan yang ada mungkin belum cukup komprehensif atau belum menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya.
KtP didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang dikenakan pada seseorang semata-mata karena dia perempuan, yang berakibat atau dapat menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, atau seksual. Ini mencakup ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di muka umum maupun dalam kehidupan pribadi. Dampak dari kekerasan ini sangat luas, mulai dari penurunan kepercayaan diri, hambatan dalam kegiatan sosial, gangguan kesehatan fisik dan mental, hingga terhambatnya peran perempuan dalam lingkup sosial, ekonomi, budaya, dan fisik.
Tabel 1: Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Contohnya
Akar Budaya: Ketidakadilan Gender sebagai Pemicu Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan bukanlah fenomena yang berdiri sendiri; ia sering kali berakar kuat pada ketimpangan atau ketidakadilan gender yang ada di masyarakat. Gender, dalam konteks ini, bukanlah jenis kelamin biologis, melainkan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang dibuat oleh masyarakat melalui adat, tradisi, kebiasaan, pola asuh, dan pendidikan. Ketimpangan ini secara sistematis menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki, bahkan sering kali menjadikan perempuan sebagai “kepunyaan” laki-laki yang berhak diperlakukan semena-mena.
Ketidakadilan gender termanifestasi dalam beberapa bentuk, yaitu:
- Subordinasi: Kondisi ini menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Contohnya, meskipun perempuan secara kuantitas melebihi 50% dari penduduk Indonesia, dalam kenyataannya, posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan sering kali didominasi oleh kaum laki-laki.
- Marginalisasi: Proses peminggiran perempuan dari akses sumber daya atau pemiskinan yang dialami akibat perubahan gender di masyarakat. Misalnya, perempuan sering kali dianggap sebagai “makhluk domestik” yang hanya diarahkan untuk menjadi pengurus rumah tangga, membatasi partisipasi mereka di ranah publik dan ekonomi.
- Stereotip: Pemberian “label” yang memojokkan kaum perempuan, yang berakibat pada posisi dan kondisi perempuan. Contoh paling umum adalah pelabelan kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga semata, yang membatasi potensi dan peran mereka di luar rumah.
Akar budaya ini memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana kekerasan ditangani dan diungkap. Kekerasan terhadap perempuan sering kali sulit diungkap karena dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak perlu diungkapkan atau tidak ada penyelesaiannya. Lebih parah lagi, perempuan sebagai korban sering kali disalahkan atas apa yang menimpa mereka. Fenomena ini terlihat jelas dalam kasus pelecehan seksual di ruang publik, di mana perhatian sering kali beralih kepada pakaian korban, dengan asumsi bahwa pakaian “seksi dan terbuka” menarik perhatian pelaku. Padahal, survei menunjukkan bahwa mayoritas korban pelecehan seksual mengenakan pakaian yang sopan dan tidak terbuka. Pergeseran fokus ini dari pelaku ke korban adalah manifestasi nyata dari stereotip dan budaya menyalahkan korban yang menghambat keadilan dan pemulihan.
Normalisasi budaya terhadap ketidakadilan gender secara langsung memicu prevalensi dan kurangnya pelaporan kekerasan terhadap perempuan. Kepercayaan budaya yang mengakar bahwa perempuan memiliki status lebih rendah atau bahkan dianggap “milik” laki-laki menciptakan lingkungan sosial di mana menyalahkan korban menjadi hal yang dapat diterima. Jika penderitaan perempuan dinormalisasi atau dianggap sebagai konsekuensi dari “kesalahan” mereka, maka masyarakat cenderung mengabaikannya. Normalisasi ketidakadilan gender ini menyebabkan kurangnya pelaporan dan budaya menyalahkan korban. Ini menciptakan penghalang budaya yang menghalangi korban untuk mencari bantuan dan mencegah masyarakat untuk mengakui skala sebenarnya dari masalah tersebut, meskipun ada kerangka hukum yang berlaku. Perlindungan hukum yang ada menjadi kurang efektif karena hambatan budaya ini. Oleh karena itu, untuk menangani kekerasan terhadap perempuan secara efektif, tidak cukup hanya dengan penegakan hukum. Diperlukan perubahan mendasar dalam sikap budaya terhadap peran gender dan otonomi perempuan. Intervensi konseling, oleh karena itu, harus sensitif secara budaya dan bertujuan untuk menantang bias-bias yang mengakar ini, bukan hanya mengobati trauma individu.
Melihat Isu dari Lensa Konseling Multibudaya
Untuk mengatasi isu kekerasan terhadap perempuan yang berakar pada budaya, pendekatan konseling multibudaya menawarkan kerangka kerja yang komprehensif. Pendekatan ini mengakui bahwa pengalaman individu sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, sosial, dan politik mereka.
Pentingnya Kesadaran Budaya (Cultural Awareness) bagi Konselor
Kesadaran budaya adalah fondasi utama dalam konseling multibudaya. Ini adalah kemampuan konselor untuk memahami dan mengelola nilai-nilai, keyakinan, dan bias pribadi mereka sendiri, serta bagaimana hal-hal tersebut dapat memengaruhi interaksi dengan klien dari berbagai latar belakang budaya. Tanpa kesadaran diri yang memadai, konselor berisiko menerapkan asumsi-asumsi yang tidak sesuai atau bahkan merugikan klien, terutama dalam kasus kekerasan yang sarat dengan stigma dan victim-blaming. Proses ini dimulai dari kesadaran konselor akan dirinya, termasuk prasangka yang mungkin dimiliki, diikuti dengan kesadaran akan budaya sendiri, kepekaan terhadap isu ras, seksisme, dan kemiskinan, serta kesadaran akan perbedaan individual dan budaya lain. Tujuan akhirnya adalah agar konseling lebih sesuai dan penyelesaian masalah lebih efektif.
Hubungan ‘tiga arah’ (konselor, klien, dan budaya) dalam konseling multibudaya sangat relevan untuk kekerasan terhadap perempuan, karena konteks budaya seringkali menentukan pengalaman korban dan kemauan mereka untuk mencari bantuan. Konteks budaya bukanlah latar belakang pasif, melainkan kekuatan aktif dalam isu kekerasan terhadap perempuan. Norma-norma sosial seputar ketidakadilan gender menciptakan budaya diam dan rasa malu bagi para korban. Konteks budaya ini secara langsung memengaruhi persepsi korban terhadap situasi mereka (misalnya, menginternalisasi rasa bersalah), kemauan mereka untuk mengungkapkan apa yang terjadi, dan akses mereka terhadap dukungan. Jika konselor mengabaikan atau salah memahami dimensi budaya ini, mereka berisiko mengasingkan klien atau memberikan saran yang tidak relevan, sehingga menghambat efektivitas konseling. Oleh karena itu, konselor harus secara aktif menggali pandangan dunia budaya klien, memvalidasi pengalaman mereka dalam konteks tersebut, dan membantu mereka menavigasi tekanan budaya sambil memprioritaskan keamanan dan kesejahteraan mereka. Ini mungkin melibatkan penantangan norma budaya yang merugikan sambil tetap menghormati identitas budaya klien dan memanfaatkan sumber daya budaya yang positif.
Integrasi Budaya dalam Penanganan (Cultural Integration)
Pendekatan ini tidak melihat budaya semata sebagai sumber masalah, melainkan sebagai kekuatan dan “investasi awal” untuk pemecahan masalah. Integrasi budaya dalam konseling dapat dilakukan dengan memanfaatkan nilai-nilai tradisional yang positif, menggunakan bahasa lokal untuk mempererat komunikasi, dan melibatkan klien dalam kegiatan seni budaya yang dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan identitas. Misalnya, adat istiadat yang mengandung nilai psikologis tentang perilaku baik atau kesenian daerah yang menumbuhkan rasa cinta dan karakter positif dapat dijadikan media dalam proses konseling. Dengan demikian, solusi yang ditawarkan menjadi lebih relevan dan dapat diterima oleh klien dalam konteks budaya mereka.
Perbedaan antara budaya individualistik (Barat) dan kolektivistik (Timur) memiliki implikasi mendalam bagi konseling penyintas kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, yang mengharuskan pergeseran dari intervensi yang semata-mata berfokus pada individu ke pendekatan yang lebih relasional dan berbasis komunitas. Indonesia, sebagai masyarakat Timur, cenderung menganut budaya kolektivistik. Dalam konteks ini, identitas dan kesejahteraan seorang penyintas seringkali sangat terkait erat dengan keluarga dan komunitasnya. Kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT, seringkali membawa rasa malu kolektif dan memengaruhi dinamika keluarga secara keseluruhan. Menerapkan model konseling yang murni individualistik (misalnya, hanya berfokus pada otonomi individu) mungkin kurang efektif atau bahkan kontraproduktif jika tidak mempertimbangkan ikatan kolektif ini. Hal ini dapat menimbulkan tekanan lebih lanjut jika solusi yang ditawarkan bertentangan dengan nilai-nilai kolektif atau kewajiban keluarga yang dipegang teguh. Oleh karena itu, konseling yang efektif harus mempertimbangkan konteks relasional yang lebih luas. Model konseling untuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia harus disesuaikan dengan kerangka kerja kolektivistik, menekankan penyembuhan relasional, keterlibatan komunitas, dan penanganan dampak kolektif dari kekerasan. Ini mungkin melibatkan mediasi keluarga (jika aman dan sesuai) atau dukungan kelompok/komunitas untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi penyintas.
Solusi Realistis dari Perspektif Konseling Multibudaya
Penanganan kekerasan terhadap perempuan memerlukan pendekatan multi-dimensi yang tidak hanya berfokus pada individu, tetapi juga pada perubahan sistemik dan budaya. Dari perspektif konseling multibudaya, solusi yang realistis dan praktis dapat diwujudkan melalui langkah-langkah berikut:
Edukasi dan Peningkatan Kesadaran Publik yang Sensitif Budaya
Penting untuk mengembangkan program edukasi yang dirancang khusus untuk mengubah persepsi masyarakat tentang gender dan kekerasan. Program ini harus menggunakan bahasa dan media yang relevan secara budaya, serta secara aktif menantang stereotip dan budaya menyalahkan korban yang telah mengakar. Edukasi harus menekankan bahwa kekerasan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan bukan masalah pribadi yang harus disembunyikan atau diselesaikan secara internal. Lebih lanjut, upaya edukasi ini dapat memanfaatkan Pancasila dan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai landasan nilai untuk mempromosikan kesetaraan gender dan toleransi, menunjukkan bahwa upaya ini sejalan dengan identitas nasional dan bukan merupakan adopsi nilai asing.
Penguatan Dukungan Komunitas Berbasis Budaya
Mengingat sifat kolektivistik masyarakat Indonesia, melibatkan tokoh adat, pemimpin agama, dan komunitas lokal dalam upaya pencegahan dan pendampingan korban sangat krusial. Mereka memiliki pengaruh dan kepercayaan yang kuat di masyarakat, sehingga dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam menantang norma-norma patriarki dan mendukung penyintas. Membangun jaringan dukungan yang memanfaatkan nilai-nilai kebersamaan masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang inklusif dan mengurangi isolasi korban. Program seperti bimbingan kelompok atau kunjungan rumah (home visit) dapat menjadi sarana efektif untuk menciptakan suasana yang lebih inklusif dan memberikan dukungan emosional yang signifikan.
Pengembangan Layanan Konseling yang Adaptif dan Sensitif Budaya
- Pelatihan Kompetensi Budaya bagi Konselor: Konselor harus mendapatkan pelatihan berkelanjutan yang komprehensif untuk meningkatkan kesadaran diri, mengatasi prasangka budaya mereka sendiri, dan mengembangkan keterampilan responsif budaya.
- Penerapan Teori Konseling Berpusat Budaya: Menggunakan pendekatan seperti Psikologi Pembebasan (Liberation Psychology) atau Terapi Naratif (Narrative Therapy) dapat membantu klien memahami pengalaman mereka dalam konteks sistemik dan merekonstruksi narasi diri yang lebih memberdayakan. Pendekatan ini membantu klien melihat bahwa masalah mereka bukan kegagalan pribadi, melainkan respons terhadap konteks opresif.
- Fleksibilitas Pendekatan: Konselor perlu fleksibel dalam mengintegrasikan nilai-nilai kolektivistik, praktik spiritual, atau metode penyembuhan tradisional yang relevan dengan budaya klien, di samping teknik konseling konvensional. Ini menghargai pandangan dunia klien dan membuat proses konseling lebih bermakna.
- Membangun Kepercayaan: Konselor harus menciptakan lingkungan di mana klien merasa dihargai dan aman untuk membuka diri. Ini sangat penting mengingat sulitnya korban kekerasan untuk berbicara karena rasa malu, takut, atau disalahkan.
Kolaborasi Lintas Sektor dan Advokasi Kebijakan
Konselor memiliki peran penting dalam advokasi kebijakan yang lebih responsif terhadap isu gender dan kekerasan. Mereka harus bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan non-pemerintah, serta mendorong integrasi nilai-nilai budaya positif ke dalam kurikulum pendidikan dan program-program pemerintah. Ini membantu menciptakan perubahan sistemik yang mendukung pencegahan kekerasan dan perlindungan korban. Memastikan bahwa perlindungan hukum yang ada (seperti UUD 1945, KUHP, UU PKDRT) dapat diimplementasikan secara efektif dan diakses oleh korban, dengan mengatasi hambatan budaya, adalah langkah krusial.
Kekerasan terhadap perempuan adalah isu budaya yang kompleks, berakar pada ketidakadilan gender yang mendalam dalam masyarakat. Penanganan masalah ini memerlukan pendekatan holistik yang melampaui intervensi individual, melibatkan perubahan pada tingkat keluarga, komunitas, dan bahkan kebijakan negara. Konseling multibudaya menawarkan kerangka kerja yang krusial dalam upaya ini, menyediakan dukungan yang relevan secara budaya dan memberdayakan bagi para korban. Dengan mengedepankan kesadaran budaya, mengintegrasikan nilai-nilai positif dari kearifan lokal, dan menerapkan pendekatan konseling yang berpusat pada keberagaman, kita dapat membantu penyintas pulih dan memberdayakan mereka untuk menavigasi tantangan budaya.
Referensi:
- Alhakim, A. (2021). KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN: SUATU KAJIAN PERLINDUNGAN BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA. Jurnal Pendidikan Undiksha, 115-121.
- Asri, R., Firman, Syukur, Y., & Amora, R. (2024). Developing Self-Awareness and Cultural Understanding in Cross-Cultural Counseling. Jurnal Demokrasi, Pemerintahan dan Pemberdayaan Masyarakat, 124-134.
- Basit, A., Kenedi, G., Afnibar, & Ulfatmi. (2023). KONSELING LINTAS BUDAYA. Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran, 4099-4105.
- Haikal, M. F., & Abdurrahman. (2023). Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya Dalam Menjembatani Perbedaan Masyarakat Multikultural. Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 151-155.
- Oktavialista, I., Isti’adah, F. N., Zhafirah, Z. M., Aulia, R., Tripasca, R. A., Azzahra, N. F., . . . Agustin, T. (2025). Pendekatan Sosial Budaya dalam Membentuk Konseling yang Inklusif dan Efektif di SMAN 7 Tasikmalaya. Jurnal Riset Sosial Humaniora dan Pendidikan, 269.
- https://www.counseling.org/publications/counseling-today-magazine/article-archive/article/legacy/culture-centered-counseling
Biodata Penulis:
Anastasya Restuningsih saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret Surakarta.