Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Menolak Razia Rambut di Sekolah: Menghormati Identitas dan Kebebasan Siswa

Penolakan terhadap razia rambut mencerminkan pergeseran nilai di masyarakat yang semakin menghargai ekspresi diri dan otonomi individu.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang mendukung perkembangan individu, baik dari segi akademik maupun kepribadian. Namun, banyak sekolah di Indonesia masih sering melakukan praktik razia rambut dengan dalih menjaga kerapian dan disiplin seperti memaksa siswa untuk memotong rambut sesuai standar tertentu seperti potongan 121. Banyak siswa, orang tua, dan aktivis pendidikan menolak praktik ini karena dianggap melanggar kebebasan pribadi dan tidak relevan dengan tujuan pendidikan maupun dengan perkembangan zaman.

Menolak Razia Rambut di Sekolah

Penolakan terhadap razia rambut mencerminkan pergeseran nilai di masyarakat yang semakin menghargai ekspresi diri dan otonomi individu. Penolakan terhadap praktik ini memiliki dasar yang kuat, baik dari sisi hak asasi manusia, dampak psikologis, maupun relevansinya dalam dunia pendidikan modern, siswa seharusnya diberikan ruang untuk tumbuh dan berkembang secara menyeluruh, baik dari segi akademik maupun kepribadian, tanpa harus dibatasi oleh aturan yang mengabaikan hak individu.

Alasan Mengapa Razia Rambut Harus Dihapus?

Pertama, razia rambut dapat dianggap melanggar hak individu atas ekspresi diri. Rambut adalah bagian dari identitas seseorang, dan memaksakan standar tertentu—seperti panjang atau model rambut tanpa mempertimbangkan preferensi pribadi bisa dianggap sebagai bentuk pembatasan kebebasan. Dalam konteks pendidikan, yang seharusnya mengedepankan pengembangan karakter dan kreativitas, razia rambut justru terasa kaku dan mengekang. Siswa, terutama remaja, sedang dalam fase mencari jati diri, dan kebijakan semacam ini bisa menghambat proses tersebut.

Kedua, dampak psikologis dari razia rambut tidak bisa diabaikan. Siswa yang menjadi sasaran razia sering kali merasa dipermalukan, terutama jika dilakukan di depan teman-temannya. Tindakan seperti memotong rambut secara paksa atau memberikan sanksi karena gaya rambut tertentu dapat menimbulkan trauma, menurunkan rasa percaya diri, dan bahkan memicu perasaan tidak diterima di lingkungan sekolah. Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman dan mendukung, bukan tempat yang membuat siswa merasa dihakimi karena penampilan fisik.

Penolakan terhadap razia rambut bukanlah tentang menentang disiplin, melainkan tentang mendorong pendidikan yang lebih humanis dan relevan. Sekolah harus menjadi tempat yang menghargai keberagaman dan mengutamakan esensi pendidikan: membentuk individu yang kritis, kreatif, dan percaya diri. Dengan menghapus razia rambut, sekolah dapat mengambil langkah kecil namun signifikan menuju lingkungan yang lebih inklusif, progresif dan mendukung perkembangan siswa secara holistik.

Biodata Penulis:

Wahyu Julian Suhendra saat ini aktif sebagai Mahasiswa Peternakan di UNS. Penulis bisa disapa di Instagram @wahyushndra_

© Sepenuhnya. All rights reserved.