Di tengah era modern yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat, hubungan antara sains dan agama sering kali digambarkan sebagai dua kutub yang bertolak belakang. Sains dianggap sebagai hal yang rasional dan empiris, sementara agama dilihat sebagai hal yang menyangkut keyakinan dan wahyu. Namun, benarkah keduanya tak bisa berdampingan? Banyak pemikir dan ilmuwan besar justru melihat bahwa sains dan agama bukan musuh, melainkan dua jalan berbeda yang menuju satu tujuan yaitu memahami kebenaran. Sains dan agama adalah dua lensa untuk melihat realitas. Sains berperan dalam menjawab pertanyaan “bagaimana” dunia bekerja dengan melalui observasi, eksperimen, dan teori. Sains membantu manusia memahami hukum-hukum alam, struktur materi, evolusi kehidupan dan berbagai fenomena fisik lainnya. Di sisi lain, agama berusaha menjawab pertanyaan “mengapa” tentang makna hidup, tujuan keberadaan, dan nilai moral yang membimbing tindakan manusia. Keduanya memiliki wilayah otoritas yang berbeda namun saling melengkapi. Ilmu fisika mungkin bisa menjelaskan bagaimana alam semesta berkembang melalui teori Big Bang, tapi sains sama sekali tidak menjawab mengapa alam semesta itu ada. Di titik inilah agama mengambil peran memberikan narasi penciptaan, keteraturan, dan tujuan tuhan dalam segala penciptaannya.
Dalam sejarah tercatat banyak tokoh ilmuwan besar yang justru memiliki jiwa spiritual yang kuat. Isaac Newton penemu hukum gravitasi adalah seorang yang sangat religius. Ia melihat alam semesta sebagai ciptaan Tuhan yang teratur dan sains adalah alat untuk “membaca pikiran Tuhan” tentang bagaimana alamsemesta diciptakan dengan segala struktur yang ada. Begitu pula Albert Einstein, meski bukan penganut agama secara ortodoks/tradisional ia terkenal dengan kutipan “Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta.” Ia memandang keajaiban alam semesta sebagai bukti langsung bentuk ciptaan tuhan yang luar biasa. Bahkan dalam sejarah peradaban islam pada abad ke-8 hingga ke-13, yaitu masa keemasan peradaban Islam, para ilmuwan seperti Al-Khwarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Biruni tidak memisahkan antara sains dan agama. Justru yang membuat islam mengalami kejayaan pada masa itu adalah cara pandang tokoh-tokoh tersebut yang tidak dikotomi mengenai sains dan agama. Mereka berpandangan bahwa sains adalah sarana untuk memahami alam semesta yang merupakan tanda kebesaran Allah.
Sering kali konflik antara sains dan agama terjadi akibat hasil dari interpretasi ekstrem (penafsiran yang berlebihan) dan kesalahpahaman mengenai makna yang terkandung pada sains dan agama. Hal ini berawal ketika sains disalahartikan sebagai pengganti agama atau ketika agama menolak semua temuan ilmiah karena dianggap mengganggu prinsip dari agama itu sendiri/keyakinan sehingga ketegangan muncul. Padahal, banyak tokoh agama dan ilmuwan kontemporer menegaskan bahwa tidak ada pertentangan mendasar antara kebenaran ilmiah dan kebenaran spiritual, karena kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran.
Sebagai contoh dalam isu evolusi, beberapa kalangan agama menolak teori Darwin karena dianggap bertentangan dengan penciptaan manusia. Namun, banyak teolog modern menganggap bahwa evolusi bisa dilihat sebagai cara Tuhan menciptakan sesuatu dengan sistematis dan tersetruktur. Untuk membangun jembatan antara sains dan agama, perlu pendekatan yang terbuka dan menyeluruh dalam pendidikan serta ruang-ruang dialog yang sehat. Anak-anak di sekolah juga perlu diperkenalkan bahwa belajar sains bukan berarti meninggalkan iman. Demikian pula, pengajaran agama harus membuka ruang terhadap penemuan ilmiah sebagai bagian dari keagungan ciptaan Tuhan. Lembaga pendidikan, tokoh agama, dan komunitas ilmiah perlu bekerja sama membangun narasi bahwa sains dan agama adalah pondasi dalam membangun peradaban manusia yang lebih bijaksana dan beradab.
Sains dan agama dapat diibaratkan sebagai dua sayap burung. Manusia hanya bisa terbang tinggi menuju pemahaman sejati bila menggunakan keduanya secara seimbang. Dengan sains kita memahami dunia, dengan agama kita memberi makna pada pemahaman tersebut. Dalam harmonisasi antara keduanya, kita akan menemukan jalan menuju kehidupan yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga dalam kasih, kebijaksanaan, dan kebajikan moral.
Penulis: Fatma Inayah