Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Saat Bakat Tidak Cukup untuk Menembus Sepak Bola Eropa

Mimpi melihat pemain Indonesia bersinar di Eropa bukan hal mustahil, tapi tidak bisa dicapai lewat jalur instan. Butuh perubahan besar-besaran pada ..

Eropa sudah sejak lama menjadi kiblat sepak bola dunia. Di benua itulah lahir klub-klub legendaris, kompetisi bergengsi dan ketat, serta pemain-pemain bintang yang menjadi idola di seluruh dunia. Di benua itu juga para pemain kelas wahid berkumpul dan berkompetisi. Tak heran jika banyak pemain muda di seantero bumi bermimpi untuk merasakan ketatnya persaingan sepak bola Eropa. Indonesia pun tak ketinggalan. Banyak pemain-pemain muda dari Sabang sampai Merauke yang punya mimpi besar untuk berkarier di Eropa. Dari masa ke masa, sejumlah nama pemain muda potensial muncul ke permukaan sebagai harapan baru dan digadang-gadang mampu menembus kerasnya persaingan sepak bola Eropa. Namun hingga sekarang, belum ada pemain didikan dalam negeri yang benar-benar dikatakan mampu menembus level tertinggi sepak bola Eropa.

Indonesia tidak kekurangan bakat. Hampir setiap tahun, dari turnamen usia muda seperti Piala Soeratin, muncul pemain-pemain dengan kemampuan teknik yang menjanjikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak sekali pemain muda dengan talenta yang muncul secara alami. Namun sayangnya, talenta tersebut sering tidak diasah dengan metode yang tepat sejak dini. Nama-nama seperti Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman yang muncul dari pembinaan dalam negeri sempat mencicipi sepak bola Eropa bersama Lechia Gdańsk di Polandia dan beberapa klub lain di kawasan Eropa Timur. Namun minimnya menit bermain dan sulitnya adaptasi membuat mereka kesulitan berkembang. Mereka kemudian memilih pulang dan bermain di Liga Indonesia.

Bagus Kahfi

Bagus Kahfi, yang sempat menjadi kebanggaan karena berhasil menandatangani kontrak dengan FC Utrecht, klub Eredivisie Belanda, juga gagal bersaing menembus tim utama. Ia lebih banyak bermain di tim cadangan dan akhirnya mencoba peruntungannya di Liga Yunani bersama Asteras Tripolis FC sebelum memutuskan kembali ke Indonesia setelah dua musim penuh perjuangan di Eropa. Jauh sebelum mereka, ada Alfin Tuasalamony yang bermain di Belgia bersama CS Visé. Alfin tampil sangat baik bersama klub Belgia tersebut. Bahkan kabarnya Alfin sempat dilirik oleh pemandu bakat klub besar seperti Benfica karena dianggap memiliki potensi yang menjanjikan. Namun perjalanan kariernya di Eropa terhenti akibat homesick dan minimnya dukungan terhadap dirinya saat sedang berjuang di luar negeri. 

Kini harapan tertuju pada Marselino Ferdinan, pemain muda potensial yang sedang berusaha menembus tim utama Oxford United di Divisi Championship Inggris. Tantangan yang dihadapinya tidak jauh berbeda dengan nama-nama sebelumnya, yaitu adaptasi budaya, persaingan, fisik, dan kesiapan mental. Meskipun belum berhasil menembus tim utama, keberaniannya untuk merantau ke Eropa di usia yang sangat muda patut diapresiasi.

Kegagalan pemain Indonesia di Eropa bukan sepenuhnya kesalahan individu pemain. Masalah utamanya terletak pada sistem pembinaan dalam negeri yang buruk. Di Eropa sistem pembinaan sejak usia dini sudah sangat baik dan terstruktur, mulai dari kurikulum sepak bola yang jelas, pelatih akademi berlisensi UEFA, fasilitas yang mendukung, hingga sistem kompetisi berjenjang yang diselenggarakan sepanjang tahun. Sedangkan di Indonesia belum ada sistem pembinaan usia dini yang jelas dan terstruktur. Turnamen usia muda pun lebih bersifat turnamen jangka pendek, bukan liga berkelanjutan. Akibatnya, banyak pemain muda berbakat Indonesia kehilangan momentum emas dalam usia pembentukan pemain antara usia 12–18 tahun yang merupakan fase krusial dalam karier seorang pesepakbola. 

Hal lain yang tak kalah penting adalah jam terbang di level senior. Banyak pemain muda Indonesia yang memutuskan untuk merantau ke Eropa di saat mereka belum memiliki jam terbang yang cukup di level senior. Saat di Indonesia mereka hanya berkutat di liga kelompok umur, tim nasional kelompok umur, atau sesekali bersama tim senior klubnya masing-masing. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya mereka belum punya pengalaman yang cukup untuk bersaing di level senior. Saat mereka memutuskan untuk merantau ke Eropa, mereka belum siap untuk bersaing dengan pemain-pemain senior yang sudah berpengalaman dan bermain di level sepak bola yang tinggi.

Bermain di luar negeri bukan sekadar soal teknik. Pemain harus siap menghadapi perbedaan iklim, bahasa, makanan, budaya, hingga tekanan hidup sendiri di usia muda. Banyak pemain Indonesia yang belum mendapat pendampingan mental dan manajemen karier yang baik untuk menghadapi semua itu. Akibatnya ketika kesulitan beradaptasi banyak dari mereka yang akhirnya menyerah dan memilih pulang ke Indonesia. Penyelesaian masalah tersebut menjadi tanggung jawab federasi. Federasi harus membuat sistem kurikulum pembinaan yang tidak hanya menekankan pada aspek teknik, melainkan juga pada aspek mental dan gaya hidup profesional supaya para pemain muda nantinya memiliki kemampuan adaptasi yang baik di lingkungan yang berbeda untuk mendukung perkembangan karier mereka. 

Aspek lain yang sering luput dari perhatian adalah peringkat FIFA Indonesia yang rendah. Peringkat FIFA yang rendah memiliki pengaruh terhadap peluang pemain Indonesia dapat berkarier di Eropa. Di negara seperti Inggris, aturan izin kerja bergantung pada peringkat FIFA, sehingga makin rendah peringkat FIFA sebuah negara, makin sulit pula pemain dari negara tersebut mendapat izin tampil. Selain itu, negara dengan peringkat rendah jarang dipantau pencari bakat karena minim tampil di ajang besar seperti Piala Asia atau Piala Dunia junior. Peringkat ini juga mencerminkan kualitas kompetisi domestik dan sistem sepak bola nasional yang belum profesional, sehingga membuat sepak bola Indonesia dipandang sebelah mata dan menimbulkan keraguan dari klub-klub Eropa.

Mimpi melihat pemain Indonesia bersinar di Eropa bukan hal mustahil, tapi tidak bisa dicapai lewat jalur instan. Butuh perubahan besar-besaran pada hal-hal yang mendasar, mulai dari pembinaan usia dini, peningkatan kualitas pelatih, standardisasi akademi yang jelas, hingga pembentukan kompetisi berjenjang yang kompetitif dan berkelanjutan. Selain itu, perlu juga penguatan sistem pendampingan mental dan pembekalan gaya hidup profesional sejak dini sebagaimana dilakukan oleh akademi top di Eropa. Jika tidak dilakukan perubahan secara menyeluruh pada hal-hal yang mendasar, mimpi pemain Indonesia bersinar di Eropa akan terus menjadi harapan, bukan kenyataan.

Akmal Wisista Adhirajasa Nur

Biodata Penulis:

Akmal Wisista Adhirajasa Nur, lahir pada tanggal 12 Desember 2005 di Yogyakarta, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ia memiliki minat besar terhadap dunia olahraga, terutama sepak bola. Ketertarikannya terhadap isu-isu seputar pembinaan dan perkembangan sepak bola Indonesia mendorongnya untuk mulai menulis dan menyampaikan pandangan melalui tulisan-tulisan reflektif dan analitis. Penulis bisa disapa di Instagram @akmal.wisista_

© Sepenuhnya. All rights reserved.