Ironi dari Budaya yang Sepatutnya Dilestarikan, tetapi Kini Identik dengan Konflik Horizontal
Silat adalah warisan budaya Indonesia yang telah diakui dunia, bahkan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO pada tahun 2019. Sebagai seni bela diri yang menyatukan unsur fisik, mental, dan spiritual, silat sejak dahulu menjadi bagian penting dari jati diri masyarakat Nusantara. Silat tidak hanya diajarkan sebagai Teknik bela diri, tetapi juga sebagai jalan pembentukan kedisiplinan, karakter, dan spiritualitas.
Namun, akhir-akhir ini silat juga kerap muncul dalam berita-berita terkait kasus bentrokan antar perguruan, tawuran, hingga kekerasan massal di berbagai wilayah Indonesia khususnya Jawa Timur. Konflik horizontal yang melibatkan para pesilat seakan mengaburkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran silat itu sendiri. Bagaimana bisa warisan budaya yang luhur justru menjadi sumber konflik? Di sini penulis akan mencoba mengulas fenomena ini dari beberapa sudut pandang, termasuk faktor sosial, identitas kelompok, serta tantangan dalam pelestarian budaya.
Asal Mula Konflik Antar Perguruan
Perguruan silat di Indonesia sangat beragam, dengan membawa ciri khas dan filosofi yang berbeda-beda. Beberapa perguruan berkembang secara lokal di bumi kandungnya, sementara yang lain telah menjadi organisasi besar berskala nasional. Idealnya perguruan silat yang beragam tersebut seharusnya memperkaya budaya bangsa. Namun nyatanya, perbedaan identitas antar perguruan sering kali memicu persaingan tidak sehat yang mengacu pada kekerasan.
Konflik antar perguruan silat umumnya dipicu oleh hal-hal sepele seperti saling ejek atau perebutan tempat latihan. Di balik itu semua, terdapat sentimen primordial yang kuat yaitu kebanggaan terhadap ajaran masing-masing perguruan. Ketika kebanggaan ini terlampau besar tanpa adanya dasar kemampuan serta pemahaman tentang pengendalian diri maka loyalitas bisa berubah menjadi permusuhan. Sering kali kekerasan meletus hanya karena merasa "dilecehkan" oleh kelompok lain.
Dalam banyak kasus, kekerasan ini melibatkan massa dalam jumlah besar dan berlangsung secara terorganisir yang menunjukkan bahwa konflik bukan hanya urusan personal antarpesilat, tetapi telah menjadi persoalan kolektif yang menyangkut harga diri kelompok.
Silat sebagai Identitas Sosial dan Politik
Banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa perguruan silat bukan sekadar tempat belajar bela diri, melainkan institusi sosial yang memiliki kekuasaan, solidaritas sosial, bahkan pengaruh politik. Perguruan tertentu bisa menjadi basis dukungan bagi tokoh-tokoh lokal, atau bahkan terlibat dalam urusan keamanan tidak resmi di suatu wilayah.
Hal ini membuat perguruan silat memiliki posisi yang ambigu. Di satu sisi berperan positif dalam membina pemuda, menjaga keamanan lingkungan, serta mempererat hubungan “persaudaraan” antar anggota perguruan. Namun di sisi lain, perguruan digunakan sebagai alat untuk mempertunjukkan kekuasaan atau membangun kekuatan massa yang bisa menjadi sumber ketegangan.
Ketika perguruan silat melakukan tindak kekerasan, pihak berwenang biasanya sulit menindak tegas karena perguruan silat sering kali memiliki bekingan tokoh-tokoh berpengaruh atau memiliki afiliasi politik tertentu. Hal ini menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak konsisten, dan seakan membenarkan jika kekerasan bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tanpa konsekuensi serius.
Peran Sosial Media dalam Memperkeruh Situasi
Media sosial memiliki andil sebagai sarana banyak oknum untuk menyulut konflik antarpesilat. Banyak konten maupun trend berupa video atau foto di sosial media seperti TikTok dan Instagram yang mengandung ujaran kebencian antar perguruan. Banyak tragedi seperti bentrokan, penculikan, dan penganiayaan antar perguruan yang semuanya bermuara pada ujaran kebencian di sosial media tersebut.
Alih-alih menjadi sarana edukasi nilai luhur silat dan perdamaian, sosial media malah kerap memperkuat narasi konflik. Hal ini memperparah kondisi dan membuat penyelesaian damai menjadi semakin sulit. Fanatisme berbasis media sosial pun tumbuh subur, mengaburkan nilai-nilai dasar silat seperti saling menghormati, mengendalikan emosi, dan menjunjung tinggi kehormatan.
Upaya Mencegah dan Menanggulangi Konflik
Pencegahan kekerasan antar-perguruan silat tidak bisa hanya mengandalkan aparat keamanan. Pendekatan yang lebih menyeluruh dibutuhkan, mulai dari pembinaan mental dalam internal anggota perguruan, penyuluhan kembali nilai-nilai luhur silat, hingga regulasi yang adil dan konsisten.
Beberapa inisiatif seperti forum perdamaian antar perguruan, mediasi damai, hingga deklarasi anti kekerasan sudah dilaksanakan di berbagai daerah. Namun sayangnya, inisiatif ini sering bersifat seremonial dan tidak kontinyu dalam implementasinya. Diperlukan komitmen dari semua pihak mulai dari pengurus perguruan, pemerintah, tokoh masyarakat, dan media untuk membangun ekosistem antar perguruan silat yang sehat dan damai.
Selain itu, penting untuk mengembalikan silat ke akarnya sebagai budaya, bukan sebagai alat mempertunjukkan kekuatan. Kurikulum dalam internal perguruan silat harus lebih menekankan nilai etika, hormat, dan pengendalian diri, bukan semata-mata teknik bertarung.
Silat merupakan warisan budaya yang sangat berharga yang mengajarkan kedamaian, kehormatan, dan kebijaksanaan. Namun, dalam realitas sosial dan politik yang kompleks, silat juga bisa terjerumus menjadi sumber konflik ketika identitas perguruan dibawa dengan fanatisme buta dengan melupakan nilai-nilai spiritualnya.
Seluruh perguruan silat pasti mengajarkan kebaikan, penulis yang juga berkecimpung dalam lingkup bela diri silat mengajak untuk para pendekar lain untuk lebih mendalami dan mengkaji ulang nilai luhur dari perguruan kita masing-masing, khususnya pada poin perdamaian atau paseduluran. Dengan cara itu, silat bisa terus hidup sebagai kebanggaan Indonesia, bukan sebagai sumber kekerasan yang mencoreng budaya kita sendiri.
Biodata Penulis:
Muhammad Abyan Al Banna lahir tanggal pada 26 September 2006 di Sukoharjo, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Ekonomi Pembangunan, di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penulis bisa disapa di Instagram @abyanalbanna