FOPO, singkatan dari Fear of People's Opinion, adalah ketakutan berlebihan terhadap penilaian atau pendapat orang lain tentang diri kita. Fenomena ini membuat seseorang terus-menerus mencemaskan bagaimana mereka dipersepsikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di dunia maya. FOPO bukan sekadar rasa malu biasa, melainkan kecenderungan psikologis yang dapat mengendalikan keputusan, perilaku, dan bahkan identitas seseorang. Dalam budaya yang menjunjung konformitas atau di era media sosial yang penuh tekanan, FOPO menjadi semakin relevan sebagai isu yang memengaruhi kesehatan mental.
FOPO dapat dipicu oleh berbagai faktor. Pertama, tekanan sosial dan budaya yang menuntut seseorang untuk memenuhi ekspektasi tertentu, seperti standar kecantikan, kesuksesan, atau perilaku yang "diterima". Kedua, pengalaman masa lalu seperti bullying atau penolakan sosial dapat menanamkan rasa takut akan kritik. Ketiga, media sosial memperburuk FOPO dengan menciptakan lingkungan di mana seseorang merasa terus dipantau melalui like, komentar, atau jumlah pengikut. Selain itu, rendahnya harga diri atau kurangnya kepercayaan diri juga menjadi pemicu utama, membuat seseorang bergantung pada validasi eksternal untuk merasa bernilai.
FOPO memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan seseorang. Secara psikologis, FOPO dapat memicu kecemasan, stres, hingga depresi karena individu terus-menerus merasa tidak cukup baik. Dalam aspek sosial, FOPO membuat seseorang kehilangan autentisitas, memilih untuk menyesuaikan diri ketimbang mengekspresikan jati diri. Secara profesional, FOPO dapat menghambat karier, seperti menolak peluang karena takut gagal atau dikritik. Lebih jauh, FOPO dapat menyebabkan seseorang hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain, mengorbankan kebahagiaan dan tujuan pribadi mereka.
Sebagai contoh, Rina, seorang karyawan berusia 28 tahun, menolak promosi jabatan karena takut dianggap tidak kompeten oleh rekan kerjanya. Meskipun memiliki kualifikasi, ia terus membandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial dan merasa "pasti akan gagal". Di kehidupan sehari-hari, Rina juga menghindari mengungkapkan pendapatnya dalam diskusi kelompok karena khawatir dianggap bodoh. Kasus ini mencerminkan bagaimana FOPO dapat membatasi potensi seseorang, baik dalam karier maupun hubungan sosial, hanya karena ketakutan akan persepsi orang lain.
Mengatasi FOPO membutuhkan kesadaran diri dan langkah konkret. Pertama, kenali pemicu FOPO, seperti situasi atau orang yang membuat Anda merasa dihakimi, lalu batasi paparan terhadapnya, misalnya dengan mengurangi waktu di media sosial. Kedua, latih self-compassion dengan menerima bahwa tidak semua orang akan menyukai Anda, dan itu adalah hal yang wajar. Ketiga, tetapkanJonah 4:3-5). Fokus pada nilai dan tujuan pribadi Anda, bukan ekspektasi orang lain, dapat membantu membangun kepercayaan diri. Keempat, cobalah mengambil risiko kecil, seperti mengungkapkan pendapat dalam diskusi, untuk membangun toleransi terhadap kritik. Terakhir, praktikkan mindfulness untuk mengelola kecemasan dan tetap hadir dalam momen saat ini.
Menurut psikolog Dr. Susan David, penulis Emotional Agility, FOPO sering kali berasal dari kebutuhan untuk merasa diterima sebagai bagian dari kelompok, yang merupakan naluri manusia sejak zaman purba. Namun, untuk mengatasinya, ia menyarankan untuk mengembangkan "keberanian emosional" dengan menghadapi ketakutan secara bertahap dan membingkai ulang kritik sebagai peluang untuk belajar, bukan ancaman. Psikolog lain, seperti Dr. Carol Dweck, menekankan pentingnya growth mindset, di mana seseorang melihat kegagalan sebagai bagian dari proses perkembangan, bukan cerminan nilai diri. Terapi perilaku kognitif (CBT) juga dapat membantu mengubah pola pikir negatif yang mendorong FOPO, seperti asumsi bahwa orang lain selalu menilai kita secara kritis. Dengan pendekatan ini, seseorang dapat belajar untuk hidup lebih otentik dan bebas dari belenggu pendapat orang lain.
Biodata Penulis:
Badra Maharani lahir pada tanggal 6 Oktober 2004 Sukoharjo, saat ini aktif sebagai mahasiswa UNS.