Di era digital yang serba cepat, Generasi Z dihadapkan pada tantangan baru dalam menjaga sikap toleran di tengah keberagaman. Arus informasi yang tidak terbendung melalui media sosial sering kali membuat batas antara kebenaran dan opini menjadi kabur. Kondisi ini dapat memicu munculnya sikap ekstrem, terutama ketika konten keagamaan dikonsumsi tanpa pemahaman yang mendalam. Moderasi beragama hadir sebagai solusi untuk membangun sikap bijak, seimbang, dan terbuka terhadap perbedaan. Di sini kita akan mengkaji relevansi moderasi beragama dalam kehidupan Gen Z pada tahun 2025, serta menyoroti pentingnya literasi digital sebagai kunci dalam menumbuhkan sikap toleran. Melalui pendekatan humanis, kami akan mengajak pembaca untuk melihat moderasi bukan sebagai konsep usang, tetapi sebagai nilai penting yang sangat dibutuhkan dalam membentuk generasi muda yang damai dan inklusif di tengah dunia yang semakin kompleks.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa. Suku, agama, bahasa, dan budaya hidup berdampingan dalam satu ruang yang disebut Nusantara. Namun, di tengah era digital yang semakin terbuka, keberagaman ini justru menghadirkan tantangan baru—terutama bagi Generasi Z. Mereka adalah generasi yang tumbuh dalam dunia yang terkoneksi, penuh dengan informasi, opini, dan narasi dari berbagai arah.
Generasi Z, yang saat ini berada di rentang usia 13 hingga 25 tahun (pada tahun 2025), hidup di masa ketika media sosial bukan lagi sekadar hiburan, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari. Informasi datang begitu cepat, namun tidak semuanya benar. Beberapa di antaranya mengandung ujaran kebencian, provokasi, hingga paham ekstrem yang dikemas secara halus. Dalam situasi ini, Gen Z dituntut untuk tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki sikap dewasa dan bijak dalam menyikapi perbedaan.
Moderasi beragama hadir sebagai solusi. Ia bukan sekadar konsep keagamaan, tetapi nilai hidup yang mengajarkan keseimbangan, toleransi, dan penghormatan terhadap sesama. Dalam konteks Gen Z, moderasi beragama menjadi penting untuk membentuk pribadi yang inklusif, tidak mudah terprovokasi, dan mampu membangun harmoni di tengah keragaman. Artikel ini bertujuan mengkaji bagaimana moderasi beragama dapat menjadi bagian dari karakter Gen Z di era digital, serta peran literasi digital dalam memperkuat nilai-nilai tersebut.
Moderasi Beragama versi Gen Z
Di tengah banyaknya keberagaman suku dan agama semakin terbuka dikarenakan digitalisasi, Gen Z malah menghadapi tantangan yang baru, bagaimana tetap toleran di tengah-tengah cepatnya arus informasi dan opini yang semakin banyak ini, apakah moderasi beragama masih relevan dalam kehidupan Gen Z yang serba digital ini?
Di era banyaknya informasi yang bertebaran, Gen Z di tahun 2025 yang berumur 13 tahun sampai 25 tahun harus bisa memilah-milih informasi yang benar dan salah. Kemampuan literasi digital menjadi kunci, bukan hanya untuk menghindari hox, tetapi juga agar tidak terjebak dalam pemahaman ekstrem yang menyusup lewat konten keagamaan. Tanpa disadari, algoritma media sosial telah membuat seseorang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Inilah mengapa moderasi beragama penting diperkenalkan dan ditanamkan sejak dini, agar Generasi Z tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga bijak dalam keberagaman.
Era digital memang membawa banyak kemudahan akses informasi cepat, komunikasi instan, dan dunia yang terasa tanpa batas. Namun di balik semua itu, Generasi Z yang lahir dan tumbuh bersama teknologi justru menghadapi tantangan sosial yang tidak ringan. Kehidupan mereka yang sangat terkoneksi membuat tekanan sosial dan emosional juga semakin kompleks. Salah satu tantangan terberat adalah soal kesehatan mental. Paparan media sosial yang konstan sering menimbulkan kecemasan, perasaan tidak cukup baik, hingga gangguan tidur. Mereka juga dihadapkan pada tekanan untuk selalu terlihat sempurna di dunia maya, yang bisa membuat mereka kehilangan kepercayaan diri.
Selain itu, ketergantungan pada teknologi membuat banyak dari mereka kesulitan membangun interaksi sosial yang hangat di dunia nyata. Di sisi lain, derasnya arus informasi justru menghadirkan risiko disinformasi dan polarisasi, membuat Gen Z lebih rentan terhadap salah paham dan sikap ekstrem terhadap isu-isu sosial maupun agama. Tak hanya itu, aktivisme digital yang mereka lakukan sering terjebak dalam dunia maya saja, tanpa berlanjut pada aksi nyata di lingkungan sekitarnya. Ini semua menunjukkan bahwa menjadi Gen Z di era digital bukan hanya soal melek teknologi, tapi juga perlu dibarengi dengan ketahanan mental, kemampuan berpikir kritis, dan sikap moderat dalam menyikapi perbedaan.
Kerukunan umat beragama di Indonesia hanya dapat terwujud bila kita mengamalkan moderasi beragama cara pandang yang adil, seimbang, dan tidak berlebihan dalam menghadapi perbedaan. Moderasi mengajak setiap orang untuk tetap teguh pada keyakinannya sekaligus membuka ruang saling menghormati, sehingga semua bisa beribadah tanpa rasa takut atau curiga. Lebih dari sekadar “menerima perbedaan”, moderasi menuntut tanggung jawab sosial: menjauhi sikap ekstrem, intoleransi, dan kekerasan, serta aktif menjaga harmoni dalam keseharian. Dengan semangat ini, kebersamaan lahir bukan dari penyeragaman keyakinan, melainkan dari kesadaran bahwa keragaman adalah kekuatan yang mesti dirawat bersama.
Di tengah derasnya arus digital, dakwah menjadi salah satu bentuk komunikasi yang perlu disesuaikan dengan gaya hidup dan cara berpikir Gen Z. Mereka bukan hanya sekadar penerima pesan agama, tetapi juga generasi yang aktif mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan spiritual yang muncul dalam diri mereka. Sayangnya, pesan keagamaan yang baik tidak selalu sampai dengan tepat, apalagi jika disampaikan dengan pendekatan yang tidak relevan. Inilah mengapa metode dakwah menjadi sangat penting: bukan hanya menyampaikan ajaran, tapi juga memahami siapa yang diajak bicara. Gen Z tumbuh di lingkungan digital yang serba cepat, sehingga pendekatan keagamaan juga perlu dikemas secara bijak dan menarik. Agama tetap menjadi bagian penting dalam membentuk nilai dan perilaku mereka, namun jika tidak didekati dengan cara yang tepat, ruang digital justru bisa menjadi celah munculnya paham-paham ekstrem atau informasi yang menyesatkan.
Saat layar gawai tak henti menampilkan berita dan opini baru setiap detik, kemampuan membedakan fakta dari kabar palsu menjadi bekal wajib bagi Gen Z. Literasi digital di sini tak sekadar soal keterampilan teknis, melainkan kemauan berpikir kritis dan menahan diri sebelum membagikan sesuatu. Disinformasi kerap sengaja dikemas untuk memancing emosi—membuat orang tergesa-gesa percaya tanpa bertanya. Karena itu, pendidikan literasi digital yang menyasar pelajar hingga profesional perlu digalakkan agar generasi muda tidak mudah terseret narasi ekstrem atau ujaran kebencian. Dengan bekal ini, Gen Z dapat tetap waras, terbuka, dan mampu menjaga harmoni dalam keberagaman.
Di era digital yang penuh kemudahan dan kecepatan informasi, Indonesia tidak hanya diuntungkan secara teknologi, tapi juga menghadapi tantangan baru berupa penyebaran paham ekstrem yang bisa mengancam persatuan. Untuk merespons hal ini, moderasi beragama hadir sebagai pendekatan yang tidak kaku, tapi justru menjadi jembatan agar perbedaan tidak menjadi alasan perpecahan. Moderasi bukan tentang melemahkan keyakinan, melainkan tentang bersikap adil, terbuka, dan tidak berlebihan dalam menyikapi perbedaan.
Generasi Z, sebagai generasi yang tumbuh dalam ekosistem digital, memegang peran penting dalam menjaga nilai keberagaman. Dengan literasi digital yang baik, Gen Z bisa menjadi kontrol sosial di media, melawan ujaran kebencian, dan menolak provokasi yang mengancam kerukunan. Tak hanya itu, mereka juga bisa menjadi contoh nyata: bersikap moderat, tidak fanatik, dan aktif menyebarkan semangat toleransi di lingkungannya. Dalam konteks kekinian, moderasi beragama bukan hanya kebijakan negara, tapi sudah semestinya menjadi gaya hidup Gen Z yang ingin hidup damai, inklusif, dan tetap berakar pada nilai-nilai kebajikan.
Di era digital yang serba cepat dan penuh disrupsi informasi, Generasi Z berada di garis depan dalam menjaga harmoni dan toleransi antarumat beragama. Moderasi beragama bukan lagi sekadar wacana, tetapi menjadi kebutuhan mendesak untuk membendung arus ekstremisme dan polarisasi yang marak di ruang digital. Gen Z dituntut tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga bijak dan kritis dalam menyikapi konten keagamaan dan isu-isu keberagaman. Moderasi beragama harus menjadi bagian dari gaya hidup digital mereka—yakni dengan cara berinteraksi yang adil, terbuka, dan tidak provokatif di media sosial maupun dunia nyata. Dengan bekal literasi digital dan semangat toleransi, Gen Z dapat menjadi agen perubahan yang menjaga kerukunan dan membangun peradaban yang damai di tengah keberagaman bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka:
- Abror, M. (2020). Moderasi Beragama dalam Bingkai Toleransi: Kajian Islam dan Keberagaman. Rusydiah: Jurnal Pemikiran Islam, 1(2). https://doi.org/10.35961/rsd.v1vi2i.174
- Awalia, F., & Zulkarnaini. (2025). Memahami Pola Perilaku Generasi Z di Era Digital. Jurnal Teknologi dan Sains Modern, 2(1), 15–25. https://doi.org/10.69930/jtsm.v2i1.251
- Komara, D. A., & Widjaya, S. N. (2024). Memahami Perilaku Informasi Gen-Z dan Strategi Melawan Disinformasi: Sebuah Tinjauan Literatur Penggunaan Media Sosial. Jurnal Pustaka Ilmiah, 10(2), 155–174. https://dx.doi.org/10.20961/jpi.v10i2.85775
- Salsabila, H., Yuliastuty, D. S., & Zahra, N. H. S. (2022). Peran Generasi Z dalam Moderasi Beragama di Era Digital. Al-Adyan: Journal of Religious Studies, 3(2).
- Azizah, M., Tumanggor, R. O., Hayfatunisa, G., Andriyani, A., Niziliani, S., & Natahsya, A. (2024). Peran Media Sosial dalam Membentuk Sikap Moderasi Beragama pada Generasi Z. Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran, 7(4). http://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jrpp
- Ika, I., Az-Zahra, F., & Silbi, S. J. (2024). Integrasi Agama dan Sains dalam Kehidupan Modern. Jurnal Kajian Islam dan Sosial Keagamaan, 2(1), 68–74. https://jurnal.ittc.web.id/index.php/jkis/index
- Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.
- Muslih. (2021). Relasi Islam dan Sains dalam Pendidikan Islam. Lamongan: Nawa Litera Publishing.
- Kamil, S. (2022). Islam dan Sains Modern. Jakarta: Kencana.
Biodata Penulis:
Dimas Putra Setiawan saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Tadris Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.