Perubahan iklim telah menjadi isu global yang tak bisa diabaikan. Dampaknya sudah terlihat jelas di berbagai penjuru dunia: suhu bumi yang terus meningkat, cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, serta bencana alam yang semakin meresahkan. Salah satu penyebab utama dari perubahan iklim ini adalah emisi gas rumah kaca (GRK), yang banyak dihasilkan oleh kegiatan industri dan perusahaan. Namun, meskipun dampaknya begitu besar, banyak perusahaan yang masih belum terbuka mengenai seberapa banyak emisi karbon yang mereka hasilkan. Ini menciptakan masalah besar dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim.
| Sumber: Pixabay |
Menurut laporan Nielsen (2022), sebanyak 81% konsumen global menyatakan bahwa perusahaan perlu mengambil peran aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kesadaran terhadap tanggung jawab lingkungan ini terutama tinggi di kalangan generasi muda, dengan 85% milenial dan 80% Gen Z mendukung gerakan keberlanjutan. Di Indonesia, survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC) pada tahun 2021 terhadap 3.631 responden menunjukkan bahwa 62,9% konsumen merasa pernah membeli produk berkelanjutan, dengan motivasi utama berupa keinginan melestarikan bumi (60,5%). Data ini sejalan dengan temuan GoodStats (2023) yang menyebutkan bahwa 84% masyarakat Indonesia telah menggunakan produk ramah lingkungan.
Perubahan pola konsumsi ini mendorong perusahaan untuk mengadopsi praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan, tidak hanya sebagai bentuk tanggung jawab sosial, tetapi juga sebagai strategi untuk mempertahankan daya saing dan membangun loyalitas konsumen. Salah satu strategi yang mulai banyak diterapkan di perusahaan adalah pendekatan akuntansi hijau (green accounting).
Menurut Lako (2018), konsep akuntansi hijau memiliki makna dan nilai yang lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan Sustainability Accounting (Akuntansi Keberlanjutan). Akuntansi hijau diartikan sebagai sistem pencatatan akuntansi yang mengintegrasikan pengakuan, pengukuran nilai, pencatatan, peringkasan, dan pelaporan informasi sosial dan lingkungan secara terpadu yaitu menjadi wadah dari akuntansi keuangan, akuntansi sosial dan akuntansi lingkungan secara satu paket laporan. Filosofi akuntansi hijau sendiri menekankan pada prinsip akuntansi yang "menghijaukan", "menyejukkan", "mengasihi", "menghidupi", dan "melestarikan" bisnis serta laba korporasi, dengan memperhitungkan tiga aspek utama: lingkungan (planet), sosial (people), dan finansial (profit), atau dikenal dengan konsep 3P. Melalui pengungkapan biaya lingkungan ini, perusahaan dapat menunjukkan komitmen mereka terhadap praktik bisnis berkelanjutan serta meningkatkan transparansi dalam pelaporan keuangan.
Walaupun secara prinsip penerapan akuntansi hijau menawarkan berbagai keunggulan, implementasinya di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Banyak perusahaan yang masih enggan menerapkannya karena kekhawatiran terhadap potensi peningkatan biaya operasional serta risiko berkurangnya laba. Selain itu, ketiadaan standar baku dalam penerapan akuntansi hijau secara nasional menjadi hambatan tersendiri dalam mempercepat adopsi praktik ini di dunia bisnis.
Meskipun demikian, pemerintah Indonesia telah berupaya mendorong penerapan prinsip keberlanjutan melalui berbagai regulasi, meski belum secara eksplisit mengatur tentang akuntansi hijau. Salah satu regulasi penting adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan, yang mewajibkan lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik untuk menyusun laporan keberlanjutan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga mewajibkan perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam untuk menjalankan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Dengan adanya regulasi tersebut, tentunya penting bagi perusahaan untuk memperhatikan pengungkapan informasi sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan mereka. Pengungkapan ini tidak hanya memenuhi tuntutan regulatif, tetapi juga menjadi strategi untuk meningkatkan nilai perusahaan di mata pemangku kepentingan. Salah satu faktor yang dapat memperkuat adopsi akuntansi hijau adalah dengan adanya persepsi konsumen. Kenaikan persepsi positif dari konsumen terhadap komitmen perusahaan dalam menjaga lingkungan dapat menjadi kekuatan pendorong bagi perusahaan untuk lebih serius dalam menerapkan praktik pelaporan hijau. Selain itu, akuntansi hijau memiliki potensi memperkuat loyalitas konsumen, membangun citra positif perusahaan, dan secara tidak langsung berkontribusi terhadap peningkatan nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena akuntansi hijau menawarkan kerangka penyajian laporan keuangan yang lebih berwawasan lingkungan, yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan, dan finansial (konsep 3P: Planet, People, Profit) secara terpadu. Dengan pendekatan ini, perusahaan tidak hanya menciptakan keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang, tetapi juga membangun kepercayaan di kalangan konsumen yang semakin peduli terhadap isu-isu keberlanjutan.
Perkembangan Akuntansi Hijau di Indonesia
Akuntansi hijau di Indonesia telah berkembang secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, meskipun masih dalam tahap awal implementasi yang bersifat sukarela (voluntary). Konsep ini mulai mendapat perhatian lebih besar, terutama setelah adanya kesadaran yang lebih tinggi terhadap isu-isu keberlanjutan dan perubahan iklim yang semakin mendesak. Akuntansi hijau di Indonesia, secara umum, merujuk pada upaya mengintegrasikan faktor-faktor lingkungan ke dalam laporan keuangan perusahaan. Ini termasuk pencatatan biaya lingkungan seperti emisi karbon, penggunaan sumber daya alam, dan pengelolaan limbah.
Beberapa regulasi seperti Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas, serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017, yang mewajibkan perusahaan untuk menyusun laporan keberlanjutan, telah memberikan dasar hukum bagi perusahaan untuk mulai melaporkan kinerja lingkungan mereka. Meskipun ada regulasi yang mendukung, akuntansi hijau di Indonesia saat ini masih bersifat sukarela, artinya tidak ada kewajiban hukum yang mengharuskan perusahaan untuk mengintegrasikan aspek lingkungan dalam laporan keuangan mereka secara menyeluruh. Hal ini menyebabkan perusahaan masih memiliki keleluasaan dalam memilih apakah mereka akan mengadopsi akuntansi hijau atau tidak.
Sifat sukarela ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam adopsi akuntansi hijau secara luas. Tanpa adanya paksaan hukum yang jelas, banyak perusahaan, terutama yang berskala kecil dan menengah, tidak merasa terdorong untuk berinvestasi dalam sistem pencatatan dan pelaporan dampak lingkungan mereka. Di sisi lain, perusahaan besar cenderung lebih tertarik mengimplementasikan akuntansi hijau, tetapi lebih sering didorong oleh tekanan dari pasar, investor, atau konsumen yang semakin menuntut transparansi terkait keberlanjutan dan dampak lingkungan.
Harapan ke depan adalah agar penerapan akuntansi hijau tidak hanya menjadi pilihan, tetapi juga menjadi standar yang wajib bagi seluruh perusahaan. Mengingat peran sektor swasta yang sangat besar dalam mempengaruhi keberlanjutan lingkungan, pengembangan kebijakan dan regulasi yang lebih ketat sangat diperlukan untuk mendorong perusahaan mengadopsi akuntansi hijau. Ke depan, diharapkan akuntansi hijau dapat menjadi bagian integral dari sistem akuntansi di Indonesia, di mana perusahaan secara aktif mengungkapkan biaya lingkungan mereka dalam laporan keuangan, yang pada gilirannya akan memperkuat komitmen mereka terhadap keberlanjutan dan menciptakan ekosistem bisnis yang lebih transparan dan bertanggung jawab.
Tantangan Implementasi Akuntansi Hijau di Indonesia
Seiring dengan harapan untuk menjadikan akuntansi hijau sebagai standar yang wajib di masa depan, tantangan yang dihadapi dalam implementasinya di Indonesia tetap besar. Beberapa hal yang menjadi tantangan utama dalam adopsi akuntansi hijau ini antara lain:
1. Kurangnya Regulasi yang Mengikat
Salah satu tantangan utama dalam penerapan akuntansi hijau adalah belum adanya regulasi yang mengharuskan perusahaan untuk mengintegrasikan aspek lingkungan dalam laporan keuangan mereka secara sistematis. Meskipun beberapa peraturan telah ada, seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang mengatur tentang laporan keberlanjutan, namun pengungkapan informasi lingkungan masih bersifat sukarela. Hal ini menyebabkan perusahaan tidak memiliki kewajiban hukum yang jelas untuk mengadopsi praktik akuntansi hijau, sehingga adopsinya cenderung lebih dipengaruhi oleh kesadaran individual masing-masing perusahaan daripada dorongan regulasi yang kuat.
2. Keterbatasan Infrastruktur dan Kapasitas Internal
Banyak perusahaan, terutama yang berskala kecil dan menengah, menghadapi kesulitan dalam hal infrastruktur dan kapasitas internal untuk menerapkan akuntansi hijau. Pengukuran dampak lingkungan, seperti emisi karbon atau penggunaan sumber daya alam, membutuhkan sistem yang terintegrasi dan teknologi yang canggih, yang sering kali tidak tersedia di perusahaan-perusahaan kecil. Kurangnya pelatihan bagi staf dan manajemen untuk mengelola dan menganalisis data lingkungan juga menjadi hambatan besar dalam implementasi akuntansi hijau di Indonesia.
3. Keterbatasan Standar dan Pedoman Pengukuran
Pengukuran dampak lingkungan yang konsisten dan akurat masih menjadi tantangan besar. Di Indonesia, tidak ada standar baku yang jelas tentang bagaimana dampak lingkungan harus dihitung dan dilaporkan dalam konteks akuntansi hijau. Hal ini menciptakan kesulitan bagi perusahaan dalam memastikan bahwa data yang mereka laporkan valid dan dapat dipercaya. Tanpa adanya pedoman yang baku, perusahaan kesulitan dalam mengukur dan membandingkan dampak lingkungan mereka dengan perusahaan lain dalam industri yang sama, yang mengurangi efektivitas pelaporan tersebut.
4. Biaya Implementasi dan Kekhawatiran Terhadap Keuntungan Finansial
Banyak perusahaan, terutama yang berfokus pada profitabilitas jangka pendek, enggan untuk mengalokasikan sumber daya untuk mengadopsi akuntansi hijau karena khawatir dengan biaya yang terlibat. Mereka merasa bahwa penerapan sistem akuntansi hijau yang melibatkan pelatihan staf, investasi dalam teknologi, dan pengumpulan data lingkungan akan meningkatkan biaya operasional. Hal ini sering dianggap sebagai beban yang dapat mengurangi keuntungan finansial perusahaan, padahal dalam jangka panjang, akuntansi hijau dapat memberikan manfaat dalam hal efisiensi operasional dan peningkatan citra perusahaan.
5. Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman Tentang Akuntansi Hijau
Di Indonesia, kesadaran mengenai pentingnya akuntansi hijau masih sangat terbatas. Banyak perusahaan dan bahkan beberapa pemangku kepentingan di sektor publik belum sepenuhnya memahami konsep akuntansi hijau dan manfaatnya. Kurangnya pengetahuan ini sering kali menghalangi upaya untuk memulai atau mengimplementasikan praktik akuntansi hijau. Tanpa pemahaman yang jelas tentang bagaimana akuntansi hijau dapat berkontribusi pada keberlanjutan bisnis dan lingkungan, banyak perusahaan yang enggan untuk terlibat dalam inisiatif ini.
Penutup
Implementasi akuntansi hijau di Indonesia menawarkan peluang besar untuk mendorong perusahaan menuju praktik bisnis yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Meskipun tantangan dalam penerapannya cukup signifikan, seperti kurangnya regulasi yang mengikat, keterbatasan infrastruktur, dan biaya yang dibutuhkan, langkah-langkah untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut perlu segera diambil. Penerapan akuntansi hijau yang lebih luas tidak hanya akan membawa manfaat bagi lingkungan, tetapi juga bagi perusahaan itu sendiri dalam hal efisiensi operasional, citra positif, dan daya saing yang lebih kuat di pasar global.
Dengan adanya dorongan dari pemerintah, dukungan teknologi yang lebih baik, dan meningkatnya kesadaran di kalangan masyarakat dan sektor swasta, akuntansi hijau dapat menjadi bagian integral dari sistem akuntansi di Indonesia. Melalui langkah-langkah yang lebih terstruktur dan kolaborasi antara berbagai pihak, akuntansi hijau berpotensi untuk menjadi standar yang wajib di masa depan, membantu perusahaan dalam memenuhi tanggung jawab sosial dan lingkungan mereka sambil tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ke depan, diharapkan Indonesia dapat mengatasi tantangan-tantangan ini dan menjadikan akuntansi hijau sebagai bagian tak terpisahkan dari dunia bisnis yang lebih berkelanjutan dan transparan. Hal ini tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan, tetapi juga untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat.
Biodata Penulis:
Nice Agustin Ahmad saat ini aktif sebagai mahasiswa Program Studi Akuntansi di salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Nice memiliki minat khusus pada bidang akuntansi lingkungan, audit, dan sustainability reporting. Ia aktif dalam kegiatan akademik dan penelitian, serta memiliki ketertarikan pada isu-isu keberlanjutan dan peran akuntansi dalam mendukung tanggung jawab sosial perusahaan.