Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Benarkah Perang Dunia III di Ambang Pintu?

Ketegangan global makin memuncak, konflik Timur Tengah dan Asia Selatan bisa memicu Perang Dunia III. Yuk, pahami situasinya dan kenapa aksi damai ...

Ketegangan antarnegara dalam beberapa bulan terakhir mencapai titik kritis. Krisis yang bermula di kawasan Timur Tengah kini menjalar dan memicu kekhawatiran global. Serangan militer, keterlibatan kekuatan besar dunia, hingga kegagalan diplomasi membuat para analis internasional mempertanyakan satu hal penting: apakah dunia sedang berjalan menuju Perang Dunia III?

Banyak pihak menyebut situasi saat ini mirip dengan kondisi dunia menjelang perang besar di masa lalu: sejumlah negara terlibat dalam konflik terbuka, retorika militer semakin keras, dan sistem diplomasi internasional tampak melemah. Ketika konflik tidak lagi terbatas secara regional dan mulai menyentuh kepentingan negara-negara besar, maka potensi perang global bukan lagi isu fiktif.

Konflik Terbuka Israel–Iran dan Ketegangan India–Pakistan

Awal Juni 2025, Israel meluncurkan serangan ke fasilitas nuklir Iran di Natanz dan Isfahan. Israel menyatakan langkah tersebut sebagai upaya pencegahan atas dugaan pengembangan senjata nuklir oleh Iran. Iran membalas agresi itu dengan meluncurkan rudal ke Tel Aviv dan dua pangkalan militer Amerika Serikat di Irak dan Qatar. Serangan ini membuat Amerika langsung turun tangan dengan meluncurkan serangan balasan terhadap instalasi rudal milik Iran pada 18 Juni 2025.

Benarkah Perang Dunia III di Ambang Pintu

Situasi ini dengan cepat berubah menjadi krisis regional yang berdampak global. Negara-negara di Teluk seperti Kuwait, Qatar, dan Bahrain menutup ruang udaranya. Rusia ikut angkat bicara. Presiden Vladimir Putin menyatakan bahwa tindakan AS dan Israel adalah bentuk provokasi terhadap perdamaian dunia. Rusia kemudian meningkatkan kehadiran militernya di Laut Tengah dan mempercepat produksi rudal hipersonik sebagai bentuk antisipasi.

Konflik di Timur Tengah bukan sesuatu yang baru. Hubungan Iran dan Israel sudah lama diliputi ketegangan, terutama sejak Revolusi Iran 1979. Iran menentang eksistensi negara Israel, sementara Israel menganggap program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Ketegangan ini telah menghasilkan serangkaian konflik tidak langsung di Suriah, Lebanon, dan jalur Gaza.

Sementara itu, konflik antara India dan Pakistan juga memiliki sejarah panjang sejak pemisahan India pada tahun 1947. Kedua negara telah terlibat dalam tiga perang besar dan beberapa konfrontasi kecil, dengan wilayah Kashmir sebagai titik utama sengketa. Keberadaan senjata nuklir di kedua negara menjadikan setiap eskalasi konflik sangat berbahaya dan tidak terprediksi.

Kombinasi konflik di dua kawasan sensitif ini memperlihatkan bahwa dunia kini berada dalam kondisi tidak stabil. Analis dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa keterlibatan langsung negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan kemungkinan Tiongkok bisa menjadikan konflik ini melebar menjadi perang multinasional. Pemerintah Jepang bahkan menyebut kondisi saat ini sebagai "masa paling rapuh sejak Perang Dunia II" dalam pernyataan resminya pada 24 Juni 2025.

Survei Reuters/Ipsos pada 22 Juni 2025 menunjukkan bahwa 84% warga Amerika khawatir konflik yang ada saat ini dapat berkembang menjadi perang dunia. Harga minyak global naik drastis, bursa saham Asia dan Eropa mengalami koreksi tajam, dan beberapa perusahaan logistik mulai menutup jalur distribusi dari Timur Tengah. Dampak sosial juga terasa. Masyarakat global mulai melakukan aksi borong barang kebutuhan pokok dan meningkatkan pengamanan digital terhadap potensi perang siber.

Respons Dunia dan Peluang Meredanya Ketegangan

Setelah eskalasi yang terjadi pada pekan ketiga Juni 2025, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan sidang darurat untuk membahas konflik Iran–Israel dan ketegangan di Asia Selatan. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyerukan gencatan senjata segera serta pembukaan dialog damai melalui jalur diplomasi internasional. Namun, proses negosiasi berjalan sulit. Iran menolak pembicaraan selagi wilayah udaranya diawasi militer asing, dan AS tidak menunjukkan tanda-tanda menarik kehadiran militernya.

Beberapa negara mencoba mengambil posisi netral untuk menjadi penengah. Indonesia, Swiss, dan Turki menawarkan jalur perundingan alternatif. Indonesia, yang memiliki sejarah sebagai mediator konflik dalam forum OKI, mengusulkan pembentukan "Koridor Kemanusiaan" untuk menjamin akses bantuan medis dan logistik. Turki mengusulkan perundingan tertutup antara perwakilan Iran dan Israel di Ankara, namun belum mendapatkan respons dari kedua belah pihak.

Uni Eropa menyatakan kekhawatirannya, namun lebih banyak menekankan pada langkah-langkah defensif seperti peningkatan perlindungan siber dan keamanan energi. Komisi Eropa juga mengeluarkan paket sanksi terhadap sejumlah individu dan perusahaan yang terlibat dalam pendanaan militer ilegal. Namun, langkah ini dianggap simbolik dan belum cukup menghentikan laju konflik.

Sikap Tiongkok juga menarik perhatian. Meski tidak secara terbuka mendukung salah satu pihak, Beijing meningkatkan kehadiran militernya di Laut Cina Selatan dan melakukan latihan militer bersama Angkatan Laut Rusia. Banyak analis menilai sikap diam aktif Tiongkok adalah strategi menunggu momentum, sambil mempersiapkan dampak ekonomi dan geopolitik dari konflik yang berkembang.

Gelombang protes damai mulai bermunculan di berbagai negara. Di Berlin, Paris, Tokyo, dan Jakarta, ribuan warga turun ke jalan membawa spanduk perdamaian. Di media sosial, kampanye #StopGlobalWar dan #DiplomacyNow menjadi trending global selama lima hari berturut-turut. Namun, tekanan publik belum cukup kuat untuk mengubah arah kebijakan negara-negara yang terlibat langsung.

Lembaga-lembaga internasional seperti Human Rights Watch dan International Crisis Group juga mengeluarkan laporan khusus. Mereka menyoroti risiko kemanusiaan, terutama di wilayah konflik langsung seperti Gaza, perbatasan Kashmir, dan kota-kota di Iran bagian barat. Organisasi-organisasi ini mendesak adanya pengawasan independen terhadap pelanggaran hukum perang dan penyediaan bantuan lintas batas tanpa syarat politik.

Dunia kini menghadapi risiko yang nyata. Ketika jalur diplomasi tersendat, militerisasi meningkat, dan keterlibatan kekuatan besar terus berlanjut, maka ancaman Perang Dunia III bukan lagi sekadar spekulasi. Situasi ini mengingatkan pada pola sejarah masa lalu: ketika konflik lokal gagal diredam dan dunia internasional lambat mengambil langkah konkret, maka jalan menuju perang besar terbuka dengan sendirinya.

Masih ada waktu untuk mencegahnya. Namun, waktu itu tidak panjang. Dunia membutuhkan keputusan politik yang berani, ruang diplomasi yang terbuka, dan kesadaran bersama bahwa tidak ada pemenang dalam perang berskala global. Jika tidak, sejarah bisa kembali menulis babak kelam yang pernah diyakini tak akan terulang lagi.

Dalam dinamika geopolitik saat ini, semua pihak perlu menyadari bahwa stabilitas dunia bergantung pada keputusan kolektif. Kepentingan nasional tidak bisa lagi menjadi alasan untuk mempertaruhkan nasib seluruh umat manusia. Ketika dunia dihadapkan pada pilihan antara perang atau perdamaian, ketegasan untuk memilih jalur damai menjadi ujian moral dan politik terbesar abad ini.

Greace Gusmita Sirait

Penulis:

  1. Greace Gusmita Sirait merupakan mahasiswi, Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
  2. Helena Sihotang, S.E, M.M. merupakan dosen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.