Bencana alam sering kali datang secara tiba-tiba dan membawa dampak besar bagi kehidupan manusia. Bencana alam melanda berbagai belahan dunia belakangan ini, seringkali menimbulkan pertanyaan mendalam tentang penyebab dan maknanya. Di satu sisi, sebagian menganggap bahwa bencana alam ini adalah teguran dari sang pencipta atas perilaku manusia yang menyimpang. Di sisi lain, menganggapnya sebagai fenomena alam atau proses alam yang bisa dipahami dan diprediksi. Di Indonesia kerap mengalami bencana alam, terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi tinggi terhadap bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan banjir. Bencana-bencana tersebut dapat menyebabkan dan menimbulkan korban jiwa.
Dalam prespektif keagamaan, sebagian orang percaya bahwa bencana alam yang terjadi akibat karena sikap manusia yang selalu melakukan kesalahan dan bangga akan dosa-dosanya dan tidak kunjung bertobat, mendatangkan murka Allah SWT atas umatnya. Dalam firman Allah SWT QS. Asy-Syura (42) ayat 30:
وَمَا أَصْبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ
Artinya: “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu, adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)”
Ayat di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya musibah yang terjadi adalah disebabkan oleh perbuatan tangan mereka sendiri. Quraish Shihab menafsirkan istilah “perbuatan tangan” di sini sebagai bentuk dosa dan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Meskipun demikian, Allah yang Maha Pengasih tetap melimpahkan rahmat-Nya dan mengampuni kesalahan umat manusia, sehingga tidak semua kesalahan itu dianggap sebagai bencana. Selain itu, bencana dalam Al-Qur’an disebut dengan kata Fitnah. Seperti yang kita ketahui bahwa fitnah itu berdampak besar, bukan hanya kepada orang yang difitnah saja tetapi bisa sampai saudara terdekat yang difitnah. Ketika fitnah menimpa kepada orang-orang yang durhaka maka bencana di sini adalah bentuk hukuman dari Allah bagi mereka dan sarana pengampunan dosa yang telah dilakukan. Namun apabila bencana ini menimpa orang-orang beriman maka bencana merupakan teguran dari Allah sekaligus membersihkannya dari dosa-dosa yang telah dilakukannya.
Bencana tersebut menjadi ujian untuk mengukur sejauh mana kesabaran seseorang menerima dan menghadapi ketetapan Allah. Allah yang Maha pengasih tetap memberikan belas kasih dengan mengampuni umat manusia yang telah berbuat dosa. Jika bukan ampunan-Nya, niscaya seluruh umat manusia akan binasa, bahkan tidak akan tersisa satu makhluk melata dimuka bumi ini. Dalam pemikiran sufistiknya Ibn ‘Arabi, menyatakan bahwa tuhan menunjukan wujud kemurkaan-Nya melalui wujud rahmat-Nya. Dalam artian, Rahmat Allah selalu mendahului murka-Nya, karena rahmat-Nya mencangkup seluruh aspek kehidupan manusia. Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa murka Allah sebenarnya mengandung kasih sayang, sebab penderitaan dan hukuman yang dirasakan justru membantu pertumbuhan jiwa, seperti obat pahit yang menyembuhkan penyakit.
Secara ilmiah, bencana alam dapat dijelaskan melalui proses-proses ilmiah yang terjadi di permukaan bumi. Misalnya gempa bumi yang terjadi karena penggeseran lempeng tektonik yang saling bertabrakan atau bergeser dan menyebabkan getaran pada bumi. Letusan gunung berapi disebabkan oleh tekanan magma yang tinggi di dalam perut bumi yang akhirnya menyembur keluar saat tekanannya yang tidak dapat ditahan lagi. Kemudian banjir yang sering terjadi akibat curah hujan yang tinggi, dan kekeringan terjadi karena minimnya curah hujan dalam waktu lama. Semua kejadian ini merupakan bagian dari siklus alam yang dapat dipelajari secara ilmiah agar manusia bisa mengantisipasi dan mengurangi dampaknya. Kesiapsiagaan bencana merupakan upaya yang dirancang sebagai langkah tanggap terhadap kemungkinan terjadinya bencana, baik di lingkungan sekolah, rumah sakit, tempat kerja, maupun masyarakat sekitar. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana setiap individu dituntut untuk siap menghadapi situasi darurat, krisis, atau bencana. Berbagai tindakan dapat diambil untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan, seperti menyusun rencana darurat (kontinjensi), memperkuat sistem peringatan dini, menetapkan prosedur tetap (SOP) dalam kondisi darurat, serta meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi bencana. Jika langkah-langkah tersebut dilakukan secara optimal, maka kapasitas individu dan komunitas akan meningkat, sementara tingkat kerentanan terhadap bencana dapat ditekan.
Referensi:
- Q.S Asy-Syura (42) ayat 30.
- Khafidhoh. Teologi Bencana dalam Prespektif M. Quraish Shihab. Esensia, 14(1), 37 - 60.
- Fuadi. Pemikiran Sufistik Ibn 'Arabi tentang Al-Hikmah Al-Qadariyyah. Kajian Fenomenologis terhadap Bencana Alam Gemapa dan Tsunami Aceh. Tesis, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
- Nahma 'Usholikhah. Kuniawan, Ficky Adi. Integrasi Layanan Informasi Dallaam Meningkatkan Kapasitas Pemahaman Mahasiswa Menghadapi Bencana Alam. Indonesian Journal of Environmemnt and Disaster, 1(2), 2022, 85 -93.
Biodata Penulis:
Hanum Suci Ramadhani saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.