Pernahkah kamu merasa bersalah saat asyik bermain game, padahal pekerjaan atau tugas menumpuk di meja? Saat sedang seru-serunya bermain, tiba-tiba suara hati kecil berbisik: "Seharusnya aku melakukan hal yang lebih berguna sekarang." Banyak dari kita, generasi muda urban yang hidup di tengah budaya hustle, diam-diam memandang waktu bermain game sebagai kemewahan yang nyaris terlarang. Konsol game di sudut kamar pun berubah menjadi godaan yang justru mengundang rasa bersalah. Perasaan inilah, yang belakangan dikenal luas sebagai productivity guilt, yang menjadi jebakan mental bagi generasi kita.
Saya sendiri pernah berada di fase itu. Dulu saya menganggap game sebagai musuh produktivitas. Waktu mulai kuliah, saya bahkan sempat berhenti bermain agar lebih fokus belajar dan bekerja. Jam kerja memang bertambah, tapi semangat justru menurun. Suatu ketika di tengah kejenuhan rutinitas, saya memberanikan diri bermain game lagi di akhir pekan. Ternyata saya malah jadi lebih berenergi menjalani hari-hari berikutnya, dan ada rasa puas setelah meluangkan waktu untuk hobi lama ini. Saya pun berpikir ulang: mengapa game yang dulu saya cap sebagai penghalang produktivitas justru bisa memberi motivasi baru?
Mungkin jawabannya ada pada cara kerja game itu sendiri. Pernahkah terpikir mengapa sebuah game bisa membuat kita betah duduk berjam-jam di depan layar? Game pandai sekali memancing keinginan untuk terus bermain. Secara ilmiah, game memang memicu keluarnya hormon kesenangan di otak yang membuat kita ketagihan dan terdorong maju. Lebih dari itu, game menyediakan struktur yang sering hilang dalam keseharian. Di dalam game selalu ada tujuan jelas yang harus dicapai, entah menyelamatkan dunia, mengalahkan naga, atau memenangkan liga. Tujuan besar itu dipecah menjadi misi-misi kecil, misalnya menemukan kunci rahasia atau menyelesaikan puzzle tertentu. Setiap kali satu misi kecil tuntas, permainan menghadiahi kita dengan poin, karakter naik level, atau item baru. Ada sensasi pencapaian instan yang nyata. Hal-hal kecil itulah yang membuat kita merasa produktif di dunia game.
Rahasia di Balik Keseruan
Bayangkan kalau ritme permainan itu kita terapkan dalam hidup sehari-hari. Sering kali kita jenuh atau kehilangan motivasi karena realitas tidak memberi umpan balik secepat dan sejelas game. Pekerjaan kantor atau tugas kuliah yang besar terasa berat karena ujungnya masih jauh, ibarat seekor naga raksasa yang belum tampak bayangannya. Padahal, solusinya mungkin sesederhana memecah “naga besar” itu menjadi tugas-tugas kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Ibarat menjalani quest di game, kita bisa fokus menyelesaikan satu per satu side quest: menulis satu halaman laporan, merampungkan satu bagian kecil proyek, atau belajar selama tiga puluh menit. Setiap kali satu sub-tugas selesai, beri diri sendiri hadiah kecil, entah itu istirahat sejenak, camilan favorit, atau bahkan sesi bermain game. Dengan cara itu, kita menciptakan loop pencapaian kita sendiri. Setiap langkah kecil terasa berarti, memicu semangat seperti saat melihat bilah XP karakter terisi sedikit demi sedikit. Produktivitas pun meningkat tanpa terasa dipaksa, karena kita menikmati prosesnya layaknya permainan.
Menikmati Game Tanpa Merusak Produktivitas
Lantas, bagaimana dengan urusan waktu? Bukankah bermain game menyita waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk hal “lebih produktif”? Faktanya, semua orang punya jumlah waktu yang sama setiap hari, yaitu 24 jam. Bedanya terletak pada prioritas dan pilihan kita. Buktinya, ada orang dengan jadwal sibuk tapi masih menyempatkan main game satu-dua jam sehari, sementara yang lain menyalakan PC lima belas menit saja sudah merasa berdosa. Rahasianya bukan pada ada tidaknya waktu luang, melainkan pada cara kita mengatur waktu yang ada. Sering kali waktu kita habis bukan untuk bermain, melainkan terselip pada aktivitas lain tanpa kita sadari, terlalu lama asyik scroll media sosial, menunda-nunda pekerjaan sambil menunggu “mood”, atau sibuk dengan hal-hal remeh. Mungkin sebenarnya ada porsi waktu yang bisa dialihkan untuk hal yang kita nikmati, termasuk bermain game, asalkan kita disiplin menentukan batasnya.
Tentu, ini bukan ajakan untuk menghabiskan sepanjang hari dengan game. Intinya justru soal keseimbangan dan pola pikir. Produktif bukan berarti 24 jam penuh bekerja tanpa henti. Produktivitas sejati adalah fokus pada hal-hal penting, namun tetap memberi ruang bagi diri sendiri untuk bernapas dan mengisi ulang energi. Kita perlu tahu kapan waktunya memacu diri dan kapan waktunya menarik jeda. Jika target utama hari itu sudah terpenuhi, tak ada salahnya menghadiahi diri dengan bersantai sejenak melakukan hobi. Tak perlu merasa gagal hanya karena meluangkan sedikit waktu untuk bersenang-senang. Percayalah, istirahat yang cukup dan pikiran yang bahagia justru menjadi landasan produktivitas jangka panjang.
Fenomena productivity guilt ini kian diperparah oleh era media sosial. Ketika lini masa dipenuhi orang-orang yang berlomba memamerkan kesibukan mereka, bangun sebelum subuh, bekerja tanpa kenal lelah, wajar jika kita ikut merasa bersalah saat tak sesibuk mereka. Saat kita santai bermain game atau menonton serial favorit, sering muncul pikiran mengusik: "Aduh, aku malas. Harusnya aku melakukan sesuatu yang lebih produktif." Padahal, apakah benar hidup harus selalu terlihat sibuk setiap detik? Di sinilah kita perlu mengingatkan diri bahwa istirahat itu penting, dan bermain game bukanlah sebuah dosa; kebahagiaan serta kesehatan mental kita sama nilainya dengan pencapaian prestasi. Bukankah rasa bahagia juga salah satu bentuk keberhasilan?
Mengatasi Rasa Bersalah: Berdamai dengan Waktu dan Diri Sendiri
Produktivitas dan hiburan bukanlah dua kubu yang saling bermusuhan. Keduanya justru bisa saling mendukung jika kita bijak mengelolanya. Bermain game hanyalah salah satu cara menikmati waktu luang, sama seperti hobi lainnya. Bedanya, game bahkan bisa memberi perspektif baru dalam memaknai tantangan dan pencapaian hidup. Selama kita tahu batas dan tanggung jawab tetap terpenuhi, nikmati saja hobi itu tanpa perlu menghakimi diri sendiri. Saya pribadi kini tak lagi menganggap bermain game sebagai “dosa kecil” penghambat sukses. Justru saya melihatnya sebagai bumbu penyedap dalam hidup yang membantu menjaga kewarasan dan semangat, bahkan menginspirasi cara baru untuk menjalani hidup dengan lebih seru dan produktif. Maka, saat keinginan bermain itu muncul lagi, ingatlah bahwa Anda berhak bersenang-senang. Biarlah frasa 'Bermain game merasa berdosa?' tak lebih dari sekadar pertanyaan retoris di masa lalu.
Biodata Penulis:
Wildan Pratama Faza, lahir pada tanggal 1 November 2004 di Banjarmasin, saat ini aktif sebagai mahasiswa Matematika, di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Penulis bisa disapa di Instagram @wildn_faz