Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Blokade Strategis: Selat Hormuz dan Risiko Domino Geopolitik Dunia

Penutupan Selat Hormuz bisa memicu krisis energi dan ekonomi global. Simak bagaimana ancaman ini berdampak pada harga minyak, geopolitik, dan ...

Bayangkan jika dalam satu malam, 20% lebih pasokan minyak dunia terhenti. Harga minyak melonjak tajam, rantai pasok global terguncang, dan ekonomi dunia memasuki masa krisis baru. Inilah potensi ancaman yang bisa terjadi jika Iran benar-benar memutuskan untuk menutup Selat Hormuz, salah satu jalur pelayaran paling strategis di dunia. Meskipun hanya memiliki lebar sekitar 39 km di titik tersempitnya, Selat Hormuz merupakan “urat nadi” perdagangan minyak dunia, tempat mengalirnya jutaan barel minyak mentah setiap hari dari negara-negara Teluk ke berbagai belahan dunia. Di balik ukurannya yang kecil, Selat Hormuz menyimpan kekuatan besar dalam geopolitik global.

Selat Hormuz

Selat Hormuz menjadi jalur vital bagi negara-negara penghasil minyak di Teluk Persia seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, dan tentu saja Iran sendiri. Lebih dari 17 juta barel minyak mentah melewati selat ini setiap harinya, menjadikannya jalur energi paling krusial di dunia. Oleh karena itu, ancaman Iran untuk menutup selat ini bukanlah gertakan kosong. Dalam situasi politik yang memanas, terutama saat terjadi ketegangan dengan Amerika Serikat dan sekutunya, Iran berulang kali mengancam akan menggunakan kekuasaannya atas Selat Hormuz sebagai bentuk tekanan balik. Hal ini membuat dunia bertanya-tanya: apa yang sebenarnya akan terjadi jika Iran benar-benar melakukannya?

Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, dunia akan menghadapi serangkaian efek domino yang cepat dan berbahaya. Pertama, harga minyak mentah akan langsung melonjak tajam. Bahkan dalam sejarah, hanya ancaman penutupan saja sudah cukup untuk membuat harga minyak global naik 5 hingga 10 persen dalam hitungan hari. Kedua, pasokan energi ke negara-negara pengimpor besar seperti Jepang, Tiongkok, India, dan Korea Selatan akan terganggu secara drastis, memicu krisis energi yang dapat melumpuhkan sektor transportasi, industri, dan rumah tangga. Ketiga, ekonomi global akan terguncang. Negara-negara yang sangat bergantung pada impor energi akan mengalami lonjakan inflasi, biaya produksi meningkat, dan pertumbuhan ekonomi melambat. Situasi ini juga bisa memicu instabilitas politik dalam negeri, terutama di negara-negara berkembang yang masyarakatnya sangat sensitif terhadap harga energi dan kebutuhan pokok.

Namun, dampaknya tidak berhenti pada ekonomi saja. Penutupan Selat Hormuz berpotensi menjadi titik awal konflik militer berskala regional atau bahkan global. Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, memiliki kepentingan langsung untuk memastikan selat ini tetap terbuka demi kelancaran perdagangan dan stabilitas pasar energi dunia. Kehadiran militer AS di kawasan Teluk tidak hanya bertujuan menjaga stabilitas Timur Tengah, tapi juga untuk melindungi kepentingan ekonominya. Jika Iran memblokade Hormuz, sangat mungkin AS akan merespons secara militer, membuka kemungkinan eskalasi konflik bersenjata di kawasan yang sudah rapuh.

Efek domino dari penutupan Hormuz akan dirasakan di berbagai belahan dunia. Negara-negara Asia Timur dan Selatan seperti Tiongkok, Jepang, dan India akan menjadi yang paling terdampak karena ketergantungan tinggi mereka pada minyak dari Teluk. Negara-negara Eropa mungkin tidak terlalu terganggu secara langsung, tapi akan tetap terkena imbas dari gejolak harga dan ketidakpastian global. Amerika Serikat sendiri saat ini memang lebih mandiri dalam hal energi, namun posisi strategisnya di wilayah Teluk menjadikannya tetap terlibat secara aktif dalam menjaga jalur ini. Sementara itu, negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan UEA akan mengalami kerugian ekonomi besar karena jalur ekspor mereka tertutup.

Untuk menghadapi kemungkinan ini, dunia sebenarnya memiliki dua pilihan. Pertama adalah jalur diplomasi. Membangun kembali dialog dengan Iran melalui pendekatan multilateral, misalnya dengan menghidupkan kembali kesepakatan nuklir (JCPOA), bisa menjadi salah satu solusi untuk meredam ketegangan. Memberi ruang bagi Iran untuk berpartisipasi dalam ekonomi global dapat mengurangi kebutuhan mereka menggunakan Hormuz sebagai senjata politik. Kedua adalah diversifikasi energi dan jalur distribusi. Negara-negara pengimpor minyak dapat mulai mengembangkan infrastruktur energi alternatif dan mencari jalur pengiriman lain, seperti pipa bypass melalui daratan Arab Saudi atau UEA. Selain itu, mempercepat transisi ke energi terbarukan juga menjadi langkah jangka panjang yang strategis.

Penutupan Selat Hormuz bukanlah hal yang sepele. Ia bukan sekadar isu regional di Timur Tengah, melainkan potensi krisis global yang menyentuh banyak aspek kehidupan: dari ekonomi, energi, hingga stabilitas politik dan keamanan internasional. Dunia harus menyadari bahwa ketergantungan berlebihan pada satu jalur energi dapat menjadi titik lemah yang fatal. Maka, menjaga Selat Hormuz tetap terbuka dan stabil harus menjadi prioritas bersama, baik melalui diplomasi, kerja sama internasional, maupun perencanaan jangka panjang untuk ketahanan energi. Sebab dalam dunia yang saling terhubung ini, satu titik kecil di peta seperti Hormuz bisa menjadi pemicu gempa besar yang mengguncang seluruh tatanan global.

Indah Nur Qolbi

Biodata Penulis:

Indah Nur Qolbi, kerap dipanggil Indah, saat ini sedang menempuh pendidikan, Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, di Universitas Sebelas Maret. Indah lahir pada tanggal 23 Desember 2005 di Sragen. Penulis yang hobi menggambar dan memasak ini bisa disapa di Instagram @ihnrq_5

© Sepenuhnya. All rights reserved.