Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Bukan Karena Selingkuh, Tapi Karena Tradisi Mertua yang Ribet

Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat perceraian di Indonesia menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Data dari Kementerian Agama mencatat ...

Ketika Perbedaan Budaya dalam Keluarga Menjadi Pemicu Perceraian

Tidak semua pernikahan berakhir karena drama besar seperti perselingkuhan atau kekerasan. Tidak sedikit rumah tangga hancur karena hal-hal yang dianggap remeh namun perlahan menumbulkan luka, seperti perbedaan budaya dan tradisi, pasangan yang tak memberi ruang untuk berbeda, dan mertua yang terlalu ikut campur.

Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat perceraian di Indonesia menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Data dari Kementerian Agama mencatat 291.667 kasus perceraian pada 2020, kemudian naik menjadi 447.743 kasus pada 2021, dan mencapai puncak 516.344 kasus pada 2022, pada tahun 2023 jumlahnya menurun menjadi 463.654 kasus, dan pada tahun 2024 terdapat 408.347 kasus. Badan Pusat Statistik dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menyebutkan penyebab utama dari perceraian di Indonesia adalah Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus dengan presentase sebesar 61,7% dan terdapat beberapa penyebab lain seperti masalah ekonomi, meninggalkan salah satu pihak (ghosting), dan KDRT.

Bukan Karena Selingkuh, Tapi Karena Tradisi Mertua yang Ribet

Budaya memiliki peran penting dalam fenomena ini. Perubahan nilai-nilai tradisional mulai memudar, dulu perceraian dianggap sebagai hal yang tabu dan tidak dapat diterima tapi kini masyarakat semakin terbuka terhadap perpisahan sebagai solusi sah untuk masalah pernikahan. Salah satu penyebab yang sering terlihat adalah perbedaan budaya dan tradisi dalam keluarga pasangan, diantaranya pernikahan beda suku, agama, atau latar belakang sosial ekonomi. Perbedaan budaya dalam pernikahan dapat mempengaruhi hubungan dan menjadi faktor pemicu perceraian. Unsur-unsur seperti perbedaan nilai, agama, dan latar belakang sosial ekonomi dapat menciptakan konflik yang sulit diatasi.

Pernikahan sejatinya bukan hanya menyatukan dua individu, tapi juga dua keluarga dan budaya. Ketika salah satu pihak memaksakan tradisi atau budaya tanpa komunikasi yang baik, pernikahan bisa berubah menjadi beban. Menantu akan diangap tidak sopan jika mempertanyakan tradisi keluarga sementara pasangannya sering kali tidak berani membela atau bahkan ikut menyalahkan. Pernikahan yang awalnya harmonis perlahan berubah menjadi arena konflik, tidak ada pertengkaran besar, kekerasan, atau perselingkuhan tapi adanya kelelahan emosional yang terus menumpuk dan adanya perasaan terasing di rumah sendiri.

Di sinilah konseling multibudaya memiliki peran penting. Konselor membantu padangan dalam memahami dan menghargai perbedaan budaya, membuka ruang komunikasi, serta membangun batasan yang sehat dengan keluarga pasangan. Dengan pendekatan ini, pasangan tidak dipaksa untuk “mengalah” pada satu budaya saja, tetapi diajak untuk berdialog, beradaptasi, dan membentuk tradisi baru bersama sehingga pasangan dan keluarganya dapat lebih terbuka dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan.

Agar budaya tidak menjadi bumerang dalam pernikahan, dapat dilakukan komunikasi terbuka terkait perbedaan budaya dan harapan keluarga dari sebelum menikah, meningkatkan rasa toleransi dan pemahaman bahwa perbedaan bukan ancaman tetapi proses belajar dan beradaptasi, pasangan harus berani menetapkan batasan yang jelas dengan keluarga besar, keluarga besar juga perlu diberikan pemahaman bahwa pernikahan membutuhkan ruang bagi pasangan membentuk tradisinya sendiri, serta konseling dapat menjadi jembatan untuk mempertemukan ua budaya dan mencari titik tengah yang adil bagi kedua keluarga.

Perceraian kadang bukan hanya soal hilangnya cinta, tapi karena tradisi dan budaya yang terlalu mengekang serta pasangan yang tidak lagi saling mendukung. Maka, sebelum pernikahan dilakukan pastikan perbedaan budaya dibicarakan. Jika mulai merasa sesak, mungkin yang dibutuhkan bukan perceraian tapi bantuan untuk menjembatani perbedaan.

Sumber:

  • Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/id . Diakses pada 4 Juni 2025, 10.50.
  • Kementerian Agama Republik Indonesia. https://kemenag.go.id/ar. Diakses pada 4 Juni 2025, 11.00.
  • Nouvan. Jumlah Kasus Perceraian di Indonesia 2024 Berdasarkan Penyebabnya. Dataloka. 9 Maret 2025. https://dataloka.id/humaniora/2951/jumlah-kasus-perceraian-di-indonesia-2024-berdasarkan-penyebabnya/. Diakses pada 4 Juni 2025 pukul 10.53.
  • Januari, N. (2023). Menggali Akar Masalah: Analisis Kasus Perceraian di Indonesia. AKADEMIK: Jurnal Mahasiswa Humanis, 3(3), 120-130.
  • Manna, N. S., Doriza, S., & Oktaviani, M. (2021). Cerai Gugat: Telaah Penyebab Perceraian pada Keluarga di Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora, 6(1), 11-21.

Biodata Penulis:

Laila Fi Hidayati Nur Fadhilah saat ini aktif sebagai mahasiswa, Bimbingan dan Konseling, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.