Mungkin kamu pernah mendengar kalimat “Aku tuh memang tidak punya bakat matematika sejak lahir!” atau semacamnya yang keluar dari mulut seseorang. Padahal bayi baru lahir saja tidak ada yang langsung jago aljabar atau mengerti logaritma. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa terdapat segelintir orang yang benar-benar membenci matematika karena merasa memang itu bukan bakatnya atau kemampuannya.
Tapi, apa iya? Memangnya matematika hanya bisa dikuasai oleh mereka yang jenius atau anak olimpiade dengan otak level dewa? Jawabannya tentu tidak. Serius, matematika itu bukan soal bakat dari lahir ataupun DNA warisan orang tua, tapi soal latihan, cara berpikir, dan cara belajar yang tepat. Maka dari itu, kabar baik datang lewat artikel ini yang akan berisikan pencerahan serta cara-cara agar kamu dapat memahami ilmu matematika dengan mudah atau bahkan bisa langsung ahli di keesokan harinya.
Matematika itu Bukan Warisan Keturunan, Tapi Kekonsistenan
Kalau kamu lahir dari orang tua yang seorang akuntan atau profesor matematika, itu artinya selamat! Kamu tetap harus belajar matematika dari awal. Jadi, walaupun ayah dan ibu kamu pintar matematika, itu tidak berarti di dalam diri kamu telah ditanamkan ilmu tersebut sejak masih di dalam kandungan. Memangnya kamu pernah lihat ada seorang anak bayi yang baru lahir seketika bisa menghitung integral, 1 + 1? Tentu tidak kan? Mereka yang ahli matematika itu dulunya juga tidak bisa kok. Mereka hanya memiliki ketertarikan, tekad yang kuat dan pendirian yang mantap sehingga mampu mendapatkan kemampuan matematika itu sendiri.
Menurut penelitian Neuroscience, otak manusia itu bisa dilatih dengan kemampuan berpikir logis, menyelesaikan masalah, dan mengolah angka yang di tempa lewat latihan secara berulang dan konsisten.
Sebagai contoh saat kamu asyik bermain video gim, misalnya Mobile Legends. Awalnya kamu juga tidak mengerti cara mainnya kan? Nah, karena dari kamu sudah ada rasa ketertarikan akhirnya kamu mencoba belajar bermain video gim tersebut secara berulang-ulang. Ketika akhirnya kamu bisa, di saat itu juga muncul sensasi yang menyenangkan bukan? Setelah itu kamu mulai mempelajari hero dan item-item yang ada di video gim tersebut secara konsisten, bahkan mungkin saking konsistennya ternyata ada yang tembus sampai turnamen tingkat nasional. Begitu juga dengan matematika. Dari sini dapat intinya dan mulai paham kan? Oke, kita lanjut.
Pilih Guru yang Tepat, Asyik, dan Motivator
Serius! Dengan memilih guru yang tepat menurut kamu, aku jamin 100% kamu bakal langsung jago keesokan harinya. Apalagi kalau bisa diajak mendengarkan curahan hati dan paham perasaan kita, rasanya semua perkataan yang keluar dari mulut guru itu langsung gampang tercerna di otak kita.
Sedikit kisah masa kecil dari aku, dulu saat kelas 1 sekolah dasar aku juga tidak bisa matematika. Aku sama sekali tidak dapat memahami apa yang dijelaskan oleh guru di sekolah waktu itu. Bahkan ketika ujian akhir semester, nilaiku hanya 60. Itu cukup membuatku di kurung dalam kamar mandi selama 1 jam oleh ayah. Ayahku adalah orang yang tegas. Setelah mendapatkan nilai tersebut akhirnya aku lebih memilih belajar dengan sang kakek. Beliau juga tegas kalau sedang mengajar. Bahkan aku selalu mendapatkan bentakan setiap kali melakukan kesalahan. Namun siapa sangka, aku dapat dengan mudah memahami materi yang diajarkan kakek. Setelah belajar, kakek selalu mengajakku untuk menonton film. Sebuah pengalaman yang sederhana namun berharga.
Jadi intinya jika kamu tidak dapat memahami apa yang dijelaskan gurumu di sekolah, kamu bisa kok mencari guru yang cocok di luar lingkungan sekolah. Siapa saja bisa, asalkan dengan penjelasannya kamu lebih dapat memahami materi dengan baik.
Perbaiki Mindset, Cari Gaya Belajar yang Cocok Buat Kamu
Kebanyakan orang yang jago matematika dulunya juga sering salah, bedanya mereka tidak langsung menyerah. Mereka berpikir “aku bukan tidak bisa, tetapi belum bisa dan sebentar lagi bisa”, Ini yang disebut growth mindset. Jadi mulai sekarang tanamkan pikiran dengan jangan bilang “aku tidak bisa”, tapi bilang “aku belum bisa dan sebentar lagi bakal bisa”.
Kemudian cari gaya belajar yang cocok denganmu, karena tidak semua orang bisa disuruh belajar dengan cara yang sama. Jika kamu suka visual gambar, kamu bisa belajar dengan membaca diagram data, video animasi, dan lain-lain. Jika kamu suka yang menggunakan logika, bisa coba soal cerita yang membuat seolah-olah kita menjadi detektif. Jika kamu suka video gim, coba mainkan gim yang berisi puzzle matematika atau strategi.
Kamu Bilang Benci, Padahal Kamu Sedang Menggunakannya Setiap Hari. Stop Denial!
Bahkan sebenarnya kamu sudah menerapkan ilmu matematika setiap hari lho. Kamu pergi ke minimarket untuk membeli: 3 bungkus roti, 2 botol kopi, dan 2 es krim. Kemudian kamu mulai menghitung total biayanya. Selamat! Kamu telah menerapkan ilmu matematika dengan operasi matematika. Ambil satu contoh lagi yaitu ketika kamu sedang memasak nasi, kamu mesti bakal membuat perbandingan antara beras dan air misalnya 1 banding 1,5. Kalau kamu asal menuangkan air, jangan salahkan matematikanya jika nasi yang kamu masak telah menjadi bubur.
Jadi, ayolah! Hilangkan pikiran seperti itu dan lakukan kembali seperti di poin ke-tiga. Bahkan Albert Einstein dulu pun tidak bisa perkalian 7×8 saja tidak langsung memvonis dirinya membenci matematika. Jika saat itu Albert Einstein menyerah dengan hasil belajarnya, kira-kira apa yang terjadi dengan keadaan dunia sekarang ya?
Sebelum penutupan, aku ingin menyimpulkan lagi semua yang kita bahas dari awal sampai akhir. Semua orang bisa belajar matematika, otak kita bisa dilatih, gaya belajar bisa disesuaikan, konsistensi jauh lebih penting dari bakat, dan guru yang tepat tentunya. Tidak ada yang tidak bisa matematika, hanya saja malas untuk belajar lebih jauh. Dan kalau kamu ingin mendengarkan motivasi terakhir dari aku, “Kamu sudah berhasil melewati hidup ini sejauh ini… Artinya kamu sudah pakai matematika ribuan kali tanpa sadar. Kamu lebih pintar dari yang kamu kira”.
Jadi, yuk mulai dari sekarang buka buku, tonton video edukasi, coba soal. Salah? Tidak apa-apa. Mengulang? Wajar. Menyerah? Jangan dulu. Karena siapa tahu, sebentar lagi kamu bakal bilang “Eh, ternyata matematika tidak semenyeramkan itu ya!”.
Biodata Penulis:
Rulli Ikbar Hemawan, lahir pada tanggal 7 Januari 2006 di Pangkalan Bun, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penulis bisa disapa di Instagram @rulli_ikbar