Dulu, orang tua kita menabung di celengan ayam dari tanah liat. Setiap receh diselipkan dengan sabar dan diam-diam. Kini, tanpa perlu koin fisik, cukup transaksi seribu perak di aplikasi e-wallet, dan sistem otomatis akan "menggeser" sisa kembalian ke saldo tabungan digital. Inilah wajah baru menabung di era teknologi: sederhana, spontan, dan (konon) tanpa terasa. Fenomena celengan digital ini bukan hanya tren, tapi cerminan cara generasi muda memandang uang, kedisiplinan, dan masa depan.
1. Menabung Ala Gen Z: Klik, Beli, Sisihkan
Bagi Gen Z dan Milenial muda, menabung bukan lagi soal disiplin harian, tapi soal otomatisasi. Fitur “auto-save” dan “round-up” di berbagai aplikasi keuangan seperti Gojek, OVO, Jago, dan Bibit memungkinkan pengguna menyimpan uang secara tidak langsung. Misalnya, belanja Rp18.500, sistem akan otomatis membulatkan ke Rp20.000 dan menyimpan sisanya ke rekening tabungan digital. Tanpa sadar, puluhan ribu rupiah bisa terkumpul dalam seminggu.
2. Celengan Digital dan Ilusi Keamanan Finansial
Meskipun terasa ringan dan menyenangkan, celengan digital juga menyimpan ilusi. Banyak orang merasa “sudah menabung” padahal nominalnya belum tentu mencukupi untuk tujuan jangka panjang. Di sisi lain, kemudahan tarik dana kapan saja membuat tabungan digital rawan dijadikan dana konsumtif darurat bukan simpanan jangka panjang. Celengan digital bisa jadi jebakan manis jika tidak disertai kesadaran finansial.
3. Literasi Finansial di Balik Inovasi Aplikasi
Fenomena ini membuka ruang baru bagi edukasi keuangan. Fitur digital bisa mendorong orang menabung lebih konsisten, tetapi hanya jika disertai pemahaman soal tujuan finansial, kebutuhan vs keinginan, serta kebiasaan menunda konsumsi. Banyak pengguna muda yang merasa keren karena punya portofolio reksa dana, tapi lupa membangun dana darurat. Inilah pentingnya menyandingkan teknologi dengan edukasi keuangan yang kontekstual.
4. Dampak Sosial: Dari Gaya Hidup ke Kesadaran Kolektif
Celengan digital menciptakan gaya hidup baru: menabung diam-diam tanpa “menyiksa”. Ini bisa jadi alat positif untuk menyiasati hidup di tengah tekanan ekonomi urban biaya kos, kopi kekinian, dan cicilan. Bahkan banyak komunitas berbasis media sosial mulai mempopulerkan tantangan "nabung receh digital 100 hari", sebagai gerakan bersama. Di sini, menabung bukan hanya untuk diri sendiri, tapi menjadi simbol kontrol diri di tengah gaya hidup impulsif.
5. Masa Depan Menabung: Otomatisasi atau Kesadaran?
Kita mungkin sedang menyambut era baru: menabung tidak lagi soal niat, tapi soal sistem. Tapi otomatisasi tanpa kesadaran bisa menjauhkan kita dari refleksi soal makna uang dan prioritas. Masa depan keuangan bukan hanya tentang aplikasi canggih, tetapi tentang bagaimana manusia tetap memegang kendali atas uangnya sendiri.
Antara Celengan Tanah Liat dan E-Wallet
Dari celengan ayam ke e-wallet, esensi menabung tetap sama: menyisihkan demi masa depan. Namun yang berubah adalah cara dan maknanya. Celengan digital adalah jembatan yang menjanjikan, tetapi hanya akan kuat jika ditopang oleh literasi, kesadaran, dan tujuan yang jelas.
Biodata Penulis:
Nirina Nasywa Nurfea saat ini aktif sebagai mahasiswi di Universitas Sebelas Maret, Program Studi Ilmu Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.