Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Cinta Sejati dalam Filsafat Socrates: Kebijaksanaan sebagai Jalan Menuju Kebaikan

Cinta merupakan salah satu tema universal yang senantiasa menjadi pusat perhatian dalam berbagai tradisi filsafat, seni, dan agama. Namun, makna ...

Abstrak

Esai ini mengulas konsep cinta sejati dalam perspektif filsafat Socrates, yang tidak sekadar dimaknai sebagai hasrat romantis atau ketertarikan fisik, melainkan sebagai dorongan jiwa menuju kebijaksanaan dan kebaikan sejati. Dalam dialog-dialog Plato, khususnya Symposium dan Phaedrus, Socrates menekankan bahwa cinta (eros) sejati adalah kekuatan yang membimbing manusia melampaui kenikmatan duniawi menuju kontemplasi akan bentuk-bentuk ideal, terutama Kebaikan dan Kebenaran. Cinta menjadi jalan etis dan intelektual untuk menggapai kehidupan yang bermakna. Dengan demikian, cinta sejati menurut Socrates bersifat transenden dan bersumber dari kerinduan jiwa akan kesempurnaan. Melalui refleksi filosofis ini, esai menegaskan bahwa cinta dan kebijaksanaan tidak dapat dipisahkan dalam pencarian hidup yang luhur dan bermoral.

Pendahuluan

Cinta merupakan salah satu tema universal yang senantiasa menjadi pusat perhatian dalam berbagai tradisi filsafat, seni, dan agama. Namun, makna cinta sejati sering kali disempitkan hanya pada aspek emosional atau romantis, tanpa menggali kedalaman filosofis yang melatarbelakanginya. Dalam tradisi filsafat Yunani Kuno, Socrates melalui dialog-dialog Plato, menghadirkan pemahaman yang unik dan mendalam tentang cinta. Bagi Socrates, cinta (eros) bukan sekadar dorongan fisik atau perasaan sesaat, melainkan kekuatan jiwa yang mendorong manusia untuk mengejar kebenaran, keindahan, dan terutama kebijaksanaan.

Cinta Sejati dalam Filsafat Socrates

Pemikiran Socrates tentang cinta sejati tidak bisa dilepaskan dari pandangannya mengenai tujuan hidup manusia, yaitu pencarian akan kebaikan dan kehidupan yang berharga. Cinta menjadi jembatan antara kondisi manusiawi yang terbatas dan dunia ide yang sempurna. Dalam dialog Symposium, Socrates menggambarkan cinta sebagai proses pendakian jiwa dari cinta pada hal-hal indrawi menuju cinta pada bentuk-bentuk ideal, puncaknya adalah cinta pada Kebijaksanaan itu sendiri. Dengan demikian, cinta sejati merupakan pengalaman eksistensial dan intelektual yang mengangkat manusia menuju pengenalan akan yang transenden. Maka, cinta sejati merupakan jembatan antara dunia fenomenal yang penuh keterbatasan dan dunia ideal yang sempurna, antara manusia sebagai makhluk sementara dan kebenaran sebagai realitas kekal.

Metode

Esai ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi pustaka (library research) sebagai metode utama. Pendekatan ini memungkinkan penulis untuk menelaah dan menganalisis secara mendalam pemikiran Socrates tentang cinta sejati sebagaimana tercermin dalam dialog-dialog Plato, khususnya Symposium dan Phaedrus. Penulis mengkaji teks-teks filsafat klasik serta literatur sekunder yang relevan untuk memahami konteks historis dan konseptual dari pandangan Socrates mengenai cinta (eros), kebijaksanaan, dan kebaikan.

Hasil dan Pembahasan

Pemikiran Socrates tentang cinta sejati (eros) tidak dapat dilepaskan dari pandangan hidupnya yang menekankan pentingnya kebijaksanaan sebagai jalan menuju kebaikan tertinggi. Melalui dialog Symposium dan Phaedrus yang ditulis oleh muridnya, Plato, Socrates menggambarkan cinta bukan sebagai dorongan nafsu semata, tetapi sebagai kekuatan jiwa yang memotivasi manusia untuk melampaui dunia fisik dan menuju pada yang transenden.

1. Cinta sebagai Kerinduan akan Kebaikan Abadi

Bagi Socrates, cinta sejati lahir dari kekurangan—manusia mencintai karena merasakan ketidaklengkapan dalam dirinya. Namun, kekurangan ini bukan sekadar tentang hal-hal lahiriah, melainkan berkaitan dengan kerinduan mendalam akan kebaikan dan keindahan yang sempurna dan abadi. Cinta bukan tertuju pada objek tertentu secara tetap, melainkan berkembang menuju objek yang semakin sempurna. Dalam Symposium, Socrates melalui tokoh Diotima, menguraikan bahwa cinta sejati adalah proses pendakian jiwa, dari mencintai satu tubuh, lalu semua tubuh, hingga mencintai jiwa, hukum, ilmu, dan akhirnya mencapai bentuk Kebaikan itu sendiri (the Form of the Good).

2. Cinta sebagai Jalan Menuju Kebijaksanaan

Socrates memandang cinta sejati sebagai kekuatan yang mendorong manusia untuk menjadi bijaksana. Cinta membawa manusia keluar dari keterikatan pada dunia indrawi dan membimbingnya pada pengetahuan yang lebih tinggi. Dalam pandangan ini, cinta erat kaitannya dengan philosophia, yaitu cinta akan kebijaksanaan. Maka, eros menjadi motivasi filosofis, mendorong jiwa manusia untuk terus belajar, merenung, dan menyatu dengan kebenaran. Kebijaksanaan, bagi Socrates, bukan hanya akumulasi pengetahuan, tetapi kesadaran akan ketidaktahuan yang mendorong pencarian terus-menerus terhadap makna dan nilai hidup.

Dalam pandangan filsafat Socrates, cinta sangat erat kaitannya dengan philosophia, yaitu cinta akan kebijaksanaan. Filosofi, dalam arti ini, bukan sekadar studi teoretis, tetapi perjalanan batin yang didorong oleh eros—hasrat yang bukan hanya bersifat sensual, tetapi juga intelektual dan spiritual. Eros, menurut Socrates, adalah kekuatan yang menyalakan semangat dalam diri manusia untuk terus bertanya, belajar, dan merenung. Ia menjadi motivasi filosofis yang menggerakkan jiwa untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan, eksistensi, dan realitas yang lebih tinggi.

Lebih jauh, Socrates tidak memandang kebijaksanaan sebagai sekadar akumulasi atau tumpukan pengetahuan. Sebaliknya, ia melihat kebijaksanaan sebagai suatu bentuk kesadaran yang jujur dan rendah hati tentang keterbatasan diri sendiri—yakni, kesadaran akan ketidaktahuan. Justru dari pengakuan atas ketidaktahuan inilah muncul dorongan kuat untuk terus mencari kebenaran, memperdalam pemahaman, dan mengejar makna sejati kehidupan. Dengan demikian, cinta sejati dalam pemikiran Socrates adalah daya spiritual yang tidak hanya menghubungkan manusia dengan sesama, tetapi juga mengarahkan jiwa manusia menuju yang Ilahi—menuju keindahan, kebaikan, dan kebenaran yang hakiki.

3. Cinta sebagai Proses Transendensi

Pemikiran Socrates memperlihatkan bahwa cinta sejati bersifat transendental. Ia bukan berhenti pada aspek fisik atau relasional semata, tetapi menjadi jembatan menuju dunia ide. Dalam Phaedrus, Socrates menggambarkan jiwa manusia sebagai kereta bersayap yang ditarik oleh dua kuda—yang satu menggambarkan nafsu, dan yang lain kehendak luhur. Cinta sejati membantu jiwa untuk terbang ke dunia adikodrati, tempat bentuk-bentuk ideal berada. Di sana, jiwa mengalami ekstase karena menyentuh keindahan sejati, yang tak lagi bersifat material.

Cinta sejati, menurut Socrates, berperan penting dalam proses spiritual ini. Cinta sejati membangkitkan kerinduan terdalam dalam diri manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pengalaman indrawi. Ketika seseorang mencintai secara sejati, ia mulai mengarahkan perhatian dan afeksinya kepada keindahan yang lebih murni—keindahan jiwa, nilai-nilai kebenaran, dan pada akhirnya keindahan yang bersifat ilahi. Dalam penerbangan spiritual ini, jiwa mengalami ekstase, yaitu keluar dari dirinya yang terbatas, dan bersentuhan langsung dengan realitas tertinggi: bentuk-bentuk ideal seperti keindahan, keadilan, dan kebaikan.

Di dunia ide itulah, jiwa menemukan kepenuhan dan kedamaian sejati. Keindahan yang dirasakan tidak lagi bersifat material atau fana, melainkan keindahan yang abadi dan tak tercemari oleh perubahan dunia fisik. Dengan demikian, cinta sejati dalam filsafat Socrates tidak berhenti pada ketertarikan fisik, tetapi menjadi daya ilahi yang membimbing manusia menuju pencerahan dan persatuan dengan realitas yang tertinggi. Inilah bentuk cinta yang paling luhur: cinta yang menyucikan, mengarahkan, dan membebaskan jiwa menuju kebenaran yang sejati.

4. Relevansi Cinta Socrates di Era Modern

Di tengah zaman yang cenderung mereduksi cinta menjadi konsumsi emosional atau relasi transaksional, pemikiran Socrates menghadirkan alternatif yang dalam dan bernilai. Cinta sejati bukan hanya soal memiliki, melainkan soal menjadi—menjadi bijak, menjadi baik, dan menjadi manusia yang utuh. Dalam konteks modern, cinta seperti ini memberi arah bagi manusia untuk tidak berhenti pada kepuasan sesaat, tetapi mengarahkan hidup kepada pencarian makna, kebaikan, dan integritas diri. Maka, cinta sejati menurut Socrates dapat menjadi inspirasi untuk menjalani hidup secara reflektif, penuh kesadaran, dan tanggung jawab moral.

Cinta, dalam pemahaman Socrates, adalah dorongan menuju yang baik dan yang indah, bukan dalam arti fisik semata, tetapi lebih pada bentuk ideal yang mengarahkan manusia kepada kebenaran hakiki. Cinta adalah tangga menuju kebajikan (virtue), di mana seseorang dituntun dari cinta pada tubuh, naik menuju cinta pada jiwa, hingga akhirnya mencintai pengetahuan dan kebijaksanaan itu sendiri. Dengan demikian, cinta berfungsi sebagai sarana kontemplatif dan etis dalam pembentukan karakter dan kehidupan yang bermakna.

Dalam konteks kehidupan modern yang sering kali disibukkan oleh pencarian kepuasan instan, ketenaran, atau kenikmatan duniawi, gagasan ini menawarkan sebuah jalan alternatif. Cinta sejati tidak membenamkan manusia dalam hasrat yang tak terkendali atau relasi yang dangkal, melainkan justru mengangkat manusia dari keterikatan duniawi menuju refleksi yang mendalam atas eksistensi dirinya. Ia mendorong manusia untuk tidak sekadar hidup, tetapi untuk hidup secara sadar, otentik, dan bertanggung jawab.

Kesimpulan

Pemikiran Socrates tentang cinta sejati menawarkan pandangan yang mendalam dan transformatif terhadap makna cinta dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan pemahaman umum yang cenderung memusatkan cinta pada aspek emosional atau fisik semata, Socrates menempatkan cinta sebagai kekuatan jiwa yang mendorong manusia menuju kebijaksanaan dan kebaikan tertinggi. Cinta sejati, dalam pandangan ini, bukan sekadar perasaan, tetapi sebuah proses spiritual dan intelektual yang membimbing manusia untuk melampaui dunia indrawi dan mencapai bentuk-bentuk ideal, terutama Kebaikan dan Kebenaran.

Dengan demikian, cinta sejati menurut filsafat Socrates adalah jalan menuju transformasi diri, penyucian jiwa, dan pembebasan dari keterikatan duniawi. Di tengah krisis makna dalam kehidupan modern, pemahaman ini mengajak kita untuk melihat cinta bukan hanya sebagai rasa memiliki, tetapi sebagai jalan menjadi: menjadi bijaksana, menjadi baik, dan menjadi manusia yang utuh.

Daftar Pustaka

  • Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
  • Nehamas, Alexander. The Art of Living: Socratic Reflections from Plato to Foucault. Berkeley: University of California Press, 1998.
  • Nussbaum, Martha C. The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
  • Plato. Phaedrus. Translated by Benjamin Jowett. New York: Dover Publications, 1990.
  • Plato. Symposium. Translated by A. S. Rouse. London: Penguin Classics, 1951.
  • Rahardjo, Dawam. Ensiklopedi Tematis Dunia Filsafat: Cinta dan Etika. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
  • Vlastos, Gregory. Socrates: Ironist and Moral Philosopher. Ithaca: Cornell University Press, 1991.

Aprianus Gregorian Bahtera

Biodata Penulis:

Aprianus Gregorian Bahtera saat ini aktif sebagai mahasiswa, Fakultas Filsafat, di Unwira.
© Sepenuhnya. All rights reserved.