Darurat Kekerasan terhadap Perempuan: Saatnya Negara dan Masyarakat Bertindak

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual sepanjang hidupnya.

Dalam lanskap pemberitaan yang terus bergulir dari hari ke hari, satu fakta kelam seolah tetap membayang tanpa pernah betul-betul mendapat perhatian yang layak: kekerasan terhadap perempuan terus terjadi, bahkan semakin mengkhawatirkan. Media seperti lineberita maupun kanal pemberitaan lainnya telah berperan penting dalam mengangkat kasus-kasus besar yang viral di media sosial, sehingga mendorong kesadaran publik. Namun, di balik sorotan tersebut, masih banyak perempuan yang mengalami penderitaan—mereka yang kisahnya belum sempat tersampaikan ke ruang publik.

Gelapnya Angka yang Meninggi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual sepanjang hidupnya. Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah gambaran nyata bahwa tubuh dan jiwa perempuan masih menjadi arena kekuasaan yang terus dieksploitasi. Data global tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata 140 perempuan dan anak perempuan dibunuh setiap hari oleh pasangan atau anggota keluarga mereka sendiri. Angka ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menggambarkan bagaimana rumah, yang seharusnya menjadi tempat paling aman, justru menjelma menjadi ruang paling berbahaya.

Darurat Kekerasan terhadap Perempuan

Indonesia, sebagai bagian dari komunitas global, tak luput dari kondisi ini. Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat 31.947 laporan kekerasan, dan sebanyak 27.658 di antaranya menimpa perempuan. Hingga Maret 2025 saja, sudah tercatat 3.886 kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini artinya, dalam hitungan hari, puluhan hingga ratusan perempuan menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk—baik fisik, seksual, ekonomi, maupun psikis.

Kekerasan yang Mengakar dalam Sistem Sosial

Kekerasan terhadap perempuan tidak muncul dari ruang hampa. Ia tumbuh dalam struktur sosial yang secara sistematis membenarkan subordinasi perempuan. Norma patriarkal yang tertanam sejak dini dalam keluarga, pendidikan, dan masyarakat luas telah menciptakan ruang-ruang ketimpangan kuasa. Sejak kecil, anak perempuan diajarkan untuk patuh, diam, dan mengalah. Ketika dewasa, mereka dituntut untuk menjadi “istri baik” yang menerima perlakuan suami, bahkan ketika itu berbalut kekerasan.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi bentuk paling dominan yang dilaporkan. Namun ironisnya, angka ini diyakini hanya sebagian kecil dari realita yang sebenarnya terjadi. Banyak perempuan memilih bungkam. Sebagian karena takut akan stigma, sebagian karena tidak tahu harus melapor ke mana, dan sebagian lainnya karena berpikir bahwa tidak akan ada yang berubah. Diam menjadi mekanisme bertahan hidup, bukan karena lemah, melainkan karena sistem yang ada tidak berpihak pada mereka.

UU TPKS: Sebuah Langkah, Tapi Masih Terbata-bata

Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Mei 2022 menjadi angin segar yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak. UU ini dianggap sebagai tonggak penting dalam pengakuan hak korban dan pemberian payung hukum yang lebih menyeluruh. Namun, sebagaimana hukum lain di negeri ini, implementasi menjadi tantangan utama.

Masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami substansi UU ini. Di tingkat lapangan, korban kekerasan seksual masih menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. “Kamu pakai baju apa?”, “Kenapa tidak melawan?”, “Apa kamu sudah menikah?”. Proses hukum yang panjang dan melelahkan kerap membuat korban memilih mundur. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang mengalami reviktimisasi, yakni menjadi korban untuk kedua kalinya oleh sistem hukum yang seharusnya melindungi.

Dalam banyak kasus, pelaku kekerasan seksual justru bebas berkeliaran, sementara korban menanggung beban trauma seumur hidup. Belum lagi tantangan dalam penyediaan pendamping hukum, psikolog, dan layanan rehabilitasi yang memadai. UU TPKS ibarat kapal besar yang telah diluncurkan, namun belum dilengkapi awak dan navigasi yang memadai.

Femicide: Ketika Tubuh Perempuan Dianggap Milik Kolektif

Fenomena femicide atau pembunuhan perempuan karena alasan gender bukanlah hal baru. Dalam banyak kasus, motif utamanya adalah hasrat untuk mengontrol perempuan, membalas dendam, atau mempertahankan “kehormatan” yang salah kaprah. Di Amerika Latin, istilah crimen de honor masih digunakan untuk membenarkan pembunuhan perempuan oleh keluarga yang merasa “tercemar”. Di Indonesia, pembunuhan karena cemburu, penolakan lamaran, atau ingin putus kerap dibungkus dengan narasi romantik media: “karena cinta”, “tidak rela kehilangan”.

Padahal, di balik narasi-narasi tersebut, tersembunyi realita bahwa perempuan tidak dianggap sebagai individu merdeka yang berhak menentukan hidupnya sendiri. Tubuh perempuan menjadi milik publik, menjadi objek yang bisa diperlakukan sekehendak hati. Femicide bukanlah “kasus cinta tragis”, tetapi hasil dari budaya patriarkal yang membunuh secara literal.

Media dan Sensasionalisasi Kekerasan

Peran media dalam membentuk opini publik tidak bisa dikesampingkan. Sayangnya, dalam banyak kasus, media justru terjebak pada eksploitasi cerita tragis demi klik dan rating. Kekerasan seksual masih kerap diberitakan dengan judul bombastis yang menghilangkan martabat korban. Identitas korban sering bocor, bahkan dalam beberapa kasus disertai dengan foto, inisial, dan latar belakang keluarga.

Alih-alih membela korban, media kadang secara tidak sadar memperkuat stigma. Misalnya, menyebut bahwa korban adalah perempuan “nakal”, “pencari perhatian”, atau “terlalu bebas”. Framing seperti ini tidak hanya menyesatkan, tapi juga berbahaya, karena membuat perempuan enggan melapor. Media seharusnya menjadi sekutu korban, bukan alat untuk mengulang kekerasan dalam bentuk lain.

Ketika Perempuan Tidak Percaya Lagi pada Sistem

Di banyak wilayah Indonesia, akses terhadap layanan perlindungan masih sangat terbatas. Di daerah terpencil, kantor polisi bisa berjarak puluhan kilometer, belum lagi jika korban tidak memiliki biaya atau transportasi. Ketika sampai di kantor polisi, mereka sering kali tidak dilayani dengan layak. Petugas bisa memintanya “menyelesaikan secara kekeluargaan”, atau menyarankan “jangan diperbesar”.

Layanan psikolog, pendamping hukum, rumah aman, hingga hotline 24 jam sangat minim. Laporan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil daerah yang memiliki sistem rujukan terpadu. Ini artinya, ketika seorang perempuan menjadi korban, ia harus menanggung beban administratif, mental, dan sosial sendirian. Dalam situasi seperti ini, tidak mengherankan jika angka pelaporan jauh lebih kecil dari jumlah kejadian sebenarnya.

Anak dan Perempuan sebagai Korban Kekerasan Berlapis

Perempuan yang menjadi korban kekerasan seringkali juga membawa anak-anak dalam pusaran yang sama. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga mengalami trauma yang tidak kalah berat. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang tidak aman, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari kehidupan, dan kelak mungkin akan mengulang pola yang sama.

Dalam kasus kekerasan seksual, korban anak perempuan menghadapi kerentanan ganda. Mereka tidak hanya disakiti secara fisik, tapi juga mengalami kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya aman dan riang. Banyak di antara mereka yang tidak pernah pulih sepenuhnya, dan membawa luka itu hingga dewasa.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Menjawab darurat kekerasan terhadap perempuan membutuhkan pendekatan menyeluruh dan komitmen jangka panjang. Berikut ini beberapa langkah yang perlu terus diperjuangkan:

  1. Pendidikan kesetaraan gender sejak dini. Anak-anak harus diajarkan untuk menghormati, bukan mendominasi. Sekolah harus menjadi tempat yang aman dan bebas dari kekerasan berbasis gender.
  2. Pelatihan aparat dan penyedia layanan. Polisi, jaksa, hakim, guru, tenaga medis, dan tokoh masyarakat perlu dibekali pemahaman sensitif gender agar tidak memperburuk kondisi korban.
  3. Peningkatan layanan pendampingan korban. Rumah aman, hotline 24 jam, konseling psikologis, dan bantuan hukum harus tersedia di semua daerah, terutama di pelosok yang aksesnya minim.
  4. Penegakan hukum tanpa kompromi. Pelaku kekerasan harus dihukum dengan tegas dan tanpa pengecualian, termasuk jika mereka berasal dari institusi berkuasa.
  5. Pemberdayaan ekonomi perempuan. Banyak korban tidak bisa keluar dari siklus kekerasan karena tergantung secara ekonomi. Program UMKM, pelatihan keterampilan, dan akses keuangan menjadi kunci.
  6. Reformasi media. Media harus menempatkan korban sebagai subjek, bukan objek. Kode etik peliputan kekerasan harus ditegakkan secara ketat.

Kita Tidak Boleh Diam Lagi

Kekerasan terhadap perempuan bukan masalah individu, melainkan masalah sosial dan struktural. Ketika satu perempuan disakiti, itu adalah kegagalan kita semua sebagai masyarakat. Diam berarti membiarkan luka itu terus menganga. Saatnya mengubah paradigma—dari menyalahkan korban menjadi mendukung korban, dari permisif terhadap pelaku menjadi zero tolerance terhadap segala bentuk kekerasan.

Pemerintah telah menyatakan bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Namun deklarasi tanpa aksi nyata hanya akan menjadi retorika kosong. Perubahan tidak akan terjadi jika semua pihak—dari keluarga, sekolah, aparat, media, hingga masyarakat luas—tidak bergerak bersama. Perempuan tidak butuh kasihan. Mereka butuh keadilan, perlindungan, dan ruang aman untuk hidup dengan martabat.

Masalah kekerasan terhadap perempuan adalah masalah kemanusiaan. Maka membela perempuan dari kekerasan adalah membela kemanusiaan itu sendiri. Inilah saatnya berhenti pura-pura tidak tahu. Inilah waktunya untuk memilih berpihak. Line Berita dan semua media lainnya memegang peran penting untuk mengawal perubahan itu.

© Sepenuhnya. All rights reserved.