Ilmu Kalam sebagai cabang ilmu keislaman telah berperan penting dalam membangun fondasi teologis Umat Islam sejak era klasik. Berbagai aliran Kalam seperti Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah berkembang untuk menjawab tantangan zaman masing-masing, baik berupa filsafat Yunani, perbedaan internal umat, hingga perdebatan dengan kelompok non-Muslim. Dalam konteks kekinian, tantangan tersebut bertransformasi menjadi persoalan radikalisme yang muncul dari pemahaman agama yang kaku dan eksklusif, serta sekularisme yang mendorong pemisahan nilai-nilai agama dari ruang publik. Kedua hal ini menjadi ancaman serius bagi kehidupan beragama dan bernegara.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, pendekatan rasional dan reflektif yang ditawarkan oleh Ilmu Kalam menjadi sangat relevan. Diskursus Kalam tidak hanya mengedepankan argumentasi keimanan berbasis teks, tetapi juga nalar logis yang menjembatani antara agama dan realitas sosial. Hal ini penting untuk menghindari umat dari pemahaman yang ekstrim dan sempit. Seperti yang dikemukakan oleh Nida Wafa Nabilah (2024), diskursus Kalam Klasik mampu memberikan fondasi pemikiran yang dalam untuk menghadapi berbagai bentuk tantangan zaman, termasuk modernisme dan ekstremisme dalam beragama. Oleh karena itu, kajian ulang terhadap diskursus Kalam Klasik dalam kerangka kontemporer menjadi kebutuhan yang mendesak.
Ilmu Kalam Klasik dikembangkan dalam konteks dinamika pemikiran Islam awal yang sarat dengan perdebatan. Para tokoh seperti Al-Ghazali, Al-Baqillani, dan Al-Maturidi mencoba menjawab berbagai persoalan teologis dengan pendekatan yang menggabungkan antara nash dan rasio. Relevansi pendekatan ini masih sangat kuat dalam menjawab tantangan ideologis masa kini. Dalam konteks radikalisme, pendekatan Kalam dapat memberikan alternatif pemikiran yang lebih moderat dan kritis, sehingga tidak terjebak dalam pola pikir hitam-putih yang menjadi ciri khas gerakan ekstrim.
Radikalisme keagamaan pada masa kini tidak lepas dari akar historisnya. Dalam sejarah Islam, gerakan Khawarij adalah contoh awal dari radikalisme religius. Mereka menggunakan dalil-dalil agama secara literal dan menolak kompromi, bahkan terhadap sesama muslim yang berbeda pandangan. Dalam hal ini, Ilmu Kalam hadir sebagai upaya membangun kerangka keimanan yang tidak kaku, tetapi tetap kuat secara argumentatif dan logis. Menurut Rijal (2010), pendekatan Kalam dapat mendorong Umat untuk memahami agama secara lebih proporsional, tanpa kehilangan semangat keberagamaan.
Di sisi lain, sekularisme yang berkembang dalam masyarakat modern cenderung ingin memisahkan agama dari ranah publik. Sekularisme tidak selalu berarti penolakan terhadap agama, tetapi lebih kepada pembatasan fungsi agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam konteks ini, Ilmu Kalam Kontemporer berusaha menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritual dan religius tetap relevan dan dapat hidup berdampingan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan sistem demokrasi. Ahmad (2012) menegaskan bahwa Ilmu Kalam tidak hanya berbicara tentang tuhan, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai ketuhanan dapat dijelmakan dalam struktur sosial modern.
Membangun moderasi melalui Ilmu Kalam merupakan agenda penting dalam merespons dua ekstrim tersebut. Islam mengajarkan prinsip tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran), yang semuanya berakar dari nilai-nilai teologis yang juga dibahas dalam Ilmu Kalam. Dengan menjadikan rasionalitas sebagai bagian integral dari keberagaman, umat Islam tidak mudah terjebak dalam pemikiran radikal maupun kehilangan arah dalam arus sekularisme. Sebagaimana ditegaskan oleh Nurul Hidayah (2025), Ilmu Kalam dalam perspektif kontemporer harus dihidupkan kembali agar mampu menjadi pedoman umat dalam menghadapi disrupsi nilai-nilai keislaman di era globalisasi.
Ilmu Kalam sebagai ilmu teologi Islam memiliki potensi besar dalam memberikan jawaban atas persoalan-persoalan kontemporer, khususnya terkait radikalisme dan sekularisme. Pendekatan rasional yang ditawarkannya dapat menjadi penyeimbang antara ajaran agama dan kebutuhan sosial umat manusia. Dalam menghadapi radikalisme, Kalam memberikan alternatif pemahaman agama yang tidak tekstual semata, melainkan berbasis pada nalar dan keadilan. Sementara dalam mengatur kehidupan sosial, disajikan dengan pendekatan yang kontekstual dan terbuka.
Oleh karena itu, merevitalisasi Ilmu Kalam dalam diskursus intelektual keislaman menjadi langkah strategis untuk menciptakan masyarakat yang damai, toleran, dan berkeadaban. Sebagaimana ditegaskan Nurul Hidayah (2025), pemahaman kalam klasik dan kontemporer harus berjalan beriringan agar Islam tetap hadir sebagai solusi atas tantangan zaman, bukan sebagai bagian dari masalahnya.
Biodata Penulis:
Maulana Zidane Saputra, biasa dipanggail Zidan, lahir pada tanggal 10 Agustus 2005 di Boyolali. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta. Zidan terlibat dalam organisasi HMPS sebagai Sekretaris Departemen Kewirausahaan.