Aceh sedang tidak baik-baik saja.

“Dit, Tolongin Dit!”: Belajar dari Dennis tentang Berani Meminta Bantuan

Lewat karakter Dennis di animasi Adit & Sopo Jarwo, kita akan mengupas pentingnya keberanian untuk meminta bantuan dalam konteks budaya Indonesia ...

Dalam serial animasi Adit & Sopo Jarwo, ada satu kalimat yang sering diucapkan oleh Dennis, sahabat Adit. Dengan logat khasnya, ia akan berkata, “Dit, tolongin Dit!” setiap kali berada dalam situasi sulit. Meskipun terdengar lucu dan menggemaskan, kalimat ini menyimpan pesan penting: meminta bantuan adalah hal yang wajar dan perlu dibiasakan. Namun, realitas di masyarakat kita tak selalu sejalan dengan itu. Budaya malu meminta tolong masih melekat kuat. Banyak orang merasa takut dianggap lemah atau merepotkan jika mereka menunjukkan bahwa mereka sedang butuh bantuan, baik dalam masalah akademik, pekerjaan, maupun kondisi mental dan emosional.

Budaya kita yang cenderung menjunjung tinggi ketahanan, kesabaran, dan tidak “membebani orang lain” seringkali membuat seseorang merasa tertekan untuk menyelesaikan segalanya sendiri. Padahal, dalam kondisi tertentu, kemampuan untuk berani mengakui kelemahan dan mencari pertolongan justru merupakan bentuk kekuatan.

Dit, Tolongin Dit

Dampaknya? Banyak individu menyimpan masalah sendiri, merasa kesepian, bahkan terjebak dalam stres berkepanjangan. Ini bisa memengaruhi kesehatan mental, hubungan sosial, hingga performa kerja atau belajar.

Meminta Bantuan dalam Perspektif Konseling Multibudaya

Teori Kesadaran Budaya (Cultural Awareness Theory) dalam konseling menekankan pentingnya memahami bahwa setiap individu memiliki latar belakang budaya yang unik, yang membentuk cara mereka melihat dunia—termasuk dalam hal meminta bantuan.

Di Indonesia, sebagian besar orang tumbuh dalam budaya yang lebih menahan diri dan menjaga keharmonisan, bahkan dengan cara menyembunyikan perasaan sendiri.

Solusi Realistis dalam Praktik Konseling

Untuk mengatasi rasa sungkan dalam meminta bantuan, konseling perlu dilakukan dengan cara yang ramah dan menghargai latar belakang budaya setiap orang. Konselor harus menciptakan suasana yang aman dan nyaman, agar klien merasa diterima dan tidak takut dinilai lemah saat berbagi cerita.

Penting juga bagi konselor untuk memahami bahwa setiap orang punya cara berbeda dalam menyampaikan masalah, tergantung budayanya. Ada yang langsung terbuka, ada juga yang butuh waktu. Karena itu, konselor perlu sabar dan tidak memaksakan.

Selain itu, konselor bisa memberikan pemahaman bahwa meminta bantuan adalah hal yang sehat dan wajar, bukan sesuatu yang memalukan. Edukasi ini bisa disampaikan lewat obrolan ringan atau contoh sederhana, seperti karakter Dennis yang tak ragu berkata “Dit, tolongin Dit!” saat butuh pertolongan.

Perlu kita pahami bahwa meminta bantuan bukanlah tindakan yang memalukan atau menunjukkan kelemahan, melainkan salah satu bentuk keberanian untuk mengakui bahwa kita tidak bisa selalu menghadapi segalanya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, siapa pun pasti akan berada pada titik di mana mereka membutuhkan orang lain, dan itu sangat manusiawi.

Namun tentu saja, cara kita meminta bantuan juga penting. Kuncinya adalah menyampaikannya dengan sikap yang sopan, menghargai, dan tidak menuntut. Ucapan seperti “tolong” dan “terima kasih” adalah bentuk sederhana dari penghargaan yang besar. Ketika kita mengapresiasi kebaikan orang lain, maka hubungan sosial kita juga akan menjadi lebih sehat dan hangat.

Jika Dennis bisa dengan polos dan jujur bilang “Dit, tolongin Dit!”, mengapa kita harus malu? Konseling multibudaya mengajarkan kita bahwa setiap individu membawa cerita dan nilai yang berbeda. Sebagai masyarakat, dan terutama sebagai konselor, kita perlu belajar untuk menerima, memahami, dan memfasilitasi keberanian untuk meminta pertolongan—karena dalam keberagaman itulah kita bisa saling menguatkan.

Biodata Penulis:

Rias Nurfida Zahra saat ini aktif sebagai mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta

© Sepenuhnya. All rights reserved.