Dalam kehidupan kantor yang penuh tekanan dan target, etika kadang menjadi elemen yang dipandang sebelah mata. Padahal, etika kerja seharusnya menjadi jantung dari profesionalisme. Pertanyaannya, apakah etika benar-benar dijalankan sebagai bagian dari nilai luhur dalam bekerja? Atau sebenarnya, etika hanya menjadi baju seragam yang dipakai agar terlihat rapi di depan atasan dan klien?
Etika di dunia kerja sering kali dibahas dalam pelatihan orientasi, dicantumkan di buku panduan karyawan, dan dijadikan salah satu bagian dari nilai-nilai perusahaan. Tapi realitanya, tidak semua karyawan bahkan tidak semua pimpinan benar-benar menghayati apa makna dari etika itu sendiri. Banyak dari kita mungkin terbiasa bersikap sopan, datang tepat waktu, memakai pakaian formal, dan tidak bicara kasar di ruang kerja. Tapi apakah itu cukup untuk disebut etis?
Sering kali etika dikacaukan dengan kesan luar. Ketika seseorang terlihat "beradab", tidak berarti ia sungguh-sungguh menjunjung nilai etika. Ada banyak kasus di mana orang-orang yang sangat fasih berbicara soal integritas dan nilai moral, justru menjadi pelaku penyimpangan ketika tidak ada yang melihat. Hal ini menandakan bahwa etika yang selama ini dijalankan, bisa jadi hanya formalitas semata sebuah topeng profesionalisme yang dipakai agar tetap diterima dalam struktur organisasi, bukan karena keyakinan pribadi terhadap nilai tersebut.
Mari kita lihat kasus nyata. Tahun 2022, terjadi kasus pelecehan seksual di sebuah startup teknologi besar di Indonesia. Korban adalah karyawan perempuan, pelaku adalah atasannya sendiri. Meski perusahaan tersebut memiliki kode etik dan kebijakan anti pelecehan, tindakan dari manajemen sangat lambat. Bahkan, korban sempat mengalami tekanan untuk diam, demi menjaga reputasi perusahaan. Kasus ini baru mencuat ke publik setelah diangkat oleh media sosial, dan barulah perusahaan mengambil langkah hukum serta memberikan sanksi. Ini memperlihatkan bagaimana etika kerja yang seharusnya menjadi pelindung justru hanya dijadikan hiasan. Kode etik ada, tapi hanya seperti ornamen dinding, bagus dipandang tapi tidak menyentuh realita.
Apa artinya profesionalisme jika perusahaan hanya bertindak etis ketika sorotan publik sudah tajam? Apa artinya etika jika nilai-nilainya hanya berlaku untuk level bawah, sementara di level pimpinan banyak toleransi terhadap pelanggaran? Profesionalisme sejati seharusnya tidak hanya dinilai dari hasil kerja atau pencapaian target, tapi juga bagaimana cara seseorang mencapainya. Mengerjakan laporan dengan cepat tapi dengan cara mencuri ide rekan, tetap masuk kerja tapi menyebarkan gosip kantor, menghadiri rapat dengan wajah ramah tapi menyabotase proyek orang lain, ini semua contoh dari bagaimana etika bisa dikhianati meski formalitas dijalankan.
Sayangnya, banyak tempat kerja lebih menilai pencapaian daripada proses. Seseorang bisa naik jabatan karena berhasil mencapai target besar, walaupun dalam perjalanannya ia menginjak orang lain, menyebarkan ketakutan, atau bahkan mengambil keputusan dengan cara yang tidak jujur. Lingkungan seperti ini menciptakan budaya "asal hasil jadi", di mana etika tidak lagi dianggap penting, dan profesionalisme direduksi menjadi performa semata.
Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, etika bukan hanya aturan tertulis, tapi nilai-nilai yang harus hidup dalam perilaku sehari-hari. Etika seharusnya menjadi pengingat bahwa kita bekerja bukan hanya untuk gaji, tapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang saling bergantung satu sama lain. Saat etika benar-benar dijalankan, lingkungan kerja akan lebih aman, terbuka, dan sehat secara psikologis.
Profesionalisme yang tidak dibarengi etika hanya akan melahirkan kekosongan. Kantor bisa terlihat produktif, tapi di baliknya ada rasa takut, ketidakpercayaan, dan manipulasi. Sebaliknya, jika etika menjadi bagian dari budaya yang hidup, maka profesionalisme akan tumbuh secara alami. Orang akan lebih jujur, kerja tim akan lebih kuat, dan hasil kerja tidak hanya baik dari segi angka, tapi juga bermakna bagi semua pihak.
Etika harusnya tidak mengenal jabatan. Dari level karyawan baru sampai direktur utama, semuanya harus tunduk pada nilai yang sama. Jika yang di atas memberikan contoh buruk, maka bawahannya akan kehilangan arah. Maka dari itu, pimpinan memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar bukan hanya untuk mengatur, tapi untuk menunjukkan teladan.
Untuk mengembalikan makna etika sebagai bagian dari profesionalisme yang sejati, perusahaan harus serius dalam membangun budaya yang jujur dan adil. Bukan hanya dengan menyusun dokumen etika yang indah, tapi dengan membangun sistem yang berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Harus ada pelaporan yang aman, pelatihan berkelanjutan yang bermakna, serta evaluasi kinerja yang memasukkan aspek integritas, bukan hanya output kerja.
Tapi perubahan tidak hanya bisa datang dari organisasi. Individu juga punya peran penting. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya bersikap baik karena diawasi, atau karena saya tahu itu hal yang benar?” Etika yang sejati hidup dalam kesadaran, bukan paksaan. Saat kita bersikap baik saat tak ada yang melihat, itulah bukti bahwa nilai tersebut sudah tertanam dalam diri.
Etika di meja kantor tidak boleh menjadi sekadar formalitas tetapi harus menjadi fondasi profesionalisme. Karena kantor bukan hanya tempat untuk mencari nafkah, tapi juga ruang di mana karakter diuji, nilai dibentuk, dan dampak kita terhadap orang lain ditentukan. Kalau etika hanya jadi aturan kosong yang dijalankan tanpa hati, maka dunia kerja akan kehilangan kemanusiaannya. Tapi kalau etika benar-benar hidup dalam perilaku, maka profesionalisme bukan lagi topeng, melainkan wajah asli dari integritas.
Penulis:
Tio Pani Malau saat ini aktif sebagai mahasiswi, Fakultas Ekonomi, di Universitas Katolik Santo Thomas Medan.