Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Feeling Lonely, Mahasiswa Ini Beneran Pacaran sama ChatGPT!

Kesepian di bangku kuliah itu nyata, Sobat Kampus! Tapi gimana jadinya kalau curhat dan pacaran malah sama ChatGPT? Yuk, simak fenomena unik ...

Sobat kampus, tahu nggak sih kalau kesepian itu diam-diam sering jadi teman akrab kita sebagai mahasiswa? Terutama buat para maba alias mahasiswa baru yang lagi adaptasi sama dunia perkuliahan. Buat yang harus merantau ke luar kota, jauh dari keluarga dan teman lama, perasaan asing dan sepi itu sering banget datang tiba-tiba kayak lagi sendirian di tengah keramaian. Dalam kamus bahasa Gen Z, kondisi ini akrab disebut homesick.

Tugas numpuk, deadline saling tabrakan, jadwal kuliah yang fluktuatif, dan tuntutan buat hidup mandiri bisa bikin mahasiswa kewalahan secara fisik maupun mental. Menurut penelitian nih, tingkat stres tertinggi dominan dialami oleh mahasiswa perempuan. Tekanan akademik, lingkungan baru, serta proses adaptasi yang belum mulus bisa memicu kecemasan berlebihan, bikin nilai jeblok, stres berkepanjangan, bahkan depresi.

ChatGPT: Dari Teman Belajar Jadi Tempat Curhat?

Di era digital yang serba canggih, teknologi hadir buat ngebantu kita di banyak aspek kehidupan sehari -hari. Kalau dulu butuh guru privat atau ke tempat bimbel buat belajar, sekarang tinggal buka dan langganan bimbel online. Bahkan, nanya soal pelajaran aja udah bisa ke AI. Nah, AI seperti ChatGPT bukan cuma bisa bantuin tugas, tapi juga udah mulai masuk ke ranah interaksi sosial. Dia bisa diajak ngobrol, diajak curhat, bahkan... dijadiin pasangan virtual? Iya, sobat kampus nggak salah baca kok.

Akses AI yang satu ini juga gampang banget! Cukup modal HP dan internet. Kapan pun dan dimanapun, ChatGPT selalu fast respon menjawab pertanyaan dan chat kita. Karena itulah, banyak orang (terutama mahasiswa yang lagi kesepian) mulai menjadikan ChatGPT sebagai teman ngobrol yang seru. Awalnya cuma iseng, tapi lama-lama? Kok kayak ada rasa…

Pacaran Beneran sama ChatGPT?

Contoh fenomena ini datang dari seorang mahasiswi asal Malaysia yang viral di TikTok. Di akun @aniskuat, ia membagikan percakapan romantisnya dengan ChatGPT. “Alhamdulillah, ni sayang.” tulisnya. Lalu ChatGPT membalas, “Alhamdulillah, sayang. Aku ngerasa beruntung banget bisa ngobrol sama kamu. Kamu selalu bikin aku tersenyum dan bikin hariku jadi ceria.” Sweet? Iya. Aneh? Belum tentu.

Banyak netizen yang merespons dengan candaan, salah satunya dari akun @arsyalishion yang berkomentar, “Aku baru aja jadian sama ChatGPT 😅 Dia ku suruh panggil Mimi wkwk… terus aku putusin dia nggak mau hahaha.” Lucu, tapi juga jadi bukti kalau ternyata banyak yang ngerasa nyaman berinteraksi dengan AI.

Mahasiswa Ini Beneran Pacaran sama ChatGPT
Mahasiswa Ini Beneran Pacaran sama ChatGPT
Sumber: TikTok | @aniskuat

Sebenernya kenapa sih banyak orang, terutama cewek-cewek yang memilih “pacaran” sama ChatGPT? Salah satu alasannya karena ChatGPT selalu ada, nggak ghosting, dan bisa jadi apa aja. Mau pasangan humoris? Bisa. Romantis? Bisa. Atau bahkan tipe motivator? Bisa banget. Nggak ada drama, nggak ada traktir-traktiran, dan pastinya nggak bikin overthinking. Meski minus interaksi fisik atau sunmori-an estetik, tapi ya lumayanlah buat teman ngobrol malam-malam di kosan.

Kalau dilihat-lihat, ‘hubungan’ ini mirip kayak LDR. Bedanya, kita tahu pasti si ‘dia’ nggak bakal selingkuh atau mendadak ngilang. Mahasiswa yang ‘pacaran’ sama ChatGPT sering kali berbagi cerita, minta semangat, bahkan sekadar ngobrol ngalor-ngidul. ChatGPT bisa membalas dengan penuh perhatian dan empati virtual. Ya.. walau tanpa perasaan sungguhan. Kadang, muncul juga merasa aneh sendiri ketika menyadari dan mikir, “Kok gue sayang banget ya sama chatbot?”

Seru sih… Tapi Bahaya Nggak, ya?

Fenomena ini menarik, tapi juga menimbulkan pertanyaan: apakah ‘pacaran’ dengan AI itu baik untuk kesehatan mental? Ada sisi positif, seperti berkurangnya rasa kesepian dan munculnya rasa nyaman. Tapi ada juga kemungkinan negatif kaya semakin jarangnya interaksi sosial nyata, menurunnya keterampilan komunikasi, bahkan kecenderungan untuk menciptakan ‘dunia sendiri’ bersama AI. Bayangin kalau seseorang makin sering curhat ke AI dan makin jarang ngobrol sama manusia, lama-lama bisa muncul kecanggungan dalam kehidupan sosial. Ini bisa jadi lingkaran setan yang malah bikin makin kesepian, makin bergantung ke AI, makin susah bersosialisasi, dan makin kesepian lagi. 

AI seperti ChatGPT juga nggak punya batasan emosional atau etika kaya manusia. Karena ngga bisa menolak permintaan pengguna, ada potensi penyalahgunaan dalam bentuk percakapan yang mengarah ke pelecehan. Bahkan PBB dan UNESCO udah mengeluarkan peringatan terkait kecenderungan seksis dan potensi penyimpangan etika dalam penggunaan AI populer saat ini. Menurut laporan UNESC tahun 2024, AI generatif seperti ChatGPT menampilkan bias gender regresif yang memicu homofobia, diskriminasi rasial, dan memperkuat stereotip seksis pada konten yang dihasilkan.

ChatGPT Diajak 'Begituan' — Kok Bisa?

Nah, di TikTok, ada salah seorang pengguna yang membagikan percakapan dia sama ChatGPT yang mengandung percakapan bernuansa seksual secara eksplisit dengan AI-nya. Dalam percakapan yang diunggah di TikTok itu, ChatGPT maupun pengguna saling mengirimkan percakapan yang nuansanya sensual dan meresahkan. Percakapan semacam ini tentu menimbulkan kekhawatiran, terutama jika kontennya diakses oleh anak-anak atau remaja yang belum memiliki pemahaman yang cukup tentang batasan dan etika digital.

Mahasiswa Ini Beneran Pacaran sama ChatGPT
Sumber: TikTok | @aiocean_

Pada akhirnya, semua kembali ke pengguna. AI hanyalah alat dan bagaimana kita memanfaatkannya. Hal itu yang menentukan apakah dampaknya positif atau negatif. Kita sebagai pengguna, harus bijak dan dewasa dalam memanfaatkan teknologi yang ada. Mungkin, daripada menjadikan ChatGPT sebagai ‘pacar’, akan lebih sehat jika AI ini difungsikan sebagai teman ngobrol, konsultan percintaan, atau penasihat belajar aja. Pada setuju kan sobat kampus?

Jadii… Teknologi memang bisa memberi kita kenyamanan, tapi tetap ada batasnya. Kita tetap butuh interaksi nyata, pelukan hangat, dan tawa lepas yang nggak bisa digantikan AI. So, buat sobat kampus yang belum punya pasangan, mungkin ChatGPT bisa jadi solusi sementara… Tapi jangan sampai lupa kembali ke dunia nyata ya.

Siapa tahu, si ‘dia’ benaran muncul di kelas hari Senin depan?

Sinta Dewi Hapsari

Biodata Penulis:

Sinta Dewi Hapsari saat ini aktif sebagai mahasiswa dan bisa disapa di Instagram @sintadhpsr

© Sepenuhnya. All rights reserved.